Di
dalam kepalaku hidup seorang pria yang dulu pernah menjadi pengisi ruang hatiku
yang kosong. Seorang pria yang tidak peduli dengan kesukaanku, passion, dan semua yang aku gemari. Dia
mencintaiku dari ujung rambut hingga kaki, dia mengaku hidupnya berubah ketika
bersamaku, menjalin kasih dan berkomitmen denganku. Dari beberapa pria yang mencintaiku
aku lebih memilihnya. Yang lainnya hidupnya jadi tak karuan. Cintanya tersisih, jiwanya hancur, hatinya tak
bisa lagi merasa. Mereka merasa kehilangan. Tapi aku tidak peduli. Mau gimana
lagi, aku tetap harus memilih satu diantara pilihan yang ada. Hidup itu
pilihan, kalau aku memilih dua ataupun tiga bukan pilihan lagi namanya.
Semua
tentang pria itu masih terekam jelas di otakku. Caranya menyapaku, tersenyum, memegang
tanganku, dan memanjakanku masih jelas bisa aku lihat. Pada awalnya aku bahagia
menjalin hubungan dengannya, dia adalah pria yang mengajarkanku untuk menjadi
wanita yang tenang dan anggun, memperlakukanku seperti seorang ibu yang merawat
bayinya yang baru dilahirkan, sangat hati-hati menjaga perasaan dan moodku. Aku
menganggapnya berbeda dengan pria yang lain. Sampai suatu hari ketika kami sudah
berhubungan hampir dua tahun dia meminta izin padaku untuk pergi ke Italia. Dia
ingin mengurus pekerjaanya disana untuk waktu yang sangat lama. Dia hanya
meninggalkan jam tangan untukku. Alasannya sederhana, karena jika aku rindu aku
bisa memandangi jam itu ataupun memakainya. Dan benar saja, kepergiannya
sungguh menyiksaku, membuat hatiku yang sudah terisi penuh denganya perlahan
berkurang debitnya. Aku tidak bisa berhubungan jarak jauh dengan seorang yang
aku cinta. Ini berat, seperti lautan dengan ombak yang tinggi dan meraung-raung
bagai harimau. Jam pemberiannya selalu aku pakai ketika tidur bahkan jam itu
rusak karena aku selalu memakainya ketika mandi.
Tak
pernah ada satu mimpiku yang tak ada dirinya. Selalu saja dia menghantuiku
lewat mimpi-mimpi yang bisa sangat indah juga sangat menyakitkan, membuat
rongga dadaku sesak dipenuhi kenangan yang mencoba mematikanku. Sejak
kepergiannya ke Italia dia tak pernah lagi mengabariku, mengirimkan pesan
ataupun sekedar mengucapkan selamat pagi ketika aku bangun tidur. Perbedaan
yang sangat mencolok aku seperti diterbangkannya
setinggi langit lalu dijatuhkan dengan kecepatan tinggi dan terhempas dengan
sangat keras ditanah kering berselimut kerikil tajam yang jumlahnya tak bisa
dihitung. Aku mencintainya, sampai rinduku habis dan tak tertampung lagi aku
nekat menyusulnya ke Italia. Aku tak tahu pasti dimana tempat tinggalnya selama
di Italia, yang aku tahu banyak orang-orang Italia mengenalnya. Pria nyentrik dengan stlye british. Seperti melihat kucing yang
berdiri diantara tikus. Aku yakin pasti mudah menemukkannya.
Aku
menyusuri kota-kota di Italia yang pernah dia ceritakan padaku. Dari Torino
hingga Palermo, aku belum juga menemukannya. Hingga aku di Italia dia masih belum
membalas pesanku.
Di suatu siang setelah tiga hari mencari, ketika aku berdiri di depan papan iklan yang sangat besar di Kota Palermo, papan iklan: Trip To Tropea Beach dalam bahasa Italia. Seketika aku mengingat satu tempat yang sering dia ceritakan padaku. Tropea Beach. Pantai yang terletak di selatan Italia tepatnya di Calabria. Tidak terlalu jauh dari Palermo.
Di suatu siang setelah tiga hari mencari, ketika aku berdiri di depan papan iklan yang sangat besar di Kota Palermo, papan iklan: Trip To Tropea Beach dalam bahasa Italia. Seketika aku mengingat satu tempat yang sering dia ceritakan padaku. Tropea Beach. Pantai yang terletak di selatan Italia tepatnya di Calabria. Tidak terlalu jauh dari Palermo.
Matahari
yang terik, jalanan yang dipenuhi mobil-mobli pabrikan Italia adalah kesan
pertamaku ketika sampai di Tropea Beach. Pantai dimana orang-orang bebas
bercumbu namun tak melewati batas. Dengan tebing yang tinggi dan terdapat
penginapan-penginapan yang ada di atas tebing, menghadirkan pemandangan indah
dan lautan biru, Calabria. Aku menginap di kamar yang cukup luas dan sangat
mudah untuk melihat pemandangan keindahan Tropea Beach, cukup membuka tirai
jendela lebar-lebar.
Dari
atas sini aku bisa melihat deretan mobil sporty diparkir rapi di pinggir jalan
Tropea Beach. Ratusan wanita yang dengan santainya berlalu-lalang hanya
mengenakan celana dalam dan BH.
Warna-warni, beda orang beda juga warnanya seperti pelangi. Para pria yang
telanjang dada bermain voli pantai, anak-anak yang mendirikan Istana pasir dan beberapa pasangan yang bercumbu dibawah payung pantai warnai biru
bertuliskan “Tropea Beach”. Aku tidak ingin berlibur, aku hanya ingin mencarinya.
Pria yang sudah lama tak memberi kabar dan tak kunjung membalas pesanku. Pria keturunan Prancis-Inggris dengan rambut
cokelat muda, hidung mancung , otot kekar dan tato bintang yang ada di
lehernya.
Lewat
tengah malam pengunjung pantai mulai meninggalkan Tropea Beach, menyisahkan lautan
tenang dan deburan ombak yang sesekali tajam menyentuh bibir pantai. Ada satu
tenda kemah yang berdiri di Tropea Beach, membuatku terus menatap penasaran
siapa yang ada dibaliknya dan sedang apa. Tak terlalu jelas apa yang terjadi di
dalamnya, tenda itu sesekali bergetar hebat tak menentu. Aku masih terus
menikmati pemandangan yang membuatku penasaran. Tenda itu hanya muat untuk dua
sampai tiga orang, menghadap lansung ke lautan. Di depan tenda itu ada api
unggun yang apinya tidak terlalu besar tapi cukup untuk menghangatkan orang
yang ada di dalam tenda. Tak lama kemudian ada seorang wanita yang keluar
dari tenda , berteriak gembira, melompat-lompat kegirangan. Aku tersenyum
melihat tingkah lakunya. Seperti anak kecil yang dibelikan mainan baru oleh
ibunya.
Setelah
satu menit melihat kegirangan wanita itu, aku memutuskan untuk pergi tidur. Langkahku terhenti ketika seorang pria keluar dari tenda. Aku
seperti mengenal pria itu meskipun wajahnya samar-samar dibawah cahaya bulan.
Aku mengamatinya serius seperti seorang ilmuwan yang mengamati kuman dengan
mikroskop. Dia seperti pria yang aku cari, aku yakin dari tato bintang yang ada
di lehernya. Wanita itu melingkarkan tanganya di leher Si Pria setelah pria itu
melingkarkan tanganya di punggung wanita itu.
Aku mencoba mengirimkan pesan untuk memastikan bahwa itu memang pria yang aku cari. Beberapa detik setelahnya dia mengambil handphone yang ada di saku kirinya hanya sebentar melihat layar di handphonenya lalu memasukkannya lagi. Benar, dia pria yang aku cari, pria yang meninggalkanku lebih dari dua tahun. Dan kini aku melihatnya binal dengan perempuan lain. Aku melihat kenyataan yang sulit untuk aku terima, aku tak percaya jantungku berdebar binal dalam rongga dada yang sempit. Tanganya semakin “Nakal” berkeliaran di tubuh wanita itu. Mereka berciuman, pria itu mengangkat wanita yang ada di depannya, kaki wanita itu melingkar tepat di pinggang pria brengsek itu. Mereka berpagut lidah, pria itu sesekali mencium leher wanitanya.
Pemandangan menjijikan bagiku. Pria brengsek itu membawa wanita yang ada digendongannya masuk kedalam tenda kemah. Otakku beku melihat kenyataan yang ada didepanku, mataku memerah melotot hampir keluar dari rongga mata. Tenda kemah itu bergetar lagi, getarannya semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya menghampirinya lalu menampar keras. Aku terjaga semalaman hingga hari hampir pagi, meski cahaya di luar masih lemah. Mataku tak mungkin salah, aku sudah menemukannya. Mereka berada di dalam tenda yang sempit bercumbu liar, saling memeluk, berciuman. Aku sadar, aku salah memilihnya. Pria yang aku anggap baik dan berbeda ternyata lebih dari sekedar brengsek, aku merasa di tipu. Jadi selama ini aku menolak ajakannya untuk pergi kerumahnya sangat tepat, tidak salah.
Aku mencoba mengirimkan pesan untuk memastikan bahwa itu memang pria yang aku cari. Beberapa detik setelahnya dia mengambil handphone yang ada di saku kirinya hanya sebentar melihat layar di handphonenya lalu memasukkannya lagi. Benar, dia pria yang aku cari, pria yang meninggalkanku lebih dari dua tahun. Dan kini aku melihatnya binal dengan perempuan lain. Aku melihat kenyataan yang sulit untuk aku terima, aku tak percaya jantungku berdebar binal dalam rongga dada yang sempit. Tanganya semakin “Nakal” berkeliaran di tubuh wanita itu. Mereka berciuman, pria itu mengangkat wanita yang ada di depannya, kaki wanita itu melingkar tepat di pinggang pria brengsek itu. Mereka berpagut lidah, pria itu sesekali mencium leher wanitanya.
Pemandangan menjijikan bagiku. Pria brengsek itu membawa wanita yang ada digendongannya masuk kedalam tenda kemah. Otakku beku melihat kenyataan yang ada didepanku, mataku memerah melotot hampir keluar dari rongga mata. Tenda kemah itu bergetar lagi, getarannya semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya menghampirinya lalu menampar keras. Aku terjaga semalaman hingga hari hampir pagi, meski cahaya di luar masih lemah. Mataku tak mungkin salah, aku sudah menemukannya. Mereka berada di dalam tenda yang sempit bercumbu liar, saling memeluk, berciuman. Aku sadar, aku salah memilihnya. Pria yang aku anggap baik dan berbeda ternyata lebih dari sekedar brengsek, aku merasa di tipu. Jadi selama ini aku menolak ajakannya untuk pergi kerumahnya sangat tepat, tidak salah.
Belum
ada semalam aku menginap di Tropea Beach, aku bergegas pergi kembali ke
Amsterdam, menatap tenda itu sekali lagi lalu mengirimkan pesan. “Pria brengsek!,
Aku tak masalah jika cintaku berhenti karena wanita yang sekarang sedang bercumbu bersamamu. Tapi, kamu harus janji untuk lebih bahagia denganya dan tak
mencariku lagi (Ranum).” Pria itu keluar dari tenda, menatap sekitar. Matanya
memburu jendela-jendela penginapan yang ada di Tropea Beach. Aku menutup tirai tepat
ketika matanya sampai pada jendela kamarku, lalu pergi membawa kebencian yang
tecipta kurang dari semalam. Kenangan itu benar-benar habis. Sampai sekarang aku masih mengingat kejadian itu.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar