Ran
Fleuriste bagai magnet bagiku, aku hampir tidak pernah meninggalkan Ran
Fleuriste barang sehari saja. Hanya sesekali meninggalkan Ran Fleuriste untuk
mengunjungi ibu di Anna Paulowna. Ibu memang manusia paling berharga bagiku,
dia tidak pernah membatasi anaknya untuk berkreasi ataupun memilih jalan hidup.
Ibu bukan hanya sederhana, terlepas dari itu semua Ibu memang ciptaan tuhan
yang paling sempurna diantara ciptaan tuhan lainnya. Apapun bahasanya, tidak
akan ada mata uang yang sanggup membayar kasih seorang Ibu. Begitu hebatnya ibu
membesarkanku sendiri tanpa ayah. Menghidupi keluarga kecilnya hanya dari hasil
seorang petani bunga di Anna Paulowna. Meski ibu punya lahan sendiri untuk
bunga-bunganya, Ibu tetap merasa rendah hati. Sebagai bentuk rasa syukurnya
terhadap tuhan, Ibu meminjamkan setengah dari lahannya untuk dipakai oleh petani
lain, Ibu tidak memungut uang dari lahan yang dipakai petani lain. Baginya
dengan dia memberi, Ibu bisa menjadi lebih tenang dan damai. Ibu ingin diingat
sebagai orang baik dan perhatian saat meninggal nanti, sungguh sangat
sederhana.
Kecintaan
ibu terhadap tulip menulariku. Tulip menjadi daya tarik bagi ibu setelah
pertemuannya dengan Ayah. Sudah ratusan kanvas dilukis, sudah ratusan lukisan
tulip yang dihasilkan, rumah penuh dengan lukisan tulip berbagai warna. Kata ibu:
Motif bunga tulip sudah sejak lama dipakai dalam seni ornamen Persia dan Turki.
Tulip termasuk ke dalam keluarga Liliaceae.
Bunga Tulip adalah bunga nasional Irak dan Turki, orang-orang Eropa memberi nama bunga Tulip yang berasal dari
bahasa Persia yang punya arti Sorban, karena bentuknya yang menyerupai
sorban sebelum benar-benar mekar. Bagiku bunga tulip adalah simbol dari Kasih
yang sempurna. Selama era Victoria, ketika bahasa bunga mencapai puncaknya
dalam popularitas orang-orang berhak menjawab dengan mengambil bunga. Tangan
kanan untuk respon positif dan tangan kiri untuk respon negatif. Aku sering mengungkapkan
perasaanku dengan bunga tulip berwarna pada setiap orang yang mengenalku,
seperti kakek Winskel dan Sean. Setiap warna punya arti yang berbeda. Tapi aku
belum pernah sekalipun memberikan tulip warna merah selain pada ibuku, Maria.
Karena bagiku tulip merah adalah simbol Kasih yang sempurna.
Di
belakang Ran Fleuriste ada kebun bunga kecil-kecilan yang dikelilingi pagar
kayu berwarna. Aku yang merawat bunga-bunga itu sendiri dari bibit hingga
benar-benar siap dipetik, terkadang Sean juga membantuku. Kebun di belakang Ran
Fleuriste juga terhubung dengan pintu belakang Queen Of Sean, toko kue milik
Sean. Kami berdua sering menghabiskan waktu bersama di kebun milikku setelah
kami menutup toko. Bangku dan meja kayu warna cokelat adalah tempat kami berdua
ngobrol, Sean selalu membawa roti dari tokonya sedangkan aku membelikan Sean teh
di Scarlet Thee, Kedai teh milik kakek Winskel. Dengan berbincang bersama Sean
rasa lelah setelah bekerja seharian menjadi hilang, dia selalu menjadi
penghiburku, selalu saja ada cerita menarik setiap kami ngobrol. Pernah dia
menceritakan pengalamannya berhubungan intim di kamar mandi Le Cordon Bleu di sebuah malam pada
bulan Januari dengan seorang Pria yang
berasal dari Jepang. Sean memang gila, semasa di Universitas dia termasuk
perempuan yang “Nakal”. Singkat cerita dia dan si pria Jepang kepergok oleh Mahasiswa terbaik di Le Cordon Bleu, mungkin suara rintihan
Sean terdengar cukup keras. Mereka
berdua dilaporkan ke Kepala jurusan. Kepala jurusan hanya tertawa, “Kalau mau
begituan jangan di kamar mandi dan jangan sampai ketahuan” katanya. Setelah
kejadian itu Sean tidak pernah meladeni si pria Jepang yang selalu meminta
mengulang kejadian malam itu. Sean menghindari si pria Jepang “Orang Jepang
tidak pandai memuaskanku” katanya. Aku tertawa. Sean, komedian terbaik yang
pernah aku kenal.
Aku
suka dunia menulis dan membaca, dari sana aku bisa melihat dunia dalam satu
waktu. Aku mempunyai sebuah catatan sebagai lahanku menulis. Tumpukkan beberapa
kertas yang aku jilid sendiri dengan kedua lubang di satu sisi buku lalu aku
gabungkan dengan tali berwarna cokelat. Di catatan itu aku tidak hanya menulis
keseharianku saja. Aku juga menulis semua pembeli bunga di Ran Fleuriste, semua
alasan mereka membeli bunga, nama, umur dan untuk siapa mereka membeli bunga di
Ran Fleuriste. Aku juga menuliskan daftar orang-orang yang layak menjadi
panutanku, seperti tokoh-tokoh dunia dan tentunya ibu juga ayah.
Kalimat-kalimat bijak dari mereka selalu aku tulis dan berulang-ulang aku baca
untuk menyemangati diriku. Aku sering membawa catatanku kemanapun aku pergi,
mencatat setiap kejadian yang ada, istilah-istilah baru yang belum pernah aku
ketahui. Aku wanita yang pelupa, catatan ini juga menjadi mediaku untuk
mengingat sebuah janji yang aku buat atau yang orang lain buat bersamaku.
Bagiku menulis juga caraku berbicara ketika perkataan dari mulutku susah diutarakan
ataupun ketika perkataanku tidak didengarkan orang-orang. Menulis membuatku
menjadi lebih hidup. Ada kepuasan batin dan rasa tenang ketika aku selesai
menulis sebuah cerita ataupun curhatan dan keluhan dalam satu hari, dan setidaknya
ada pekerjaan lain selain mengurus Ran Fleuriste dan berkebun.
Aku
mencintai mereka yang suka membaca buku. Aku berbeda pandangan dengan
wanita-wanita lain soal pria yang baik. Disaat para wanita menggilai pria yang
hobi bermain basket, seorang personel band ataupun pria yang bertubuh kekar.
Aku berbeda dengan mereka. Aku lebih menyukai pria kutu buku, pria yang
menggunakkan waktunya dengan baik seperti membaca buku atau menulis, bukan dugem ataupun bercumbu di taman vondelpark. Bagiku membaca adalah bentuk
kecintaan kita terhadapa pencipta, karena dari membaca kita juga bisa lebih
mengetahui keagungan tuhan. Aku belum menemukan pria yang seperti itu. Banyak pria
yang hanya mengejar popularitas ataupun materi tanpa mengejar kecerdasan dan
jati dirinya sebagai manusia. Padahal hidup semata-mata bukan karena uang
melainkan karena hati dan jiwa kita yang menuntut untuk bisa menjadi apa yang
diinginkan tuhan dan orang-orang banyak. Intinya aku belum pernah menemukan pria
kutu buku dan suka menulis. Aku merindukan sosok pria seperti itu.
Aku
masih menunggu truk dari Anna Paulowna
datang. Truk yang membawa stok untuk keperluan toko bungaku, seperti bibit,
pupuk dan buket. Tidak biasanya truk besar itu datang terlambat. Sean
mempertanyakan keterlambatan truk itu padaku. “Aku nggak tahu, Sean. Semoga
nggak ada apa-apa, ya.” Kataku.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar