Berdiri
aku di satu tempat yang membuatku bosan, sangat bosan dan tidak bahagia.
Aku menginginkan rasa tenang, sunyi, kesendirian yang membuatku tidak bisa
bertanya, “sedang dimana aku?”. Aku tidak menemukannya ditempat ini. Negara
tempat kelahiranku, Indonesia. Pesona negeri ini belum bisa mencuri keinginanku
untuk mengarungi setiap lautan, gunung dan keindahan alam yang membuat
orang-orang terpukau. Perasaan ini beda, ada medan magnet kuat yang lebih gila
menarikku pada satu dimensi yang lebih luas, lebih tenang untukku merasakan
rasa sakit yang sudah lama mengendap. Pesonaku terhadap negeri ini hanya
sebatas pengetahuanku bahwa di negeri inilah aku dilahirkan.
Aku
tidak merasakan ketenangan di negeri indah ini, terlalu banyak orang-orang “sakit”
di negeri ini. Mulai dari sekumpulan manusia bodoh yang menamai dirinya
politikus hingga penegak hukum yang tidak punya integritas dan loyalitas
terhadap pekerjaannya. Aku tidak menyukai senyum-senyum palsu yang membuatku
risih, membuatku semakin ingin pergi dari tempat ini. Tempat dimana aku bisa
merasakan dan menikmati kesendirianku, merasakan udara yang tidak dicampuri
udara kotor dari polusi kendaraan yang penuh sesak di jalanan.
Hanya
satu hal yang aku cintai dari negeri yang indah ini. Pria itu, pria dengan
sejuta pertanyaan yang masih menggantung di pikiranku. Menggantung seperti
jeruk yang siap dipetik. Pria penuh kesederhanaan yang aku anggap itu adalah
harta yang paling berharga yang harus dimilikki orang-orang. Kesederhanaan yang
tidak biasa, tidak dimilikki orang-orang. Apa yg bisa aku lihat adalah apa yg telah dia lihat, dan
lebih luas dari yang aku lihat. Kesederhanaanya dalm menatapku, tersenyum,
bersalaman. Matanya seperti garis imajiner lurus yang berkontur, berpolakan
seribu misteri yang membuatku tidak ingin beranjak dari tempat duduk ini.
Tempat dimana aku ingin membawanya bersama semua kelembutan dan kehangatan yang
ia tanamkan. Aku duduk merenung, menunggu dia datang sendiri, menghampiriku dan
bukan aku yang menjemputnya. Bukan seperti ibu yang menjemput anaknya sepulang
sekolah. Namun, seperti ayam yang tahu kemana dia harus pergi ketika senja
tiba.
…………………….
Aku memandangi namanya, di gelas
plastik berukuran grande yang telah habis diminumnya. Mungkin itu minuman
kesukaannya, aku tak tahu persis apa nama minuman itu. Namanya begitu cantik,
seperti taman bunga yang dirawat dalam satu kebun. Warna-warni yang memanjakan
mataku. Memainkan senyumku yang tak lagi memilikki, tak lagi merindu, yang tak
sempat bersentuhan. Sekalipun itu bersalaman panjang, sepanjang garis pantai
Chile. Dalam kesendirianku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sosoknya. Dia tidak
sendiri, dia bersama pria yang aku kenal persis. Dari sorot matanya aku tahu
pria itu mencintai wanita yang duduk didepannya. Gerak-gerik pria itu sangat
kentara, senyumannya melebar, selebar batas jarak yang diputus air terjun
Niagara. Memutus antara Amerika dan Kanada.
Aku pernah melihatnya di bangku
berwarna putih di Pantai Azur. Pantai di kota Cannes. Membaca sebuah buku otobiografi
tokoh dunia. Tokoh panutannya, si botak dengan kegilaannya terhadap teknologi
terbarukan. Aku terus memandanginya, masih memandanginya. Seperti duduk pada
satu meja bersamanya, meja kayu dengan pola berantakkan dan kursi yang
tingginya menyentuh lenganku. Gelas-gelas kaca pecah. Gambaran tepat ketika aku
melihatnya bersandar pada pundak seorang pria. Pria beruntung, bermata sipit
dengan kumis tipis yang mengganggu dan mengurangi auranya. Aku tidak lebih
beruntung, sesekali dia tak menatapku mengalihkan pandangan atau mungkin dalam
hati berkata “Kamu bajingan, kamu tai”, entahlah.
Di tempat lain, sebenarnya aku benci atas
kesendirianku yang aku ciptakan sendiri. Segalanya jadi tanpa arti ketika aku
menceritakan semuanya. Cerita dibalik alasan bahwa sebenarnya dialah tokoh
utama dalam drama yang aku ciptakan. Dia seperti paham tapi belagak diam dan
tidak tahu. Aku yakin dia tahu, lukisan dibelakangnya merekam semua situasi
yang aku ciptakan. Pun juga tiga lampu kuning yang ada diatasnya. Meski
wanita-wanita bertubuh molek lalu-lalang dengan dandanan menor, pantat yang
kencang dan sesekali berada disampingku, mengganggu situasi yang aku ciptakan.
Tapi tidak!! Bukan itu yang mencuriku. Aku merasakan sosok didepanku ini hidup
dalam setiap cerita yang aku buat. Hanya saja aku tidak ingin berharap lebih
jauh lagi meski sudah ribuan tembok aku tubruk, ratusan bom waktu yang meledak.
Perjuangan yang tidak sia-sia meskipun garis finish hanya berjarak 1cm dari
ujung kakiku. Aku ingin terus bersamanya, memilikki pemikirannya, idealismenya,
integritasnya dan pesonanya sebagai seorang penulis yang tak pernah berhenti
membuat dada ini sesak, membuat seluruh cairan pada mataku menyelimuti kornea
lalu jatuh diantara semua pengharapan yang tak akan jadi kenyataan. Dia
benar-benar ada, disekitarku. Aku merasakan kehangatannya menyelimutiku. Sophie
aku harap kau tidak marah. Bawa aku mati jika kau sadar akan hal ini.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar