Kata
siapa cinta selalu datang terlambat? Dia ada hanya untuk orang-orang yang siap
dan berani memulai. Boleh menunggu tapi tidak untuk selamanya. Ed & Talia
memulainya hanya dari percakapan yang sederhana, tatapan yang meneduhkan dan
senyuman tanpa malu. Semua ada karena kesadaran penuh, bahwa tak ada lagi waktu
untuk memperdebatkan perihal cinta. Cinta ada karena manusia menganggapnya ada.
“Ed,
sini deh,” ujar Talia memanggil Ed yang sibuk dengan laptopnya.
“Apa?”
tanya Ed menghampiri Talia.
“Nonton
film, yuk,” tunjuk Talia pada layar laptopnya, sebuah film sedang diputar.
“Wah,
salah satu film Indonesia favoritku, nih,” kata Ed, antusias.
“Seriously?
Aku gak pernah bosen nonton film ini… Emosinya kena,” Talia bergeser,
memberikan ruang untuk Ed duduk.
“Iya
serius. Adegan favorit jelas waktu Nicholas Saputra sama Ayu Shita,” Ed duduk
di samping Talia.
“Ah
iyaa, pas dia ngintip di pintu,” Talia terenyuh memeluk bantalnya erat,
mengingat adegan itu.
“Nah!
Itu visi kameranya shahih banget sumpah. Mungkin, film ini tanpa adegan itu jadi
kosong,” kata Ed mulai merangkul Talia yang fokus menonton film.
“Iya,
itu apik banget. Kayak kunci mereka berdua itu awalnya disitu, jadi kalo nggak
ada adegan itu kayak ada yang kurang,” Talia membalas merangkul Ed, mengelus
lembut punggungnya.
“Belum
lagi yang di Kolam renang… Premisnya hampir mirip-mirip Rectoverso, cuma ini
lebih kompleks karena melibatkan fisik.”
“Rectoverso
itu yang apa, yaa? Kok aku lupa… Kalo yang di kolam renang tuh alus banget,
kerasa ke penonton pokoknya,” Talia menyandarkan tubuhnya ke Ed, kepalanya
bertumpu pada pundak Ed.
“Iya…
film Indonesia, dari kumpulan ceritanya Dee, beberapa cerita jadi satu film.
Yang Lukman Sardi jadi tokoh down syndrome… Sama-sama cinta yang tak terucap,”
Ed mencium ubun-ubun Talia.
“Aku
nangis nonton itu.”
“Tapi
kalo film ini lebih ke cinta yang nggak tahu, alias buta. Dikira cintanya sama,
padahal bukan yang diharepin… Kamu mah gembeng,” kata Ed menggoda Talia.
“Serius.
Aku nangis waktu Lukman Sardi sadar kalo ada sesuatu yang hilang,” Talia
mencari tangan Ed, lalu menggenggamnya.
“Aku
lebih suka partnya Dwi Sasono,” Ed membalas, mengelus tangan Talia.
Ed
dan Talia terdiam cukup lama, masing-masing fokus menonton film. Ada kehangatan
yang tercipta di antara mereka, kehangatan yang datang tak sengaja, datang
tanpa ditulis. Jantung mereka berdebar seirama, sama-sama lebih kencang dari
biasanya.
“Kamu
baca novel-novelnya Dee juga, ga?” Talia mengangkat kepalanya, bangkit, duduk
menatap Ed. Tak lagi bersandar.
“Baca
dong. Dee jadi salah satu penulis yang bikin aku nulis… Kenapa emang, kok tanya
gitu?” Ed melepas tangannya dari punggung Talia.
“Nggapapa,
nanya aja. Soalnya setahuku temen-temenku cowok jarang baca novel-novelnya Dee,”
kata Talia, menghentikan film.
“Ohiya?
Padahal imajinasi Dee itu liar loh, untuk seorang cewek… Kamu udah baca
Supernova?”
“Iyaa.
Tinggal baca yang Intelegensi Embun Pagi.”
“Aku
paling suka Petir, soalnya suka sama Electra.”
Talia
menutup laptopnya, tersenyum menatap Ed. Tatapan manjanya terlihat, membuat Ed
mengelus singkat ubun-ubun Talia. Setelahnya, Talia menggenggam tangan Ed lalu
mengecupnya lembut—pelan.
“Eh
Gimana sih biar konsisten nulis? Soalnya aku kalo nulis cuma waktu mood aja,
habis itu stuck, terus ganti cerita lagi,” Talia menahan tawa, melepas tangan
Ed.
“Hmm…
Gimana ya, coba deh baca cerpen terbaruku. Nanti aku kasih tahu.”
“Bentar
aku baca, tapi habis itu beneran kasih tahu yaa,” Talia mengambil ponselnya.
“Pasti,
kamu bakal familiar sama percakapannya.”
Talia
mulai membaca, Ed melihatnya tersenyum, ada perasaan bahagia terpancar dari
matanya, Ed terus melihat respon itu, ekspresi Talia meneduhkan Ed. Sesekali
Talia melirik Ed—tersenyum. Ed membalasnya, mereka berdua tersipu malu. Sampai
Talia selesai membaca.
“Percakapanya!
OMG sama persis, gokil. Aku senyum-senyum sendiri bacanya… Itu kan waktu
pertama kali kita ketemu, kan?” Talia antusias, menaruh ponselnya kembali.
“Iya…
Poinku adalah. Manfaatkan sekitarmu, kalo kamu suka baca itu udah jadi bekal
buat nulis. Tinggal disiplin aja.”
“Nah
disiplinnya itu… Terus kalo mau nulis aku masih sesuai mood, lingkungan sekitar
juga harus mendukung.”
“Coba
nulis random aja tiap hari. Jadi terserah mau nulis apa, nggak ada syarat,
nggak ada batasan mau berapa halaman. Cari partner yang bisa dukung dan jaga
mood kamu.”
“Hmm,
agak susah sih yaa cari partner… Kamu pinter banget ngembangin ceritanya dari
hal kecil jadi cerita yang apik.
“Tapi
suka nggak sama ceritanya?” Tanya Ed, tersenyum menatap Talia yang masih
terlihat antusias.
“Suka!
Suka banget, to be continued gak?” Tanya Talia antusias.
“Mungkin…
Hati-hati bisa jadi percakapan ini jadi lanjutannya,” Ed menggoda.
“Haduh,
memang jiwa-jiwa penulis handal sih yaa, aku mah cuma butiran debu.”
“Jangan
gitu ah, aku juga butiran debu kok kalo tanpa kamu. Cuma butuh pengalaman aja
sebetulnya,” Ed memegang kedua tangan Talia—menciumnya, lalu melepas gengamannya,
mencium pipi kanan Talia. Talia membalas, mengecup pipi kiri Ed.
“Kamu
tahu nggak? Banyak orang yang tanya tentang film yang dimaksud di cerita itu,
loh… Tapi nggak aku jawab,” kata Ed setelah Talia mengecupnya.
“Nanya
yang di cerpen kamu itu? Kok nggak dijawab? Itu kan film Taqwacores”
“Biarin
penasaran… Banyak juga yang tanya, beneran inspired by true story apa enggak,
aku jawab sekadarnya aja biar makin penasaran,” tawa Ed menghiasi ruang kamar
Talia.
“Biar
makin banyak yang nungguin lanjutannya, lah yaa,” Talia ikut tertawa. Mengubah posisinya.
Ed
duduk bersila, Talia membaringkan tubuh, kepalanya bersandar pada kaki Ed.
Talia bisa melihat dagu Ed dari tempatnya berbaring.
“Aku
mau tidur, jangan ganggu,” kata Talia pada Ed. Talia berulang kali berkedip
menggoda Ed. Lesung pipitnya kentara, bagian yang paling dirindukan Ed, menatap
wajah Talia dengan senyum yang menciptakan lesung pipit di pipi kanan. Ed jatuh
cinta pada situasi itu. Ed memainkan rambut Talia, menyingkapnya ke telinga,
membuat kening Talia tak lagi tertutup rambut.
Talia
membuka mata, tersenyum menatap Ed, tatapannya begitu dalam. Ed membalas,
tanganya mengelus dagu dan pipi Talia, lembut tanpa tergesa-gesa. Mereka berdua
masih saling tatap, Talia ikut mengelus pipi hingga ke bibir Ed. Mengelusnya
pelan, memberikan sebuah pesan. Ed menyadari sesuatu, lalu mendekat, jantungya
berdebar semakin cepat, Ed semakin mendekat, Talia tersenyum—memejamkan mata,
lalu bibir mereka bertemu. Ed menahannya beberapa detik sampai bibir Talia
mulai bergerak saling bertaut.
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar