Pernahkah
kamu bertemu dengan seorang wanita yang membuatmu berpikir keras bagaimana
caranya untuk bisa hidup bersamanya, sampai akhir hidupmu? Membuatmu menerjang
semua prahara yang pernah kau ciptakan, semua aturan hidup yang kau buat
sendiri dan kau patuhi sendiri, hingga akhirnya kau harus melanggar aturan yang
kau buat sendiri karena wanita itu. Wanita yang mengubah cara pandangmu
terhadap kaum yang sensitive terhadap rasa. Wanita yang membuatmu tak
memperdulikan statusmu sekarang, yang membuat seluruh tipe wanita idamanmu
runtuh hanya karena kalimat yang keluar dari bibirnya “Eh, aku boleh tanya
sesuatu gak?” atau “Eh, besok minggu kamu sibuk gak?”
Malam
tak ubahnya menjadi tempat bekumpulnya ketidaksadaran manusia, mereka yang
pulang kerja langsung pergi mandi lalu tidur. Mereka yang berangkat kerja malam
hari menganggap malam seperti pagi yang cerah dan segar. Atau mereka para
pengangguran banyak uang yang mengubah malam menjadi situasi paling hedon. Ke
bar, karaoke, mall, membeli sepatu dr. martens yang harganya bisa membuatmu
mengeluarkan kalimat kotor, kickers atau clarks.
-----
Tanpa
ampun, dia tampak anggun dengan brokat putih yang dipakai. Matanya menyapu
seluruh ruangan, dia sedang mencari seseorang yang sudah lama dia tunggu, dia
menungguku. Menunggu. Pipinya memerah melihatku menyalami pria yang berdiri di
sampingnya dengan Tuxedo hitam. Basa-basi ampun aku tersenyum simpul menjawab
pertnyaan pria itu “Kapan nyusul nikah”. Aku menyalaminya tanpa mengeluarkan
kalimat apapun, hanya tersenyum, bukan karena antrean tamu yang ingin
bersalaman menumpuk. Tapi, karena kenangan yang tak seharusnya di lihat lagi.
Matanya
masih sama, sentuhan tanganya juga, halus. Sialan, aku rindu wanita ini. Harusnya aku yang berdiri di sampinya
sekarang. Bersanding manis—membuat orang-orang merasa iri karena melihat
pasangan ideal yang sedang bahagia, hal yang lebih membahagiakan dari apapun,
menikah. Dia masih memandangiku, tersenyum ketika aku menghabiskan satu jus
jeruk. Pipinya memerah, aku tersenyum, gesture tubuhnya lucu. Menerima tamu
lalu menatapku, menerima salaman—menatapku, terus begitu.
-----
Malam
adalah situasi tak menentukan bagiku, kadang menyedihkan kadang mengharukan
kadang membahagiakan. Aku selalu suka malam. Situasi dimana aku bisa melihat
gugusan bintang terbentang dari selatan ke utara. Melihat bulan yang menguning
lembut, sinarnya membuatku ketagihan. Aku berharap hanya ada malam, tanpa pagi,
siang apalagi sore. Tidak untuk malam itu. Malam saat aku menjadi orang asing
baginya. Entah, kesalahan apa yang sudah aku perbuat hingga dia berkata seperti
itu. Tidakkah kau mengerti aku hanya ingin merasakan hatiku dikoyak-koyak sepi,
merasakan kesendirian lalu kamu datang mengajakku berbicara walau hanya lewat
private chat.
Aku
rindu dibuat kalang-kabut olehmu, ketika tiba-tiba kamu cerita panjang, aku
membacanya dengan tingkah kegirangan, pesanmu selalu membuatku mati rasa. Ada
kekosongan yang terisi. Aku seperti menjadi pria paling berguna saat itu, dapat
membuatmu mengeluarkan seluruh kegelisahanmu, yang aku tahu tidak ada orang
yang bisa kau ceritakan selain aku. Ini malam terakhirku mendengar suaramu yang
pernah kamu kirim lewat voice note, aku masih menyimpannya. Malam dalam balutan
kain kafan. Aku mati. Sialan, hidup tanpa nafas (lagi).
-----
Dia
mengedipkan mata ke arahku. Mata yang lebih indah dari gugusan pantai di
Gibraltar, pantai pasir putih, penuh gelisah. Aku gelisah melihatmu duduk
bersanding di pelaminan dengan pria lain. Aku merindukan malam itu, malam
ketika kamu mengecup keningku. Lalu, berkata: dengarlah detak jantungku, suara
yang akan terus kamu dengar setiap malam di atas ranjang, kamar kita berdua.
Kamu berjanji akan selalu di sampingku, bersamaku dengan seorang anak yang ku
gendong dan kamu menggodanya untuk tertawa, anak lelaki kita. Superhero impian
kita. Kita menikah. Aku ada di pernikahanmu. Tapi bukan menjadi pendampingmu,
aku hanya tamu. Tamu yang berharap kesisaan.
-----
Seketika
semua jadi tanpa arti, deretan kata di kertas itu terhapus—menghilang tak
berjejak. Rangkaian kata dan konsonan indah jadi abu yang berterbangan tanpa
arah. Percuma saja merengek, aku yang menghapusnya. Aku gagal mencintaimu, aku
takut dan kamu tahu. Sialan, wanita macam apa kamu ini. Ingatkah kamu ketika
kamu bertanya “Cinta itu apa” jawabanku aneh, berputar-putar tak jelas, tanpa
arah. Kesengajaan yang di sengaja aku hanya ingin bilang bahwa: Cinta itu kamu,
aku sulit mengatakan itu, rasanya ada yang menahanku. Aku takut sensitifitasmu
keluar. Cinta hanya trik, benar. Karena aku takut jatuh cinta. Jatuh cinta
membuatku lupa siapa aku. Aku gagal menutupinya—gagal membangun tembok tinggi.
Kamu berhasil meretakkannya—runtuh berantakann. Sialan, wanita macam apa kamu
ini.
-----
Sudah?
Inikah titik akhir perjalananku? Melihat dia menikahi orang lain? Titik akhir
macam apa ini. Rasanya ingin aku membumihanguskan tempat ini membuat pria itu
mati lalu membawa wanitaku pergi. Jauh. Benar, ini titik akhirku, aku pulang
dengan kepala yang tertunduk, lesu—berharap malaikat pencabut nyawa datang,
mengambil nyawaku. Langkahku terhenti ketika seseorang menarikku dari belakang
“Mau kemana? Acara belum selesai” wanita itu dengan girangnya mengajakku masuk
(lagi), seenaknya sendiri. “Tidakkah kau melihat, ada orang gila yang datang ke
acaramu. Gila karena cintanya jatuh ke tangan orang lain” gumamku dalam hati.
Aku menahan tarikkannya.
“Aku
mau pulang, bi. Nggak ada gunanya juga aku di sini. Kamu mau bunuh aku?”.
“Kamu
ngomong apaan sih? Ngaco deh”.
“Bi”
aku melepaskantanganku darinya “Kamu sudah menikah, aku nggak mau mati sia-sia
disini melihatmu bersanding dengan mantan pacarmu yang kamu bilang orang paling
freak di dunia”.
“Ngomong
apa sih?”.
“Sekarang
dia suamimu. Aku? Aku apa?!” bentakku keras.
“Pak-pak,
permisi boleh saya lewat, bapak menghalangi jalan tamu yang lain. Ditempat
ramai gini jangan sampai bengong pak” seorang tamu mengingatkanku. Sial, aku
rindu.
-----
Aku
takut ini jadi titik akhirku, aku takut rindu datang lagi menggangguku. Aku
rindu melihatnya membenarkan ujung kerudung hitamnya, aku rindu ketika obrolanku
tak didengarkan karena dia terus saja melihat handphonenya, menunggu pesan dari
kekasihnya. Aku rindu ketika dia bersemangat menceritakan pengalamannya
bereksperimen, menulis, membaca, bercerita untuk bisa membangun sebuah
sekolahan, menjadi penulis hebat, menyumbangkan semua gajinya untuk anak yatim,
travelling keluar negeri, bercerita betapa sumpeknya dia berada di negara ini.
Aku hanya bisa menasehatinya untuk berkeliling Indonesia dulu baru ke luar
negeri.
Aku
ini siapa? Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang tak sengaja dia temukan untuk
jadi teman ngobrol dikala kekasih jauh dan tak memberi kabar. Bodohnya aku, aku
menghancurkannya. Aku terlanjur dibuatnya penasaran. Rasa yang ingin aku jauhi
selama hidupku, penasaran. Cinta tumbuh dari rasa penasaran dan aku takut jatuh
cinta, apalagi denganya. Sialnya dia tahu, tapi dia diam, dia nggak mau
menyakiti orang yang jatuh cinta denganya, karena dia gak bisa bales apa-apa..
Oh hello, bi. Kamu nggak perlu bales apa-apa, aku juga gak berharap kamu
membalasnya. Aku menikmati masa-masa ini. Masa dimana perasaanku fluktuatif,
naik-turun. Kadang bahagia, kadang gak bahagia dikoyak-koyak, terkoyak,
terhempas, bangkit lagi.
-----
Aku
pergi, aku sakit melihat dia bersanding dengan pria lain, aku pulang.
Merebahkan diriku. Aku…. Butuh penulis untuk melanjutkan kisahku.
“Stop,
ini titik akhirku, biarkan aku tidur, selamanya. Jangan bangunkan aku, penulis
sakit. Aku ingin melihatnya bahagia dari Surga. Bagaimana denganmu penulis
sakit?”.
“Sepertimu,
aku menyerah. Aku tak butuh apa-apa lagi”.
“Kamu
sudah gila, kepedulianmu dimentahkan, tidakkah kau sakit”.
“Aku
sudah sakit, sejak awal, Lepas dari orang yang membuatmu jatuh hati bukan
alasan untuk berhenti peduli”.
“Lalu
kamu mau apa?”
“Kamu?”
aku balik tanya.
“Ini
titik akhirku, aku ingin tidur selama mungkin, melihatnya bahagia dari surga”.
“Aneh,
surga bukan tempat bagi orang yang tidak bisa melupakan masa lalunya”.
“Biar,
lalu apa yang akan kamu lakukan setelah ini?”.
“Berhenti
jatuh cinta, aku sudah menemukan titik akhirku. Aku akan berdiri di sisi luar
dinding yang mengakar tinggi, menunggunya meruntuhkan dindingnya sendiri”.
“Oke,
aku akan pergi duluan. Aku takut melihat penyakit yang terus menggerogoti
otakmu, kau sakit. Berhentilah berharap & menghayal. Penyakit di otakmu itu
nyata—ada”.
“Aku
ingin jadi titik akhirnya, meskipun dia telah menemukan titik akhir yang lain,
tanpa koma tanpa spasi tanpa titik dua”.
“Kamu
sudah tahu siapa kekasihnya?”.
“Sudah,
sejak awal. Bahkan aku pernah bertemu. Senyumnya manis. Tapi, sayang pria itu
hanya membuatnya berputar-putar pada masa lalunya”.
“Ah,
kau iri kan? Kau ingin jadi kekasihnya kan?”.
“Tidak”.
“Lalu?”.
“Dia titik
akhirku”.
“Apa
itu titik akhir?”.
“Kamu
tahu, bahkan kamu punya. Masing-masing orang punya satu”.
-TAMAT-
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar