Siang
ini di langit Amsterdam matahari sangat terik, berkedip ketika gerombolan
burung terbang rendah melewatinya. Suaranya begitu riuh, bunyinya menyerupai
terompet tahun baru yang ditiup anak-anak kecil. Tapi, penduduk Amsterdam yang
berada di sekitar Ran Fleuriste tidak mempedulikan burung-burung itu atau
mungkin tak sempat untuk melihat
burung-burung yang melintasi langit Amsterdam. Mata mereka terpaku pada
satu titik, bukan di langit. Tapi, di jalanan atau kakinya. Kecuali Ranum, yang
sangat senang melihat burung-burung itu terbang rendah melintasi atap Ran
Fleuriste. Matanya mengikuti arah burung-burung itu terbang. Sampai
burung-burung itu menghilang dibalik gumpalan awan yang bergelombang Ranum
masih terus melihatnya, berharap burung-burung itu keluar dari gumpalan awan
yang ada di langit Amsterdam.
Dari
balik jendela Ranum masih melihat awan tebal yang bergelombang menggantung di
langit kota. Seperti kelebihan beban seolah akan jatuh menubruk atap Ran
Fleuriste. Ranum juga melihat jalanan mulai ramai dilewati bus-bus kota dan
sepeda-sepeda dengan keranjang warna hitam di depannya.
Ranum
masih duduk di meja kasir Ran Fleuriste sembari menulis di catatannya yang
mulai usang dan berantakkan, sebuah tumpukkan kertas yang berlubang pada
sisinya lalu disatukan dengan tali. Ranum sedang membuat cerita pendek tentang
seorang wanita yang suka menunggu di halte bus. Seorang wanita yang menemukan
cintanya di halte bus ketika menunggu bus jurusan Drenthe datang. Seorang pria
yang membuatnya ingin terus tinggal di halte bus. Pria yang ditulis Ranum bukan
seorang direktur ataupun seniman tapi hanya seorang penjaga loket penjualan
tiket bus. Dan wanita yang dituliskan Ranum juga bukan seorang pekerja seni
ataupun karyawati sebuah perusahaan swasta. Hanya seorang wanita yang suka
dengan halte bus, sungguh aneh.
Si Pria
dan Si Wanita pertama kali bertemu ketika tangan mereka saling bersentuhan
ketika mengambil tiket di loket pembelian. Mata mereka saling menatap, mereka
saling membalas senyuman dan kedipan mata. Keadaan itu bertahan lama sampai
seorang ibu yang ikut mengantre mengeluh sebal, memarahinya yang menganggap
halte bus seperti ruang drama sinetron, dimana orang-orang bisa saling jatuh
cinta hanya dari sentuhan tangan ataupun tatapan mata. Wanita itu tertawa purau
diambilnya secarik kertas lalu menuliskan nomor handphone dan alamat rumah lalu pergi. Duduk menunggu bus tujuan
Drenthe datang.
Ranum
belum selesai menuliskan cerita pendeknya, belum ada judul. Hanya iseng untuk
mengisi waktu luang ketika tidak ada pembeli datang. Ranum tidak merasa dirinya
pandai dalam merangkai kata. Ranum hanya suka “Menulis”. Ranum juga suka membaca
karya-karya penulis hebat seperti William Shakespeare ataupun
Victor Hugo.
Kenangannya
di Tropea Beach membuat Ranum antipati terhadap pria. Sejak kejadian itu hidup
Ranum benar-benar hanya untuk Ran Fleuriste dan ibunya. Tak pernah sedikit
waktupun yang Ranum gunakan untuk memikirkan masalah cinta. Ranum yakin akan
datang saatnya seorang Pria yang benar-benar tulus mencintainya. Hanya menunggu
waktu yang tepat untuk membuka hati. Ranum sudah tidak muda lagi, sudah bukan
saatnya untuk bermain-main dalam urusan cinta. Ranum punya pemahaman sendiri
tentang cinta meskipun Sean tidak setuju dengan pemahamannya.
