Aku
masih memikirkan Sean. Sejak malam itu dia masih saja mendiamkanku, aku tidak
suka Sean yang seperti ini, nampak begitu ganas dimataku. Terakhir dia
mendiamkanku enam bulan ketika aku tidak mendengarkannya soal pria dari Tropea
Beach itu. Menatapku saja Sean ogah-ogahan. Senyumnya berubah, seperti bukan
Sean yang biasanya. Gumamku makin berat sampai pagi ini Sean masih saja diam
tanpa kata, aku tahu ketika Sean mendiamkanku berarti ada yang salah dariku. Disaat
inilah aku bisa memperbaikki kesalahanku, aku akan membuatnya tersenyum dan mau
berbicara denganku lagi. Caranya cukup mudah, biarkan Sean melihat Rain Galvin
menjemputku di Ran Fleuriste.
Pagi
ini aku masih menunggu pria itu menjemputku, meski ketakutanku soal pria masih
saja menghantuiku, aku terpaksa menunggu, melawan ketakutan itu semata-mata
demi Sean dan untuk membuktikan perkataan Sean tentangnya dan tentang cinta.
Aku tidak pernah paham apa itu cinta yang aku tahu cinta adalah penyakit campak
dari ras manusia yang sudah ada dari zaman dulu dan dipertahankan hingga
sekarang. Zaman ketika adam dan hawa bertemu di taman eden atau bertemu
disebuah gurun dalam versi lainnya.
Aku
menunggu lagi, ketakutan itu mulai hilang perlahan berubah menjadi rasa
penasaran yang terus menghantuiku. Tidak ada yang spesial dari penampilanku
hari ini, seperti biasa serba hitam dan putih. Rambutku hanya kuikat dengan
karet pembungkus buket bunga. Sesuai suasana hati sejauh ini belum ada yang spesial
dari pria itu. Hanya satu kelebihanya: dia pintar membuatku penasaran, hampir
mati aku dibuatnya penasaran. Aku benci situasi ini. Aku yakin dia akan
memasang bintang-bintang dan mengalirinya dengan cahaya rembulan di malam hari.
Mencoba membuatku terpesona dan penasaran lagi. Gaya kampungan kebanyakkan
pria. Kalau dia membawakanku bunga, tidak akan aku terima, mungkin seketika
akan langsung aku buang. Gila saja, seorang florist di kasih bunga. Seperti seorang
ibu yang harus menyusui bayinya, sudah biasa bahkan terlalu biasa.
Duapuluh
menit setelah aku membuka tokoku, pria itu belum juga datang. Kebebasanku
seketika menjadi menyenangkan, seperti anak-anak kecil yang menunggu ayahnya
pulang kerja dan berharap dibelikan mainan baru. Jantungku bedebar ketika
Savage Rivale miliknya perlahan mulai terparkir di depan Ran Fleuriste. Sean
melihatnya, dia tersenyum matanya berbinar itu pertanda bahwa Sean tidak marah
lagi denganku. Hanya kurang dari beberapa detik tiba-tiba Sean sudah ada di
pintu belakang Ran Fleuritse, kubukakan pintu itu, seketika Sean langsung
memelukku, dia membisikkanku “bersenang-senang lah Ranum, aku menyayangimu” dia
mengusap pipiku, tersenyum lalu pergi lagi. Aku suka cara Sean mengusap pipiku,
lembut dengan ujung-ujung jari yang menyusur hingga ujung dagu. Aku hanya
tersenyum, tidak ada satu kalimatpun yang keluar dari bibirku.
Pria
itu berdiri di depan pintu, membuka pintu “Goedemorgen Ranum” katanya dengan
senyum yang mengembang, berbeda dengan senyumnya tempo hari. “Pagi juga,
sebentar aku akan menutup tokoku dulu” Ini saatnya aku menghilangkan
kecanggungan yang terjalin diantara kami sejak pertama bertemu. Akan aku ubah
sapaanku terhadapnya jadi sapaan manis yang tidak terdengar aneh. Mata pria itu
mengikutiku sesekali sembari tersenyum yang membuatku salah tingkah. Aku
menghampirinya pertanda semua urusanku di Ran Fleuriste sudah selesai, Aku dan
pria itu keluar lalu aku mengunci Ran Fleuriste, meletakkan kunci dibawah vas
bunga yang ada di depan Ran Fleuriste. Tempat biasa aku meletakkanya, sengaja
tidak aku bawa karena aku takut tidak sengaja menghilangkannya.
Dia membukakan
pintu mobilnya untukku, hal biasa seperti kebanyakkan pria. memutari bagian
depan mobil lalu masuk. Savage Rivale miliknya perlahan meninggalkan Ran Fleuriste.
Hingga seratus kilometer dari Ran Fleuriste kami masih terdiam, saling menunggu
siapa yang akan membuka pembicaraan labih dulu. Di perempatan lampu lalu lintas
berubah merah pria yang ada disebelahku mulai mengajakku berbicara.
“Kamu
sudah pernah ke Keukenhof?” tanya pria itu.
“Hanya
setahun sekali, kira-kira pertengahan bulan April. Kamu?”.
“Baru
sekali ini, aku tahu kamu sangat menyukai bunga-bunga. Alasan itu yang
membuatku ingin mengajakmu ke Keukenhof” Lampu lalu lintas berubah hijau. Aku
tidak membalas pembicaraanya, sengaja untuk membuatnya penasaran dan terus
memburuku lewat pertanyaan-pertnyaan yang keluar dari bibirnya. Jarak dari Ran
Fleursite ke Keukenhof cukup jauh memakan waktu sekitar satu jam. Dalam situasi
ini aku ingin menguji cara dia memperlakukan perempuan. Dalam situasi canggung
di dalam mobil apalagi untuk orang yang baru sekali pergi berdua, sungguh akan
sangat membunuh. Kalau tidak ada yang memecahkan situasi di dalam mobil suasana
jadi seperti malam hari ketika orang-orang sudah terlelap, Sepi bahkan bisa
jadi mencekam.
Pria
ini tetap tenang sesekali bersiul dan mengajakku berbicara. Sejauh ini dia
belum menyombongkan dirinya bahwa dia seorang Galvin, keluarga terpandang di
Belanda, aku sudah tahu bahkan sebelum dia memperkenalkan dirinya langsung
padaku. Dia menanyaiku seputar Ran Fleuriste. Basa-basi yang bisa membuat
suasana dalam mobil menjadi lebih hidup dan menyenangkan, dia orang yang
humoris sesekali melemparkan candaan yang bisa membuatku tertawa, aku mulai
suka caranya memperlakukanku.
“Ranum,
kamu suka nulis ya?”.
“Ah,
nggak juga. Aku lebih suka membaca”.
“Kamu
bohong, tanganmu terlihat seperti tangan seorang yang suka menulis” Dia
memperhatikan jari-jariku yang beradu di pangkuanku.
“Hahaha,
ketahuan deh. Iya, aku sesekali menulis sekedar untuk mengisi waktu luang di
Ran Fleuriste”.
Dia
tidak membalas pembicaraanku. Seperti balasan karena aku tidak membalas
pembicaraanya tadi. Sekarang aku menjadi canggung, aku salah tingkah mengubah letak
dudukku. Sesekali dia tertawa kecil. Menikmati pemandangan lucu yang aku buat.
Pria ini berhasil membuatku penasaran lagi.
Taman
Keukenhof sudah terlihat dari beberapa meter posisi Savage Rivale miliknya. Dia
mencari lahan parkir, memarkirkan Savage Rivale miliknya lalu turun. Aku tidak
turun, aku kira dia akan membukakan pintu untukku, ternyata tidak. Dia langsung
pergi, beberapa meter setelahnya dia kembali tapi tidak untuk membukakkan
pintuku. Dia membuka pintu kemudinya.
“Kenapa
nggak turun?”.
Aku
tersenyum lalu keluar. “Sialan” gumamku dalam hati.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar