“Jadi
bagaimana dengan proyek kita, pak?” Pak Presiden, mempersilahkan presiden Irak
menikmati suguhan dari Pak Budi. “Semuanya lancar, kita tinggal menunggu
negara-negara Arab menandatangani nota kesepahaman” Presiden Irak, meminum teh
rempah yang biasa disediakan Pak Budi untuk tamu kenegaraan. Elina berada
diantara mereka berdua. Tapi, sampai setengah jam pembicaraan berlalu tidak ada
satupun diantara mereka berdua yang mengajak Elina berbicara ataupun sekedar
basa-basi yang tidak menarik. Elina hanya tersenyum mendengarkan pembicaraan
yang terasa masih sangat lama untuk sampai ujung pembicaraan. Sesekali Elina
menatap pak presiden sembari tersenyum, hal yang sama dilakukan Elina kepada
Presiden Irak. Keadaan yang membuat Elina merasa tidak ada bedanya antara
menjadi pengawal presiden dan wakil presiden, diperlakukan Pak Presiden seperti
pengawal presiden, Elina merasa ketidakadilan yang dilakukan Pak Presiden
terhadapnya. Tapi, lagi-lagi Elina hanya diam. Menganggap semuanya baik-baik
saja. Menjaga hubungan baik adalah hal terpenting bagi Elina.
Satu jam
jalannya pembicaraan Elina mulai mengerti apa yang sedang dibicarakan kedua
presiden ini. Ada sesuatu yang terasa aneh ditelinganya. Diambilnya telepon
gengam di tas kecilnya, berpura-pura membalas pesan. Elina membuka Sound
Recorder memulai merekam semua pembicaraan yang tampak janggal. Kedua Presiden
ini membawa nama-nama presiden di daratan Eropa dan Amerika, juga nama-nama
negara di semenanjung Arab. Elina melamun, bengong. Sampai semuanya pecah
ketika Pak Presiden meminta saran kepada Elina. “Bagaimana Elina? Kamu setuju?”.
Elina sulit menjawab karena memang dia tidak tahu, hal apa yang sedang
ditanyakan Pak Presiden. “Maaf, sebenarnya apa yang sedang kita bahas, Pak
Presiden?”.
“Negara-negara
Liga Arab ingin mengajak kerjasama negara kita untuk membuat senjata pembunuh massal,
Elina”.
“Maksudnya
Nuklir, Pak Presiden?”
“Iya”
“Maaf,
untuk apa kita membuat Nuklir, Pak Presiden?”
“Ya,
kamu tahu sendirikan, sudah banyak negara yang mempersenjatai dirinya dengan
alat pembunuh massal itu” Pak Presiden menyulut rokok yang terapit di bibirnya.
“Negara
ini aman-aman saja, pak. Tentram, penduduknya hidup dengan tenang dan damai.
Jadi kenapa Negara kita harus ikut membuat senjata pembunuh massal itu?” Tanya
Elina serius.
“Kamu
tidak paham, Elina. Amerika, Russia, China, Korea Utara dan negara-negara lain.
Mereka siap menjatuhkan nuklir kapanpun sesuka mereka, dimanapun tempat yang
mereka suka”
“Tapi,
dengan alasan apa pak?”
“Memperluas
wilayah dan kejayaan, Elina. Jadi kalau kita tidak siap, Negara kita akan
hancur seketika tanpa perlawanan”. Pak Presiden mengapit rokok pada sela-sela
jarinya.
“Kalau
begitu perang dunia ketiga bukan hanya mitos? Akan benar-benar terjadi?”
“Begitulah
faktanya, Elina”
“Tidak
pak, kali ini saya tidak setuju” Tegas Elina.
“Elina!!
Baru kali ini kamu membelot” Pak Presiden muntab.
“Saya
jelas tidak sudi menjual negara ini, hanya karena ketakutan Pak Presiden yang
tidak terbukti dan tidak jelas” Tegas Elina.
“Keluar,
Elina!! Keluar!!” Bentak Pak Presiden, Muntab.
“Baik,
pak. Terimakasih. Saya permisi”.
Bersambung
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar