Elina
keluar dengan perasaan jengkel, muntab. Wakil Presiden yang tidak dianggap. Sakit
hati yang memuncak, Elina pergi meninggalkan Istana. Pulang ke rumahnya yang
berjarak dua kilometer dari istana. Elina berkendara sendiri, menolak sopir
yang menanyakan ingin pergi kemana. Elina memacu kendaraanya dengan kecepatan
yang tidak biasa, jalanan lumayan sepi. Hanya butuh lima menit untuk Elina
sampai dirumahnya. Elina tertahan di dalam mobil, ditempelkannya kening pada
stir mobil. Elina merasa keputusan Presiden adalah keputusan yang salah, sangat
salah. Elina befikir apa yang harus dia lakukan.
Bunyi
dering pesan masuk di handphone Elina membuatnya tersentak. Belum membuka pesan,
Elina menyadari bahwa rekaman pembicaraan di handphonenya masih berjalan. Hampir
tigapuluh menit, Elina menyimpan hasil rekaman itu, lalu memutarnya kembali.
Dipercepat—diperlambat , mendengarkan lagi percakapan yang baru saja terjadi di
Istana. Elina turun dari mobil masuk rumahnya dengan tergesa-gesa, menuju meja
kerjanya, menyalakan laptop lalu mencari daftar Email media massa. Koran,
majalah, media online, radio, televisi. Elina membuka akun Emailnya, berniat untuk
mengirim rekaman itu melalui email. Elina menuliskan alamat email itu satu
persatu, memindahkan rekaman dari handphone ke laptopnya. Dengan subjek “Percakapan
Pak Presiden dan Presiden Irak”.
Belum
ada setengah jam, seluruh stasiun TV sudah memberitakan soal rekaman yang
dikirimkan Elina, banyak wartawan yang mendatangi Istana untuk mengetahui
kepastian berita itu. Pertemuan Pak Presiden dan Presiden Irak masih
berlangsung, kegaduhan di luar Istana memberhentikan pembiacaraan diantara
mereka. Presiden menanyakan kegaduhan yang ada di luar kepada salah satu staff
kepresidenan, “Maaf pak, sepertinya pak presiden harus menonton siaran televisi”
jawab salah seorang staff presiden. “Ada apa?” Pak Presiden pamit meninggalkan
Presiden Irak untuk melihat siaran televisi.
“Breaking
News, sekarang saya sudah berada tepat di depan Istana Presiden untuk mencari
kepastian atas berita rekaman pembicaraan antara pak presiden dengan presiden
Irak, yang dikirimkan oleh wakil presiden. Bisa kita lihat kegaduhan yang ada
di depan Istana, sampai berita ini disiarkan belum ada perwakilan dari istana
yang menemui para wartawan dan memberi penjelasan” Ucap salah satu wartawan dari
TV sembilan. Presiden mendegarkan rekaman yang diputar TV sembilan dengan
seksama. Rekaman belum rampung Pak Presiden langsung menelpon Elina dengan
perasaan yang kalang-kabut.
Lima
panggilan tak terjawab, Elina tertidur di meja kerjanya, handphonenya masih
terus berdering. Elina mulai terbangun setelah dering panggilan ke tujuh
menyentaknya. Telepon dari Pak Presiden. Elina mendiamkan hingga sepuluh kali
panggilan tak terjawab. Elina menyalakan televisi, tersenyum, entah tersenyum
puas atau apa. Setelah ini Elina akan dianggap pejabat pro rakyat karena
menolak proyek senjata pembunuh massal itu. Agaknya Elina menganggapnya seperti
itu. Sekali lagi terdengar panggilan masuk dari pak presiden. Elina menjawab
panggilan itu setelah dering ketiga.
“Bagaimana
pak presiden? Sudah melihat kegaduhan yang terjadi? Semua televisi menyiarkan
berita yang sama, prestasi buka?” Elina tertawa remeh.
“Elina!!
Kamu bukan wakil presidenku lagi!! Jengkel pak presiden.
“Kebetulan
pak saya juga mau mengundurkan diri, cukup adil bukan?” Remeh Elina.
“Elina!!
Bodoh!!”
“Oops,
ada yang marah besar” Elina tertawa keras. “Tenang saja pak presiden kegaduhan
ini tidak akan membuat jabatan anda hilang, siapa yang berani menangkap seorang
presiden yang dinilai pro rakyat, presiden yang hanya mencuri ide pembangunan
dari orang lain. Presiden sampah, pencitraan teruusss!!” Pak Presiden muntab,
belum sempat dia menjawab, Elina sudah menutup teleponnya.
Perkataan
Elina benar, tidak ada yang berwenang menangkap presiden. Masalah ini membuat
kegaduhan. Demo besar-besaran terjadi di Ibu Kota, meminta presiden turun dari
jabatannya, ini sudah berlangsung seminggu lamanya setelah rekaman pembicaraan
pertamakali disebar. Elina belum resmi mengundurkan diri, Pak Presiden juga
belum jadi memecat Elina. Ibu Kota luluh lantak, banyak dari penduduk memilih sejenak
keluar dari Ibu Kota. Para Mahasiswa dari seluruh negeri tidak henti-hentinya
berorasi siang dan malam, menganggap presiden menjual negara ini kepada
negara-negara Arab. Pak Presiden berpikir keras untuk mengembalikan keadaan
negara menjadi normal lagi. Dua minggu berjalan kegaduhan masih terjadi, Ibu
Kota semakin Luluh Lantak. Istri Pak Presiden menyarankan untuk turun jabatan,
ketua umum partai dan koalisi partai pengusung presiden juga menyarankan hal
yang sama. Presiden semakin bingung, jika dia mengundurkan diri Elina akan
menggantikannya. Jika pak presiden memecat Elina sebelum mengundurkan diri,
masyarakat akan semakin membenci presiden.
Hari
ke enambelas. Pak Presiden memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai presiden, Pukul sepuluh Elina dilantik menjadi presiden. Tidak ada
pembicaraan antara Elina dan Pak Presiden. Pak Presiden yang kini mendapat
gelar mantan presiden langsung meninggalkan Istana. Seluruh penjuru kota
bergembira kegaduhan berubah menjadi tawa kegembiraan karena perjuangan yang
tidak sia-sia untuk menggulingkan presiden yang dulunya dianggap presiden pro
rakyat. Pesta diadakan dimana-mana, kembang api dan suara terompet menghiasi
langit ibu kota hingga malam. Enambelas hari yang kelam, perekonomian negara
luluh lantak. Mata uang melemah.
Pukul
sembilan malam, sebelas jam setelah Elina dilantik menjadi Presiden. Elina
meminta staff kepresidenan meninggalkannya sendiri untuk menelpon temannya.
“Thankyou,
brother. Sedikit kacau tapi semuanya berjalan dengan lancar” Ucap Elina.
“Dengan
senang hati, Elina”.
-TAMAT-
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar