Rasanya
baru kemarin aku bertemu dengannya, tapi dia sudah berani mengajakku pergi atau
mungkin berkencan. Aku merasa seperti berada di stasiun yang penuh sesak.
Penumpang yang naik—turun dari kereta dan aku tidak tahu jelas sedang apa aku
di stasiun itu, aku bingung. Aku seperti digoda oleh lelaki cabul yang memesan
wanita malam setelah capek sepulang kerja. Meninggalkan istrinya untuk
bermain-main bersama wanita malam. Seperti kuda yang digiring masuk ke kandang.
Dia mengajakku dengan cara yang tidak biasa. Belum pernah aku melihat seorang
pria yang mengajak wanita yang disukainya dengan cara ini. Biasanya hanya
diajak ngobrol dengan sedikit canggung karena takut ajakannya ditolak ataupun
mengajak melalui pesan singkat. Dia cerdik, mau tidak mau aku harus
mengabarinya lagi lewat pesan singkat. Untuk mengabari bersedia atau tidak aku
dengan ajakannya untuk bertemu.
Aku
Bingung masih mematung di meja kasir sejak pria itu memberikanku secarik kertas
yang bertuliskan “Set a meet, Ranum?”, Aku belum pernah mengalami situasi
seperti ini, aku bingung. aku harus meminta saran dari Sean, orang yang bisa
memberikanku jalan keluar atas rasa bingung yang menderaku. Meskipun Sean hanya
membuat pipiku merah merona setiap membicarakan seorang pria. Tapi, dia adalah
satu-satunya orang yang mengerti aku luar—dalam. Yang aku pikirkan hanya satu:
aku takut Rain Galvin seperti pria brengsek yang membuatku antipati terhadap
pria bertahun-tahun, pria yang membuatku membenci Italia dan Tropea Beach.
Apalagi Rain Galvin berasal dari keluarga terpandang di Amsterdam, ada sekitar
70 cabang Rain Coffee di seluruh Belanda. Itu yang membuat ketakutanku hilang.
Kiranya tidak mungkin seorang Rain Galvin berperilaku brengsek seperti pria
dari Tropea Beach itu. Aku akan meminta saran Sean malam nanti. Setelah toko
tutup, waktu dimana kami bisa menghabiskannya bersama.
“Sean,
lihat ini” aku melihatkan secarik kertas yang diberikan Rain Galvin pada Sean.
“Set
a meet, Ranum?..... Dia mengajakmu kencan?..... Wow, sudah bertahun-tahun sejak
pria brengsek itu, nggak ada yang mengajakmu kencan… Terus kamu mau apa?”.
“Nah
itu, aku bingung. Tiba-tiba dia kasih kertas itu ke aku, mungkin kamu ada
saran?”.
“Yaelah,
kamu minta saran ke aku? Kalau aku pasti iya—iya aja. Asal kamu bahagia aku
bakal ikut bahagia. Udah jalanin dulu aja, toh kamu juga belum tahu, dia itu
orangnya kaya gimana. Mungkin dia suka sama kamu?”.
“Ah, nggak
mungkin lah, Sean”.
“Loh,
kenapa nggak mungkin?”.
“Terlalu
cepat, Sean”.
“Kamu
lupa? Berapa lama pria dari Tropea Beach itu dekat sama kamu terus baru kalian
memutuskan untuk saling berhubungan?.... Dua tahun Ranum!! Terus apa yang kamu
rasain? Kamu justru lihat dia cabul sama perempuan lain kan? Cinta nggak
memandang waktu, Ranum. Juga nggak memandang tempat apalagi keadaan. Cinta bisa
datang kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun”.
“Terus?
Aku harus apa, Sean?”.
“Ih
kamu ya, bener-bener deh, kamu nggak boleh bingung sama yang namanya cinta.
Sekali lewat kamu nggak bisa ngejar apa lagi berharap cinta bisa kembali lagi...
Hubungi dia, bilang kalau kamu mau”.
“Ah
nggak mau, Masa harus aku duluan yang
bilang”.
“Aduh,
Ranum. Terus apa masalahnya kalau kamu duluan yang bilang?”.
“Aku
kan perempuan, sudah seharusnya aku yang nunggu dia bilang duluan”.
“Mau
siapa duluan yang bilang, nggak ada pengaruhnya, Ranum. Pada akhirnya kalian
juga bakal saling berhubungan. Ibarat domino kalau belum ada satu domino yang
jatuh duluan, domino yang lain juga nggak akan jatuh berurutan. Cinta itu bukan
untuk orang yang bodoh menunggu tanpa pikir dua kali. Cinta itu berpihak sama
orang yang berani memulai”.
“Jodoh
pasti bertemu, Sean. Aku percaya itu”.
“Iya
benar, terus kamu mau pasrah gitu? Menunggu tuhan menggerakkan takdirmu? Kamu kalau
nggak berusaha mana mungkin tuhan kasih apa yang kamu mau” Sean meninggalkanku
sebelum aku menjawab pertanyaanya.
Sean
langsung pulang tanpa pamit. Malam ini aku duduk sendirian di kebun Ran
Fleuriste, tidak ada Sean yang biasanya menemani, tidak ada teh dan roti yang
biasanya menemani aku dan Sean. Tidak ada bintang, seperti pertanda bahwa alam
tidak memihakku. Aku masih trauma dengan kejadian di Tropea Beach. Hanya itu.
Beberpa menit aku terdiam. Tiba-tiba Sean datang lagi.
“Kalau
kamu trauma sama masa lalu kamu, Jangan harap ada cinta yang berpihak sama kamu”.
Lalu Sean pergi tanpa berpamitan lagi.
Aku
terdiam, merasakan ada pergulatan batin dan perang antara ego dan hati di dalam
diri. Seperti ada yang menggerakkan tanganku untuk mengambil handphone yang ada
di saku celana. Aku merasakan ada yang memaksa jari-jariku untuk mengirimkan
pesan. Pesan yang ditujukan untuk Rain Galvin. Aku melihat badan pesan masih
kosong. Ibu jariku tepat berada di depan layar handphone.
“Kapan kamu akan mengajakku pergi?”. Diluar
batas sadarku aku sudah mengirimkan pesan untuk Rain Galvin.
“Sabtu aku akan mengajakmu ke Keukenhof,
aku akan menjemputmu di Ran Fleuriste sesuai jam buka tokomu”
Rain
Galvin memang bukan pria yang suka basa-basi. Hanya sekali dia membalas
pesanku, semuanya tersampaikan dengan baik. Selalu ada rasa penasaran yang datang
darinya. Rasa penasaran yang menggantung di otakku, seperti jeruk yang siap
dipetik.
“oke. Ik zal voor u klarr” Aku akan menunggumu. Membuktikan perkataan Sean tentangmu, tentang cinta.
(Bersmabung)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar