Pagi
ini sisa hujan menutupi pandanganku, perlahan berubah
jadi remah-remah embun yang menyelimuti kaca toko bunga milikku, menghalangi mereka melihat
jajaran vas bunga yang tersusun rapi. Malam tadi hujan sangat deras. Tidak ada
bintang, tidak ada kenangan yang pantas untuk diingat. Udara dingin masih saja
menyetubuhiku sejak malam tadi, masuk melalui celah-celah jendela dan pintu
ditempat ini. Tempat mengenang, tempat untuk melihat orang-orang yang datang
dengan kecemasan, kecintaan dan keputusasaan.
Banyak perempuan bertubuh molek yang
mendatangi tokoku hanya sekedar bertanya apa arti nama toko bungaku, Ran Fleuriste. Fleuriste nama yang
sangat sederhana diambil dari bahasa Prancis yang punya arti: toko bunga, dan
Ran?. Ah, mereka lupa bahwa Ran adalah Ranum, tiga huruf yang cukup mewakili
namaku. Mereka yang muda dan masih perawan hanya datang untuk memuji keindahan
bunga-bunga yang tersusun rapi dengan Vas bunga yang mayoritas berwarna putih,
warna kesukaanku. Hanya orang-orang yang benar-benar mencintai keindahan yang
membeli bunga di tokoku. Keindahan yang mampu merubah raut wajah mereka setiap
aku menjelaskan filosofi dari bunga-bunga yang ada di Ran Fleuriste. Menghilangkan kepenatan mereka, masalah rumah tangga
antara sepasang suami istri ataupun sepasang muda-mudi yang dimabuk cinta.
Dari
sudut tempatku berdiri. Aku bisa melihat anak-anak ceria memainkan
bola-bola kecil di Vondelpark,
seorang kakek yang duduk dengan topi layaknya penyanyi jazz, gelisah menunggu
bus kota datang. Beberapa nenek yang mondar-mandir di atas jajaran batu yang
disusun rapi, yang diyakini bisa memperpanjang usia. Para pemuda yang bersepeda
memutari taman kota dengan earphone yang selalu menempel di telinga. Vondelpark adalah taman kota paling
terkenal dan paling luas di Amsterdam, luasnya mencapai 47 hektar. Taman dengan
ciri khas bertuliskan I Amsterdam
yang menjadi daya tarik turis-turis lokal ataupun mancanegara.
Aku
masih sibuk membersihkan kaca tokoku, merapikan bunga yang berantakkan akibat
sapuan angin malam tadi. Ran Fleuriste
masih belum dibuka, aku masih menunggu stock bunga baru yang datang dari Anna Paulowna, sebuah gemeente Belanda yang terletak di provinsi Noord Holland. Anna Paulowna adalah sawah bunga tulip terbesar di Belanda tempat berkumpulnya para
petani bunga dan bunga-bunga yang indah.
Toko kue milik Sean, sahabatku, juga belum dibuka, toko Sean
ada diantara Ran Fleuriste dan ruko yang masih kosong sejak ditinggal dua tahun
lalu oleh pemiliknya, penjual aksesories khas belanda yang pindah ke Prancis
setelah menikah dengan suster cantik yang sering mendatangi tokonya. Kakek
Winskel baru saja datang membuka pintu kedai teh bersama seorang pelayan kedai
yang mulai merapikan kursi-kursi kayu yang ada di depan kedai teh kakek Winskel.
Kakek Winskel tersenyum, senyuman khas yang selalu ada setiap pagi, senyum
harapan yang selalu membekas dalam ingatanku mataku berbinar membalas
senyumanya, kakek tua renta yang masih semangat bekerja disaat kakek-kakek lain
lebih memilih duduk di kursi goyang yang ada di balkon rumah, bercengkraman
dengan cucu-cucu mereka yang imut dan menggemaskan. Kedai teh kakek Winskel berada
persis disamping Ran Fleuirste.
Seperti biasa aku selalu memberikan kakek Winskel setangkai
bunga tulip berwarna putih sebagai bentuk untuk menyemangati hari-harinya.
Kakek Winskel selalu menerimanya dengan ramah lalu meletakkannya pada vas kaca
yang diletakkan di meja pemesanan teh. Kakek Winskel berumur 70 tahun, hidupnya
sepenuhnya diberikan untuk kecintaannya terhadap teh. Sudah hampir seluruh
penjuru dunia dia arungi hanya untuk mencari teh dengan citrarasa luar biasa.
Negara penghasil teh terbaik seperti Jepang, China dan Sri Lanka sudah pernah
dia datangi bersama istrinya. Sayang, perjalanan Kakek Winskel berhenti di Tibet,
tempat asal Po Cha. Istrinya
meninggal di Lhasa, Ibu Kota Tibet. Istri
Kakek Winskel mengidap penyakit jantung sejak usia 40 tahun. Sejak kejadian itu
Kakek Winskel membuka Kedai teh yang diberi nama Scarlet Thee untuk mengenang mendiang istrinya, Scarlet.
Sean, sahabat masa kecilku. Perempuan tomboy yang sangat
menyukai Queen, Band Rock asal
Inggris. Setiap pagi dia selalu memutar lagu Bohemian Rhapsody sangat keras sembari merapikan toko kuenya yang
terkesan berantakkan. Dia tidak pernah peduli dengan interior yang ada di
tokonya. Meski aku menganggap tokonya berantakkan. Tapi, Kue yang dibuat Sean
adalah kue paling enak di Amsterdam. Toko kue dengan Nama Queen of Sean. Tokonya tidak pernah sepi. Kuenya selalu
habis terjual saat Open Lucht Theater
berlangsung. Sebuah pertunjukan seni. Baik konser musik, pagelaran teater, atau
tarian yang diadakan di Vondelpark juga
ketika Vrijmarkt dibuka. Pasar yang
dibuka untuk memperingati kelahiran Raja / Ratu Belanda. Sean tidak pernah
peduli dengan penampilannya, celana jeans ketat yang dipenuhi dengan tambalan kain bergambar Queen. Baju
hitam tanpa lengan yang juga bergambar band Queen menjadi seragam
sehari-harinya. Sangat tidak pantas untuk menggambarkan seorang penjual kue. Dia pernah
bilang padaku bahwa dia punya dua lusin seragam yang serupa tapi, aku tidak
pernah percaya.
Aku dan Sean satu Universitas di Prancis, Le Cordon Bleu namanya. Le Cordon Bleu adalah institusi pendidikan keramahtamahan terbesar di dunia, dengan lebih dari 22.000 murid dan ada di 20 negara. Institusi ini hanya mengajarkan manajemen keramahtamahan dan seni kuliner. Tapi, sayang Sean tidak menyelesaikan studinya di Le Cordon Bleu, dia memilih pergi ke Belanda meneruskan menjadi penjual kue yang sebelumnya dikerjakan ibunya. Ibunya meninggal tiga tahun lalu akibat kecelakaan mobil. Ayahnya minggat, entah kemana. Sean wanita yang sangat rapuh, penyendiri. Hanya denganku dia bisa berubah jadi gila dan kekanak-kanakan. Dulu Sean sering ditinggal pacarnya karena tidak kuat meladeni sikap Sean yang bahkan melebihi seorang laki-laki. Mantan-mantan Sean pada akhirnya pergi menjauh karena jijik melihat tampilan Sean yang tomboy. Kini Sean tak pernah lagi percaya terhadap laki-laki, dia antipati. Baginya semua laki-laki adalah bajingan yang terpaksa diciptakan tuhan untuk menjadi pasangan hidup para wanita kesepian yang ada di muka bumi, termasuk ayahnya. Wanita malang yang terkadang dia juga galau saat teringat mantan-mantannya ketika di Le Cordon Bleu, sungguh perempuan aneh. Aku iri dengan Sean, mantannya lebih dari selusin. Beda denganku yang sampai hari ini belum pernah merasakan kasih dari seorang pria.
Aku dan Sean satu Universitas di Prancis, Le Cordon Bleu namanya. Le Cordon Bleu adalah institusi pendidikan keramahtamahan terbesar di dunia, dengan lebih dari 22.000 murid dan ada di 20 negara. Institusi ini hanya mengajarkan manajemen keramahtamahan dan seni kuliner. Tapi, sayang Sean tidak menyelesaikan studinya di Le Cordon Bleu, dia memilih pergi ke Belanda meneruskan menjadi penjual kue yang sebelumnya dikerjakan ibunya. Ibunya meninggal tiga tahun lalu akibat kecelakaan mobil. Ayahnya minggat, entah kemana. Sean wanita yang sangat rapuh, penyendiri. Hanya denganku dia bisa berubah jadi gila dan kekanak-kanakan. Dulu Sean sering ditinggal pacarnya karena tidak kuat meladeni sikap Sean yang bahkan melebihi seorang laki-laki. Mantan-mantan Sean pada akhirnya pergi menjauh karena jijik melihat tampilan Sean yang tomboy. Kini Sean tak pernah lagi percaya terhadap laki-laki, dia antipati. Baginya semua laki-laki adalah bajingan yang terpaksa diciptakan tuhan untuk menjadi pasangan hidup para wanita kesepian yang ada di muka bumi, termasuk ayahnya. Wanita malang yang terkadang dia juga galau saat teringat mantan-mantannya ketika di Le Cordon Bleu, sungguh perempuan aneh. Aku iri dengan Sean, mantannya lebih dari selusin. Beda denganku yang sampai hari ini belum pernah merasakan kasih dari seorang pria.
Namaku berasal dari bahasa Skandinavia, yang punya
makna: Rumah. Aku wanita yang mencintai kedamaian dan kesendirian. Berbeda dengan
Sean yang punya tampilan layaknya preman. Aku tampil cukup feminim dengan celemek putih bergambar bunga tulip yang
menjadi ciri khas-ku setiap bekerja. Jeans hitam, baju putih lengan pendek dan
sepatu kets adalah style-ku. Aku punya banyak sepatu kets beragam warna. Hari
Senin ini adalah jadwalku memakai sepatu kets warna merah pemberian Sean
sebagai kado ulang tahunku yang ke 22.
Ibuku seorang petani tulip di Anna Paulowna, Namanya Maria. Ibuku juga seorang pelukis amatir.
Hanya bunga tulip yang selalu dia lukis. Bunga yang mempertemukannya dengan ayahku.
Seorang prajurit tentara yang tegas, berwibawa juga sangat sederhana. Ayah
memberikan bunga tulip warna putih untuk melamar ibu. Hanya setangkai, itupun
ayah memetik dari kebun bunga milik orang lain. Ayahku bernama Thomson, selama
hidupku aku belum pernah sekalipun melihat wajah ayah. Ibu bilang ayah
meninggal saat pejalanan menuju rumah sakit tempat aku dilahirkan. Mobilnya remuk dihantam kereta yang melintas.
Mobilnya tidak bisa bergerak tertahan ditengah rel. Ayah mencoba keluar namun
tidak bisa, medan magnet dari kereta itu sangat kuat. Ayah mencoba memecahkan
kaca depan mobil, tapi semua terlambat. Kereta itu terlanjur menabrak mobil
yang dikendarai ayah. Aku memang berbeda, aku terlahir tanpa seorang ayah.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar