Ada hal yang tidak aku mengerti atau
mungkin belum aku ketahui. Bagaimana cara galaksi diciptakan, bagaimana cara
bintang mempunyai cahaya atau sinarnya sendiri, kenapa matahari yang berukuran
besar seperti itu masih saja ada yang melebihi ukurannya. Kenapa? Aku bertanya
kenapa Albert Einsten bisa sangat terkenal, padahal dia sama sekali tidak bisa
menyelesaikan sekolahnya. Apa hanya karena dia mengemukakan teori relativitas
lalu dia terkenal? Hanya itu kah? Kalau memang begitu, orang-orang biasa bisa
menemukan teorinya masing-masing lalu jadi terkenal? Nyatanya tidak. Tidak ada
orang biasa yang terkenal – melejit langsung seperti Einstein. Kenapa? Adakah
jawaban yang bisa memuaskanku?
Lalu kenapa aku ditakdirkan untuk
menulis? Untuk membaca? Untuk menemuimu? Untuk mencintaimu? Kenapa? Kenapa harus
kamu? Aku dicintai orang lain. Tapi, aku mencintaimu yang dicintai orang lain. Tapi,
kamu tidak mencintainya. Karena kamu mencintai orang yang bertolak belakang
denganmu. Kamu bilang itu seimbang karena alam saja butuh penyeimbang. Aku
bilang itu aneh. Bukankah menjadi sama adalah impian banyak orang? Bukankah beras
yang ditimbang harus sama dengan ukuran pemberatnya? Lalu, kenapa banyak orang
berpikiran bahwa seimbang itu berarti berbeda? Kenapa?
Kenapa aku harus pergi jauh untuk
menemuimu, kenapa harus mengorbankan waktu. Tempatmu bukan jarak yang dekat.
Itu sangat jauh. Sangat. Meskipun pada akhirnya kita berbaring bersama untuk
melepas rindu. Aku tidak akan melarangmu untuk selingkuh. Tapi, aku akan marah
jika kau meninggalkanku. Sendiri.
Rindu ini mengeras lalu berubah menjadi
bubur ketika kamu menemuiku. Sore itu, di depan gedung bertuliskan “Kantor
Gubernur” dalam bahasa belanda. Aku melihatmu melukis bangunan itu dengan aku
yang duduk disampingmu, memegang pundakmu. Kamu bilang: Aku tenang jika setiap
saat kita begini.
Aku menggambarkanmu disetiap tulisanku,
kamu menuliskanku disetiap lukisanmu. Kamu melengkapi sela-sela jariku, mengisi
setiap relung & guratan takdir perjalananku. Terimakasih untuk satu hari di
Jakarta, untuk satu pelukanmu sore itu. Terimakasih karena kamu melihatku dari
apa yang aku lakukan, bukan lainnya. Terimakasih untuk satu ranjang yang kita
bagi berdua malam itu, dengan tangan kita yang saling menyentuh wajah yang
merona dan merindu. Aku selalu takut akan waktu yang melesat cepat ketika kita
bersama, terimakasih sayangku..
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar