Suasana
masih sunyi—sepi, mencekam—gelap, tak ada cahaya yang masuk diruangannya. Suara
detik jam beradu dengan tangisannya yang tak
kunjung berhenti sejak satu jam yang lalu. Terbaring remuk di kasur masa
kecilnya, mengenang ratusan kenangan yang dia lewatkan begitu saja, hanya
karena egonya yang menguasai dirinya, dia harus kehilangan orang yang paling
dia kasihi.
Kakinya
menggantung, kasurnya sudah tak cukup muat untuk tubuhnya. Dinding-dinding
kamarnya masih sama, puluhan gambar dari crayon warna-warni masih menempel di
sana. Dia tersenyum sembari membayangkan melihat masa kecilnya berdiri, menggambar
sebuah roket di dinding kamarnya. Ibunya memarahinya. Ayahnya mendukung,
kakaknya hanya tersenyum melihat tingkahnya yang lucu dan menggemaskan.
Aku
akan menceritakan kisahnya. Tapi, aku mohon jangan menganggap bahwa kisah ini
adalah kejadian nyata yang pernah atau baru saja aku alami.
Raganya
terhempas melihat ayah dan ibunya tidak dalam satu ikatan lagi. Dia menangis
meski senyumnya selalu mengembang kemanapun dia pergi. Dia wanita yang kuat
lebih kuat dari batu-batu karang. Aku? Tentu aku bukan siapa-siapanya. Aku tak
pernah ada dalam catatan indah hidupnya. Dia tak melirikku. Tapi, aku
meliriknya. Bukan karena cinta. Tapi, karena aku peduli. Entah berapa bahasa
lagi yang harus aku pakai untuk membuatnya melirikku, menganggapku atau untuk
sekedar membalas senyumku. Sudah tak ada kata maaf yang mampu dia terima dengan
baik. Aku pasrah, ini untuknya bukan untukku. Mari selesaikan puzzle terakhir
dari kisahnya.
Kasur
masa kecilnya membuatnya enggan bangkit. Langit-langit kamar membuat matanya
terpejam manis penuh luka. Dinding-dinding menjadi masif, cahaya lampu menua. Perlahan
mati—gelap. Matanya terpejam. Dia melihat sosok dalam kegelapan, mengajaknya
berbicara dalam bait yang dia buat sendiri. Tidak dalam satu ikatan lagi bukan
berarti mereka berpisah. Orangtuanya masih mesra bersama seperti muda dulu.
Jangan bingung, ini bukan Science Fiction ataupun makalah penelitian. Buka
matamu, telingamu juga pikiranmu. Aku akan membahasanya lagi. Satu per satu.
Sosok
itu membuatnya tenang. Dia tak takut gelap, seperti biasanya. Sosok dalam gelap
itu mengajaknya berbicara. Menyanyikan lagu masa kecilnya. Aku mengenalnya
sejak dia datang ketempatku, tatapan matanya pertama kali tertangkap olehku.
Meskipun dia tak menangkap tatapanku. Aku yakin, dia orang yang jujur, tak
mungkin berbohong dengan orang yang baru dia kenal. Sejak awal aku sudah tahu akan
ada bahaya yang menghadangnya. Namun dia diam tak peduli dengan semua apa
kataku. Aku merasa bersalah telah mencampuri urusannya. Tenang, ini belum selesai
masih ada lagi yang akan aku ceritakan tentangnya. Dia, perempuan tenang yang
malang. Tubuhnya tersakiti. Aku tahu, ada sesuatu yang membuat tubuhnya
melemah. Aku melihatnya. Tunggu!! Jangan buru-buru ingin tahu. Sebentar, akan
aku kupas satu per satu.
Dia masih
berbicara panjang dengan sosok dalam kegelapan di kamarnya. Tertawa sembari
memegang lembut bayangan itu. Tidak terlalu jelas apa yang mereka bicarakan.
Seperti aktor pantomim, tanpa suara. Tapi, gerak-geriknya membuat kejelasan
yang nyata dan ada. Sekarang tanganya memeluk bayangan itu, sosok yang sedari
tadi dia ajak mengarungi kegelapan kamar. Oke, tunggu dulu jangan berhenti
sampai di sini. Aku masih belum menemukkan gairahmu dalam membaca kisah ini.
Tegakkan tubuhmu, kembangkan senyummu, letakkan semua kenangan masa lalu di
pundak kananmu dan masa depan di pundak kirimu. Mulailah berpikir siapa yang
aku maksud, kamu mengenalnya. Dia adalah orang dekatmu. Aku akan membantumu
lagi. Perlahan-lahan. Pejamkan matamu, dua detik saja.
Oke,
sudah? Matanya mulai terbuka, sosok itu hilang. Cahaya lampu perlahan menyala
terang. Dia terbangun, memandangi sekitar sampai matanya tertuju pada satu
gambar dengan crayon berwarna biru. Gambar apa itu? Apakah kamu tahu? Apakah
kamu melihatnya? Tidak? Mungkin belum, mari pejamkan matamu lagi. Satu kali
lagi dan bayangkan gambar apa yang muncul. Siap? Dalam hitungan ketiga ikuti
nalurimu pejamkan matamu pelan-pelan lalu buka matamu ketika kamu sudah
menemukan gambar apa yang dia maksud. Satu, dua, tiga.
Sudah?
Jangan berbohong. Akan aku ulangi kalau kamu belum memejamkan matamu. Sekali
lagi dalam hitungan ke tiga. Oke? Siap?. Satu, dua, tiga.
Apa
yang kamu temukan? Gambar hewan? Tumbuhan? Gambar Hati? Bukan!! Kita semua
salah. Itu adalah gambar sosoknya, bukan dia yang menggambar tapi kita. Tanpa
sadar kita yang sudah menggambar sosoknya. Kamu, aku, dia, Kita. Sekarang
gambar yang kita buat sedang dia pandang dengan teliti. Dia kagum dengan gambar
sosoknya yang kita buat. Lihatlah, dia tersenyum, aku selalu bahagia melihat
senyumnya apalagi matanya ketika tersenyum. Kamu tahu? Belum? Oke, akan aku
bantu untuk mengetahuinya. Tapi, tunggu dulu. Tunggu aku selesai menatap senyum
dan matanya. Empat detik saja. Oke? Tunggu!!
Oke,
sudahkah kamu menemukan siapa dia? Aku sudah. Dia yang ingin memulai semuanya
dari awal lagi. Dia yang ingin memulai dengan orang yang baru bukan kenangan
masa lalu. Dia yang tak ingin lagi tertipu dengan satu aspek yang menentu dan
paling penting, agama. Dia yang sangat bahagia dengan kesendiriannya, mungkin.
Dia yang kadang enggan membalas pesan dari seorang laki-laki karena tak ada
satupun yang mewakilinya. Dia yang terkadang tidak siap akan perubahan yang
datang menghampirinya. Dia tak pernah butuh pembenaran ataupun pembelaan. Dia yang
tubuhnya tersakiti yang membuatku peduli namun tak dianggap. Dia ingin dimanja
ketika kedua bahunya terangkat sembari menarik nafas.
Paham?
Ingat ini bukan kisah nyata, ini Fiction. Tapi, perlu dicatat bahwa perempuan itu
ada. Siapa perempuan itu? Perempuan yang diam-diam justru membantuku mencari kekuranganku,
lalu aku memperbaikkinya. Meskipun kini dia tak peduli, meskipun aku meminta
maaf dengan ratusan bahasa yang ada di dunia. Mungkin akan jadi sia-sia. Tapi
aku masih peduli, aku tak bisa diam jika ada satu temanku yang masih
membenciku, karena itu sungguh menyiksaku. Kamu tahu? Tidak? Coba pejamkan
matamu sekali lagi, lima detik saja. Bayangkan sekali lagi dalam hitungan
ketiga. Dia perempuan baik yang siap dan tanpa sungkan memberitahu kelemahan
dan kekuranganmu itu yang membuatku masih terus peduli denganya karena semakin
banyak dia memberitahu kelemahanku lalu aku memperbaikinya. Maka, aku tak akan
punya kelemahan lagi.
Itu clue untukmu sebelum kita mulai.
Oke? Siap? Satu,
dua, tiga.. I See You, V.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar