Jas
yang dipakai Arthur sangat pas, tanpa dasi menambah kesan menarik untuk Arthur. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangan
Prof. Uru. Satu penjaga yang memakai jas sama persis dengan Arthur berada
dibalik pintu itu, Prof. Uru mengenalkannya pada Arthur. Penjaga itu membawakan
kacamata hitam untuk Arthur, dia yang akan menemani Arthur untuk menyelesaikan
misi yang Arthur rancang sendiri. Memang sudah terlalu banyak orang jahat di
Balai Kota, tapi tidak sedikit yang memilih untuk membelot. Penjaga itu
buktinya. Bibi Ana dan tentunya Prof. Uru.
-09.19-
Arthur
membawa semua perlengkapan yang dibelinya dari pasar gelap di lepas pantai
Nanoi. Kecuali pisau Gurkha Nepal
barang itu terlalu berat dan besar untuk dibawanya, Arthur meninggalkannya
diruangan Prof.Uru. Keluar lalu mengatur frekuensi dan volume Handie Talkie
yang dibawanya. Prof. Uru mengunci pintunya. Arthur memakai kacamata hitam
setelah dia selesai mengatur Handie Talkie miliknya. Sasaran pertama Arthur
belum juga terlihat, Askar Kecha. Malaikat pencabut nyawa Witson. Wali Kota
yang dicintai rakyatnya. Sejauh ini belum ada kecurigaan dari siapa pun. Ini
membuat Arthur tenang, setidaknya pertumpahan darah bisa dicegah. Arthur tidak
ingin membunuh orang-orang yang tidak berdosa, dia hanya mencari orang dibalik
kematian Ayahnya.
Penjaga
itu memberikan isyarat pada Arthur untuk berjalan perlahan, kini mereka sudah
sampai di markas prajurit dan polisi kota, letaknya masih satu komplek dan tidak
jauh dari Balai Kota. Suasana ramai, gaduh akan membuat percakapan jadi tidak
terdengar jika diucapkan pelan. Arthur menerima ajakan penjaga itu untuk
berbaur dengan polisi kota dan prajurit yang lain. Meskipun Arthur tidak
mengenal satupun diantara mereka, setidaknya pakaian dan kacamata hitam yang
dipakai Arthur berhasil membuat mereka tidak curiga. Terdengar suara mesin jet
yang menderu dimana-mana, latihan gabungan rutin baru saja selesai. Arthur
menunggu, penjaga itu mengarah ke sebuah lorong, mengamatai sekitar lalu
berbalik arah menuju tempat Arthur menunggunya. Penjaga itu berbisik, Arthur
mengikutinya setelah dia selesai berbisik. Kini penjaga itu mengajak Arthur
pergi ke lorong yang baru saja di cek oleh penjaga itu. Lorong panjang dengan
lampu neon berjejeran di sudut atas lorong.
“Kau mau membawaku kemana?” Tanya Arthur
“Charles,
kita tidak bisa menunggu prajurit sialan itu datang. Dia bukan orang yang
bersedia ditunggu, pancing dia untuk keluar dari sarangnya”
“Kau
pernah lihat wajah asli prajurit itu?”
“Belum,
sepertinya susah untuk menemuinya tanpa topeng. Mungkin dia ada diantara
gerombolan prajurit dan polisi kota tadi” Penjaga itu masih berjalan didepan
Arthur, terus menyusuri lorong yang sesekali tidak ada lampu neon yang menyala.
“Lalu,
kenapa kau ingin membantuku mencari Charles?”
“Aku
tidak suka dengannya, dia tidak cocok menempati jabatan itu. Pengetahuannya
tentang keamanan bahkan kalah dariku, sangat jarang aku melihatnya keluar dari
ruangannya” Belum sempat Arthur menjawabnya mereka sudah hampir sampai di ujung
lorong, dari kejauhan pintu besi dengan lampu merah yang berkedip diatasnya
tidak dijaga. Pintu itu memilikki kode sendiri. Arthur
mengelurakan kartu yang sudah diberikan Bibi Ana. Menggesek kartu itu, lalu
memasukkan pin. 1991. Pintu itu berhasil terbuka.
Dinding
ruangan itu sepenuhnya kaca, ada beberapa jendela yang terbuka lebar, kaca-kaca
itu membentuk setengah lingkaran, membuat ruangan jadi nampak sempit. Charles berdiri
membelakangi Arthur, menatap keluar jendela, Charles menyilangkan tangannya,
berdiri tegap. Beberapa menit tanpa ada satupun yang membuka pembicaraan Arthur
dan penjaga itu berdiri berdampingan menatap punggung Charles. Charles belum
juga berbalik arah untuk menyapa. Belum selesai Arthur memulai pembicaraan
Charles berbalik badan, mengarahkan tangan kanannya ke penjaga yang ada di
samping Arthur. Ditanganya moncong pistol FN berwarna hitam buatan Belgia
membuat penjaga itu ketakutan, penjaga itu belum sempat mengambil pistol yang
dia bawa.
“Arthur,
kenapa kau kesini? Siapa yang membawamu?” Charles semakin erat memegangi pistol
yang ada ditangannya. “Dia yang membawamu?, Bajingan yang tidak punya keahlian
apapun ini yang membawamu kesini?” mata Charles menatap ganas penjaga yang ada
disamping Arthur. Kebencian nampak dari sorot mata Charles, penjaga itu adalah
Anak dari Natalie namanya Rey. Satu-satunya prajurit yang paling dihormati tapi
tidak punya keahlian selain menembak. Rey sudah sejak lama membenci Charles,
Charles tidak pernah mengikutkannya pada misi yang diperintahkan. Rey hanya
menjadi penonton membawakan barang-barang prajurit lain. Apalagi Rey tidak suka atas pencalonan Charles untuk menjadi Calon Wali Kota Nanoi peridoe berikutnya.
“Kau
yang bajingan, ratusan orang tak berdosa mati sia-sia karenamu” Rey
mengelak.
“Kalau
bukan karena perintah ibumu, aku tidak akan melakukannya, Rey!! Kau tidak pernah
mendengarkanku”
“Lalu,
apakah aku harus membenci ibuku? Aku bukan orang gila yang dengan mudah
membenci ibuku karena percaya kata-katamu” Arthur masih terdiam tanganya
bergerak meraba saku berisi pisau lipat yang ada dibalik jasnya.
“Ibumu
pembohong, Rey. Memangnya apa alasan dia menempatkanmu dibawah komandoku kalau
bukan karena dia ingin mengawasiku?” Tangan Arthur meraih pisau lipat yang dia
bawa lalu menekan tombol untuk membuka mata pisau di dalam sakunya.
“Anjing
kau Charles…..” belum selesai Rey berbicara peluru dari pistol FN yang dibawa
Charles sudah menembus jantung Rey. Arthur tahu hal ini akan terjadi,. Kurang
dari dua detik Arthur melemparkan pisau lipat tepat ke arah Glabella Charles (Ruang antara alis mata). Mata Charles melotot, sebelum
pistol dan tubuhnya jatuh ke lantai, tiga kali Charles menembak Arthur, Arthur
berhasil menghindar. Darah dari tubuh Rey terus tumpah membasahi lantai,
semuanya terjadi begitu cepat sampai Arthur tidak sadar dia sudah membunuh
Charles. Arthur cemas dia baru tahu bahwa Rey adalah anak Natalie, Arthur
melepaskan kacamata hitam yang dipakai Rey, menatap mata Rey dalam-dalam air
matanya menetes, Arthur tidak bisa melihat orang tanpa dosa mati sia-sia. Belum
sempat Arthur membersihkan air matanya, Handphone yang ada di saku kanan Charles
berdering. Arthur merogohnya lalu berdiri membaca pesan dari nomor yang tidak
dikenal.
“Terimakasih Arthur, kau membantuku membunuhnya. Untuk kematian
anakku kau harus menebusnya. Jangan menatap ke arah jendela” –Askar Kecha
Arthur buru-buru, matanya memandangi situasi yang ada diluar
jendela. Belum berhasil menemukan apa tujuan Askar Kecha melarangnya menatap ke
jendela, anak panah meluncur cepat dari gedung yang ada di seberang ruangan
Charles. Menembus mata kanan Arthur. Dalam hitungan detik tubuh Arthur jatuh, mata kanannya terbelah jatuh terpisah dari rongga mata Arthur...
Askar Kecha menyembunyikan alat panah di tas berwarna hitam, dia tersenyum. Lalu pergi memakai kacamata hitam yang terselip di lubang leher bajunya.
Askar Kecha menyembunyikan alat panah di tas berwarna hitam, dia tersenyum. Lalu pergi memakai kacamata hitam yang terselip di lubang leher bajunya.
-TAMAT-
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar