Ada guratan di lehernya
Aku memegangnya
Ada senyum di matanya
Berharap matanya jatuh dan merindu
Ada kehampaan di bibirnya
Seperti Antitesis yang belum
selesai
Dia hanya diam dalam harap
cemas tak tentu
Seperti pips dalam dadu
Menunggu dilempar,
Lalu digerakkan
Dan dimainkan
Dalam batas tertutup
awan putih
Rumput-rumput hijau dalam
diorama
Gunung-gunung menjulang gagah
berani
Gulungan awan empuk seperti
kasur
Dia masih diam bak patung proklamator
Berharap bisa pulang dengan
baling-baling bambu
Atau sampai puncak dengan
pintu kemana saja
Raganya terhempas es yang
berubah jadi angin
Jiwanya terkubur di rumput
yang menjilat punggung
Empat camar masih kuat
terbang
Mengarungi indah ciptaanNya
Aku melongo
tubuhku terhempas di
kaki-kaki bukit
Aku melihatnya di atas sana
Tertawa layaknya anak kecil dibelikan mainan baru
Mataku berbinar
Matanya berbinar
Mata perempuan itu juga
Kami hanya burung perkutut
Tertidur di padang rumput penuh lutut
Harap cemas menunggu empat
camar turun
Doa dalam haru
Tangis dalam doa
Indahnya hanya Satu
Tak ada mata uang yang mampu
membelinya
Cinta dan kasih dari
sekumpulan manusia kecil dan malang
Berharap bersatu dalam
taliNya
Di atas sini kami berbagi
Menolong sesama
Menyayangi juga mencintai
No standard in how to love
something
No standard in how to love
someone
It can only be felt by the
heart
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar