Arthur
dijemput Prof. Uru. Hari ini mereka memulai strategi yang sudah disusun Arthur
tempo hari. Masuk Balai Kota tanpa kecurigaan dari petugas pengamanan, dan
mereka berhasil. Arthur ikut masuk ke ruangan Prof.Uru. Menyamar menjadi
asisten dokter, memakai baju serba putih khas dokter balai kota. Tidak ada
kecurigaan dari siapapun. Ruangan dengan cat putih dan peralatan dokter yang
disusun rapi, ada dua ranjang pasien yang disusun berdampingan dibelakang meja
Prof. Uru, diantara dua ranjang ada tirai panjang berwarna biru yang menjadi
pembatas. Ada foto Natalie, walikota Nanoi di antara dua jendela dan dua
ranjang pasien, ekor bingkai hampir menyentuh tirai bagian atas. Foto itu
nampak mencolok karena ukurannya yang sangat besar. Arthur membenci sosok pada
foto itu, dia mencurigai Natalie ikut dalam kasus pembunuhan ayahnya. Matanya
sinis memandangi foto Natalie. Arthur menyiapkan alat yang sudah dibawanya,
revolver S&W, satu pisau lipat, dua granat manggis dan sepasang pisau Gurkha Nepal yang didapatkannya dari
pasar gelap di lepas pantai Nanoi.
Setalah
semuanya siap, seorang koki balai kota mengetuk pintu ruangan Prof.Uru. Prof.
Uru membuka kan pintu setalah ketukan ke tiga. Itu Bibi Ana masih satu darah
dengan Prof. Uru, Orang yang merawat Ana setelah kemtian ibunya. Prof. Uru
menanyakan kesiapannya, Bibi Ana melempar kemeja koki warna hitam lengkap
dengan topi dan celemek pinggang. Arthur
mengganti bajunya, setalah itu keluar bersama bibi Ana membawa troli makanan
yang akan dibawa ke ruangan Natalie. Prof. Uru mengunci pintu membereskan baju
dokter penyamaran Arthur, menyembunyikan di laci meja kerjanya.
“Mau
kemana kita?” Tanya Arthur.
“Ke
ruangan Natalie, membawkan ini semua untuknya”
“Bibi
tidak salah membawaku kesana? Aku tidak suka denganya, aku curiga dia ada
dibalik pembunuhan ayahku” suara Arthur pelan, melihat seorang perempuan
melewatinya.
“Ayo
kita buktikan, jika intuisimu benar, tembak mati dia.” Bibi Ana terus mendorong troli berisi makanan
lalu Arthur ikut mendorong troli itu. Mereka sampai di depan pintu Ruangan
Natalie, pintu besar anti peluru yang dijaga dua penjaga berkumis tebal,
menghentikan mereka, memeriksa semua makanan yang ada di Atas troli. Setelah semuanya
dianggap aman, penjaga itu membuka kan pintu dan mempersilahkan masuk. Ruangan
Natalie tidak semewah yang Arthur kira, semuanya serba sederhana, meja dan
kursi ditengah ruangan untuk menerima tamu, meja kerja yang besar dengan dua
komputer, dan lemari buku yang berjejeran rapi yang menempel langsung pada
dinding-dinding ruangan. Beberapa vas bunga yang dipajang di sudut ruangan,
Karpet merah yang membungkus seluruh lantai diruangan Natalie.
“Akhirnya
datang juga, ini orang yang kau maksud?” Tanya Natalie pada bibi Ana.
“Benar,
ini Arthur” Jawab Bibi Ana, lalu Arthur bersalaman dengan Natalie.
“Saya,
Arthur anak dari orang yang ada di foto itu” telunjuknya mengarah ke foto Witson,
Arthur kaget karena Foto Ayahnya terpampang di belakang meja kerja Natalie,
foto dengan bingkai besar berwarna keemasan.
“Ah,
aku sengaja tidak melepas foto itu dan menggantinya dengan fotoku” Natalie
berjalan kearah troli makanan, Arthur masih memandangi foto ayahnya yang
memakai jas hitam dengan kemeja putih dan dasi kupu-kupu berwarna hitam. Bibi
Ana membuka botol sampanye lalu menuangkan digelas yang sudah disiapkan untuk
Natalie.
“Tapi
kenapa kau tidak menggantinya?”
“Jujur
saja, aku sangat mengidolakan ayahmu, ketika para Anei menawariku untuk menjadi
penggantinya aku langsung terima ajakan mereka. Aku penasaran dengan kematianya.
Aku juga masih terus menyelidiki sebab kematian ayahmu, Arthur. Dan akhirnya
aku tahu bahwa Askar Kecha membunuh ayahmu” Natalie meminum sampanye yang ada
ditanganya. Bibi Ana menuangkan sampanye untuk Arthur. Lalu Arthur meminumnya.
“Jadi,
gimana dengan intuisimu Arthur?” Tanya Bibi Ana. Arthur tidak menjawabnya, rasa
penasaran terhadap Natalie masih membuatnya bingung.
“Sebentar,
aku masih bingung, lalu kenapa kau tidak bertindak? Memenjarakan para Anei,
misalnya?”
“Itu
yang tidak bisa aku lakukan Arthur, di Kota ini, Walikota hanya menjadi simbol demokrasi.
Simbol bahwa Kota ini mempunyai pemimpin. Tapi tidak punya kuasa atas apapun”
Natalie menggerak kan tanganya, tanda mempersilahkan Arthur dan Bibi Ana duduk.
“Aku
semakin bingung, lalu siapa yang menjalankan pemerintahan? Jika Wali Kota yang
seharusnya menjadi pimpinan tertinggi tidak diberikan kekuasaan apapun?”
“Para
Anei, dibawah pimpinan Charles”
“Siapa
itu Charles? Apa pengaruhnya?”
“Charles,
pimpinan tertinggi para Anei, dan komandan tertinggi polisi di kota Nanoi,
semua orang tunduk padanya. Prajurit-prajurit handal kota ini ada dibawah
pengaruhnya, termasuk Askar Kecha prajurit terbaik yang membunuh ayahmu.”
“Lalu
kenapa bibi membawaku kesini?”
Bibi
Ana memberikan sebuah kartu pada Arthur.
“Itu
kartu bebas untuk masuk ke setiap ruangan yang ada di Balai Kota, kau cukup
memasukan PIN yang tertera di kartu itu” Jawab Bibi Ana.
“Aku
hanya bisa membantumu ini Arthur, kau tidak cukup untuk membunuh Askar Kecha
yang kau cari. Kau juga harus mencari Charles, dia berbahaya. Hidupnya hanya
duduk dan memberi perintah. Kau juga tidak bisa memberikan kesempatan ke dua
bagi para Anei. Kota ini sudah terlalu busuk, penuh sesak dengan
koruptor-koruptor kelas kakap”
Bibi
Ana keluar meninggalkan Arthur dan Natalie berdua, berpamitan dan meninggalkan
troli berisi makanan agar Arthur bisa memakainya untuk kedok keluar dan melewati
penjagaan. Natalie memberikan baju keamanan, Jas dan seluruh kelengkapannya,
kaca mata hitam dan Handie talkie.
“Pergilah
kembali ke ruangan Prof.Uru, lalu gantilah pakaianmu disana”
“Terimakasih
atas semuanya, aku akan segera pergi”
Arthur
pergi membawa troli dan meletak kan tas berisi baju kemanan yang diberikan
Natalie dibagian bawah troli. Masuk ke ruangan Prof. Uru lalu mengganti
pakaiannya.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar