Air
laut di Pantai Selatan mulai surut, karang-karang yang diselimuti lumut mulai
menguning diterpa matahari sore, senja di Pantai Selatan adalah senja terbaik
untuk semua pasangan kekasih yang serius menjalin kasih ataupun yang hanya
bermain-main dengan alasan untuk semangat belajar. Pantai Selatan masih ramai
hingga senja terakhir tutup usia, mereka yang bermain-main saling berciuman,
lainnya menatap risih melihat mereka yang berciuman di muka umum. Diantara
pasangan yang duduk di pasir pantai selatan ada seorang perempuan yang duduk di
atas sebongkah batu, menatap senja yang telah berakhir. Tetapi cahaya di garis
pantai masih belum sepenuhnya gelap, menguning—oranye gelap yang semakin lama
mulai pudar lalu hilang. Ditangannya tergenggam setangkai bunga yang layu,
seperti menggambarkan perasaannya saat itu.
------
Di
satu kedai kopi, seorang barista masih meneriakkan nama-nama pemesan kopi. Satu
per satu mengambil pesannanya. Seorang pria yang duduk paling dekat dengan meja
kasir memandangi orang-orang yang berlalu-lalang. Di memegang sebuah pensil yang
tak lagi panjang, ukurannya pas menyentuh lengkuk jemari antar telunjuk dan
ibunya. Menggambarkan suasana kedai kopi yang semakin senja semakin ramai. Pria
itu tak suka suasana ramai. Gambaran pensilnya mulai berantakan, garis-garis
tak beraturan tergambar jelas—tebal diatas gambaran yang tadinya rapih dan
jelas. “Kedai yang dipenuhi orang-orang sakit” dituliskannya judul itu di
bagian atas kertas gambar. Lalu dia pindah jauh dari meja kasir. Duduk di depan
lukisan yang menggambarkan sejarah pemilik kedai kopi itu. Matanya menatap
serius, lalu berhenti pada satu titik. Titik dimana kopi tumpah di tanah-tanah
kering. Pria itu mengernyitkan dahi, bertanya pada diri sendiri “Apa yang
sedang aku lihat, lukisan ini berantakan sekali” lalu pria itu pindah tempat
duduk... lagi.
------
Si
perempuan kutu buku masih betah duduk di bangku perpustakaan kota yang
berdecit. Bangku kayu yang warnanya mulai memudar. Bangku kayu tanpa sandaran.
Aneh, tak biasanya perpustakaan mempunyai kursi yang tak punya sandaran. Si
perempuan kutu buku tak memperdulikannya. Dia datang ke perpustakaan kota untuk
membaca buku bukan untuk mengurusi kursi kayu yang tak punya sandaran. Sudah
hampir tiga jam perempuan kutu buku itu membaca novel Han d’islande karya
Victor Hugo. Ada stabillo warna kuning di dekatnya. Hal yang membuatnya lama
menyelesaikan novel itu. Menggaris kata dengan stabillo. Kata apapun yang
membuatnya enggan meneruskan membaca sebelum menandainya dengan stabillo
kuning. Si kutu buku lupa, itu bukan bukunya. Senja hampir datang, dua jam lagi
perpustakaan kota menutup diri. Hujan turun sangat deras. Si kutu buku sedikit
terganggu, suara hujan yang jatuh keras di atap perpustakaan menimbulkan suara
tak beraturan. Senja tak janji untuk datang—hujan telah mendahuluinya.
------
Di
sudut kota seorang lelaki dengan gitar lamanya menyanyikan lagu untuk menghibur
orang-orang yang lelah pulang kerja. “Senja tak akan datang lagi, hujan kini
telah turun, aku menunggumu di sudut kota. Bertanya apa kau mencintaiku”
nyanyiannya membuat beberapa orang memberikannya uang receh pada tas gitar yang
sengaja dia siapkan untuk mewadahi uang. Intro lagu itu sangat lama,
orang-orang bergerombol melihat permainan gitarnya. Kaki yang menghentak halus
ke tanah membuat topi koboinya bergetar. Intro telah selesai dia mengulangi
lirik yang tadi dia nyanyikan. “Senja tak akan datang lagi, hujan kini telah
turun, aku menunggumu di sudut kota. Bertanya apa kau mencintaiku”
berulang-ulang hingga orang-orang bubar dengan senyum yang mengambang. Antara
senang dan merasa aneh dengan lelaki yang hanya punya empat kalimat dalam
lagunya. Lelaki itu selesai bernyanyi. Mengucapkan terimaksih dengan sedikit
berpidato karena orang-orang telah bersedia mendengarkan dia bernyanyi, tak ada
satu orang pun disekitarnya, dia mengucapkan terimakasih sekali lagi, mengemasi
gitarnya lalu pergi tepat ketika hujan mulai turun. “Senja tak datang lagi”
gumamnya dalam hati.
------
Kesendirian adalah penderitaan yang paling pedih. Hati
manusia memang lebih rumit dari rasi bintang yang ada di alam semesta. Hati
manusia dalah Rigel, bintang paling terang dalam gugusan rasi orion. Rigel
selalu menampakkan dirinya dengan terang benderang—sama dengan Hati. Sangat
jelas sebagai suatu tempat, dimana para manusia merasa. Meskipun sebenarnya
manusia hanya akan merasakan bahwa hati itu ada, ketika mereka merasa kepedihan
yang mendalam.
Perempuan dengan bunga
digenggamannya melewati senja pertamanya dengan mulus, tidak dengan hatinya
yang murung, sakit merasakan kepedihan yang mendalam. Perempuan kutu buku dan
pria di kedai kopi tak memperdulikan senja pertamanya hari itu. Mereka sibuk
dengan kesenangannya masing-masing, padahal ada hal yang lebih indah, yang sudah
mereka lewatkan. Si lelaki dengan gitarnya tak pernah mendapatkan senja
pertamanya, dia sedih—menciptakan lagu penolak senja.
Aku
bertanya pada perempuan yang menggenggam bunga layu ditangannya.
”Kenapa
kamu murung sedangkan kamu sudah melihat senja yang menyombongkan keindahannya.”
“Aku
tidak butuh senja, aku benci senja. Senja membuatku berpisah dengannya, aku
butuh hujan. Hujan yang dapat memekarkan bunga ini, Dia berjanji untuk kembali
padaku jika bunga ini tetap mekar dengan indah. Bukan layu.”
“Lalu,
kenapa kamu masih di sini? Pantai adalah tempat dimana kamu dapat dengan mudah
menemukan senja.”
“Aku
menunggu air laut surut dan mengembalikan dia untukku. Aku menunggunya.”
Aku
tahu satu hal yang tidak bisa dilakukan senja untuk perempuan itu.
Mengembalikan kekasihnya yang pergi karena laut. Laut kejam. Tapi... Senja tidak.
------
Aku
bertanya pada pria di kedai kopi itu. “Ada apa dengan lukisanmu? Berantakkan sekali.”
“Aku
membenci suasana ramai. Lukisanku selalu jadi berantakan ketika suasana berubah
jadi ramai.”
“Tapi,
bukankah dunia ini selalu ramai? Disesaki orang-orang dengan kepentingannya
masing-masing? Kuburan saja ramai dengan para peziarah?”
“Aku
ingin sendiri, keramaian merenggut dia dariku.”
“Aku
tahu tempat dimana kamu bisa sendiri dan menemukan apa yang kamu cari”.
“Dimana?”
“Di
Laut, lalu singgahlah sejenak pada sebuah pantai dengan perempuan yang menggenggam
bunga dan duduk di sebongkah batu.”
“Lalu,
apa yang harus aku lakukan?”
“Lukislah
senja dengan perempuan yang sedang menggenggam bunganya sebagai tokoh dalam
lukisanmu. Kamu harus mencari senja pertamamu untuk menemukan yang kamu cari.”
Kini
aku tahu satu hal, kesendirian tidak menenangkan jiwa manusia. Kesendirian justru
membuat kepedihan yang mendalam dan kepedihan adalah penyakit yang merusak hati.
Harusnya tidak ada satu manusia pun yang menginginkan kesendirian. Karena,
pasti ada yang mengharapkanmu di tempat lain. Jangan biarkan hatimu rusak
karena egomu. Kesendirian bukanlah jawaban atas semua pertanyaanmu.
------
Aku
bertanya pada perempuan si kutu buku. “Kenapa kamu masih membaca, sedangkan
kamu terganggu oleh suara hujan?”
“Aku
suka hujan, meskipun aku terganggu olehnya ketika aku membaca buku.”
“Apakah kamu menyukai senja?”
“Aku
lelah menunggu senja. Senja selalu membohongiku. Dia selalu berganti hujan yang
deras dengan badai yang sesekali diajaknya.”
“Aku
tahu tempat dimana kamu bisa menemukan Senja pertamamu dengan mudah.”
“Dimana?”
“Di
sudut kota, kamu akan menemukan senja dengan mudah ketika kamu bertemu seorang
pria yang menyanyikan lagu tentang senja.”
“Lalu,
apa yang harus aku lakukan disana?”
“Kamu
cukup berdiri di depannya, memberikannya uang receh lalu ikutlah bernyanyi,
bersamanya. Senja pertamamu akan mendekat.”
Aku
tidak belajar apa-apa dari perempuan si kutu buku. Tak ada yang kurang dari
perempuan kutu buku. Aku hanya mengajarinya satu hal. Tidak perlu menunggu—menunggu
adalah situasi paling ambigu. Kamu hanya akan dikecewakan olehnya. Jadi,
mulailah mencari Senja pertamamu.
------
Lalu
aku bertanya pada lelaki yang membawa gitar. “Mau kemana kamu?”
“Pulang,
aku tak pernah menemukan senja pertamaku disana.”
“Aku
bisa membantumu, untuk menemukan senja pertamamu.”
“Dengan
cara apa?”.
“Kembalilah,
ke tempatmu tadi. Di sudut kota.”
“Lalu,
apa yang harus aku lakukan.”
“Nyanyikan
lagu senjamu lagi. Tersenyumlah ketika seorang perempuan mengikutimu bernyanyi.
Dekati dia, bernyanyilah bersamanya.”
Aku megetahui
satu hal dari lelaki dengan gitar itu. Tidak perlu menunggu lama untuk
menemukan senja pertama, hanya butuh untuk bersabar lebih lama lagi. Hanya
orang-orang yang mampu bersabar yang dapat menemukan Senja pertamanya dengan
mudah.
Tapi
ada satu orang yang belum aku tanyai. Seseorang yang selalu terlambat menemui
senja, seseorang yang selalu datang saat gelap sudah tidak lagi mengintip.
Seseorang yang menganggap hujan adalah penghapus senja. Seseorang yang
mempertemukan lelaki bergitar dengan perempuan kutu buku. Seseorang yang
mempertemukan lelaki di kedai kopi itu dengan perempuan yang menggenggam
bunganya.
Aku bertanya. Sudahkah aku menemukan Senja pertamaku?
Aku bertanya. Sudahkah aku menemukan Senja pertamaku?
Have you find your "First twilight" ?
ReplyDelete