Tapi,
Ranum masih percaya akan ada masanya dimana orang-orang yang lelah mencari akan
memilih untuk menunggu dan orang-orang yang lelah menunggu akan mulai mencari
cintanya. Hidup itu berputar, maka nikmatilah putaran itu jangan mengeluh
apalagi menghina hidup sendiri karena hal itu sama saja seperti menghina Sang
Pencipta.
Hari
semakin sore, langit mulai hitam, matahari mulai turun. Hari ini Ran Fleuriste
sepi, hanya ada satu pria yang pagi tadi membeli sembilan tangkai bunga tulip. Pria
yang memberikan kartu namanya dan belum sempat dibaca Ranum.
Ranum
teringat pria itu. Setelah dia menutup tokonya, Ranum mengambil kartu nama itu
di laci kasir lalu membawanya duduk di kebun Ran Fleuriste sambil menunggu Sean
menutup tokonya. Tak lama kemudian Sean datang membawa kue yang sudah biasa
menjadi santapan mereka setelah menutup toko.
“Sean,
kamu tahu Rain Galvin?” Ranum menujukkan kartu namanya ke Sean.
“Rain
Galvin? Galvin keluarga terpandang di Amsterdam?” Sean melihat kartu nama itu
dengan seksama. Lalu duduk di depan Ranum.
“Galvin?
Aku belum pernah mendengar nama Galvin di Amsterdam?”.
“Masa?.
Keluarga Galvin pemilik kedai kopi turun temurun dari zaman perang dunia ke dua.
Kedai kopi terkenal di Belanda”.
“Baru
dengar aku”.
“Kamu
nggak tahu Rain Coffee?” Tanya Sean.
“Oh
kalau itu aku tahu, itu memang kedai kopi terkenal di Belanda. Tapi, sekalipun
aku belum pernah kesana”.
“Nah,
itu. Rain Coffee itu milik keluarga Galvin. Selalu ganti nama setiap generasi.
Beda pemilik beda nama. Dari zaman perang dunia ke dua kedai itu sudah ada di
Belanda... Terus kenapa kamu bisa punya kartu namanya?” Tanya Sean.
”Tadi
pagi dia mampir ke Ran Fleuriste. Beli satu buket bunga tulip. Dia hampir bikin
aku emosi, Sean. Dia nggak setuju soal pemahamanku tentang bunga. Aku kira dia
serius. Eh, ternyata bercanda, ngeselin banget kan?”.
“Hahahah,
terus-terus? Kamu jawab apa, Ranum?”.
“Aku
cuma diam. Eh, tiba-tiba dia Tanya bunga kesukaanku. Ya, aku jawab tulip dong.
Langsung dia beli satu buket bunga tulip. Terus dia minta dua tangkai bunga
tulip lagi. Yang biasanya satu buket isinya tujuh jadi Sembilan… Bayar, terus
pergi ninggalin kartu namanya”.
Sean
dan Ranum menghabiskan malam di kebun Ran Fleuriste, membicarakan Rain Coffee
dan banyak hal lainnya. Seperti biasa Ranum membeli teh di Scarlet Thee, kedai teh
milik kakek Winskel. Langit malam itu diselimuti banyak bintang, udara dingin
dan cahaya lampu kota menjadi pemandangan biasa. Di Amsterdam Ranum bukan
satu-satunya yang menghabiskan malam dengan mengobrol. Entah berapa banyak lagi.
Ranum tak pernah bosan ketika Sean menceritakan masa lalunya yang belum
diketahui Ranum semasa di Le Cordon Bleu. Malam penuh tawa, mereka tertawa
lepas mengganggu burung-burung yang tidur di pohon-pohon Kota Amsterdam.
“Sean!.
Menurutmu Rain Galvin bakal datang ke sini lagi nggak?”.
“Mungkin”.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar