Satu
hal yang pasti dari dua orang yang saling jatuh cinta adalah perpisahan. Aku
tak bicara soal perpisahan besar seperti putus status. Perpisahan ini lebih
sederhana, saat masing-masing dari keduanya tak rela melepaskan yang lain hanya
untuk pergi tidur lebih dulu. Rasanya ingin selalu mendengar kabarnya. Persis
yang kurasakan bersama Talia, situasi itu sering kita rasakan, pada suatu malam
hal itu terjadi lagi dan aku menikmati perasaan yang bergejolak dalam rongga
dada yang sempit.
“Aku
mau baca dulu, ya. Kamu tidur duluan aja nggapapa,” ucap Talia dari bilik
ponsel.
“Mau
baca apa?”
“Eka
Kurniawan.”
“Serius?
Malem-malem gini baca Eka Kurniawan?” kataku tak percaya.
“Ed,
aku kalo baca buku pasti malem, nonton film lebih seneng pas siang… Dan baca
Eka Kurniawan nggak akan bikin aku ngantuk sama isi ceritanya,” jelas Talia,
sedikit bersemangat.
“Maksudku,
malem-malem gini bacanya Eka Kurniawan? Aku capek loh kalo baca novelnya. Butuh
fokus yang lebih. Apalagi Cantik itu Luka, frontal sekali,” balasku, sembari
melihat jam dinding, malam menunjukkan pukul 11.50.
“Nah,
fokusku itu selalu malem, Ed kusayang. Makanya baca buku selalu malem… Cantik
itu Luka aku perlu baca satu halaman dua kali. Rasanya harus selesai hari itu
juga… Aku suka.”
“Owalah…
Aku kalo baca buku paling sebelum tidur, lima sampe sepuluh halaman atau kadang
satu bab… Baru aja bulan kemarin aku ketemu Mas Eka di Medini… Orangnya Jaim.
Malu-malu tapi mau kalo diajak ngobrol,” ujarku menggoda Talia untuk menutup
buku yang sedang dia baca.
“Ih,
serius? Terus gimana? Enak buat diajak ngobrol? Ngobrolin apa aja? Aku Kepo…”
tanya Talia, terdengar antusias.
“Ngobrol
bentar doang sih, Dia ngisi workshop di acara Kemah Sastra, cuma ngobrolin soal
blognya dia… Dia aku kasih bukuku,” aku memegang ponsel di tangan kiri. Duduk
di luar rumah, suasana sepi, tapi perasaanku selalu ramai karena Talia. Tiba-tiba sesuatu yang gila terbesit dipikiranku.
“Widih,
ada rasa bangga gitu nggak, bukunya dibaca Eka? Kok aku envy, ya.”
“Hmm…
Berharap Mas Eka ada waktu buat bacanya. Kalo iya pastilah bangga.”
“Pasti
dibacalah, Ed. Positif Thinking aja.”
“Iya
sayang makasi yaa,” kataku tersenyum sendiri.
“Kalo
aku sebelum tidur malah waktunya nulis gak jelas dibuku… Eka jaim tapi kalo
nulis frontal sekali, menohok.”
“Iya…
Memang banyak penulis yang jaim tapi tulisannya liar. Djenar maesa Ayu
misalnya.”
“Ahiya!
Aku udah nonton filmnya juga.”
“Filmnya
yang apa?” tanyaku.
“Mereka
bilang saya monyet.”
“Kalo
aku waktu itu nonton Nay lari ke Jogja, karena di Semarang nggak ada.”
“Ohiya?
Aku malah belum nonton, Nay… Eh kamu kok nggak jadi tidur, sih?”
“Aku
gak pernah bisa tidur, selalu ada kamu di pikiranku,” senyumku, menahan tawa.
“Ah
gombal,” kata Talia, suaranya terdengar seperti seorang yang tersipu.
“Aku
serius… Coba deh tirai kamarmu buka.”
“Ada
apa emang?” tanya Talia, aku bisa melihatnya membuka tirai lalu kaget melihatku
berdiri tak jauh dari jendela kamarnya. Talia tersenyum, aku menutup panggilan
itu.
“Astaga
kamu,” Talia melempar ponselnya ke ranjang tidurnya, lalu membuka jendela
kamarnya dan menyilahkanku masuk.
Kamarnya
dipenuhi tempelan di dinding-dindingnya, mulai dari foto-foto dari kamera
polaroid hingga stiker dinding yang khas dengan kehidupannya. Warna cat
kamarnya merah muda, sprainya kebiruan, sudah rapi dengan bantal dan guling
yang ditata sejajar. Pintu kamarnya dibiarkan terbuka. Talia sering sendirian di
rumah. Lagi pula, orang tuanya tak mempermasalahkan jika aku sering diam-diam
masuk ke rumah melalui jendela kamar Talia.
“Akhirnya,
sampe kasur,” kataku setelah berbaring di ranjang kamar Talia.
“Enak
aja, kasur aku nih,” Talia menutup jendela dan tirai.
“Kamu
baca buku Eka yang mana, sih?” kataku mengambil buku O karya Eka Kurniawan di
atas kasur.
“Dasar
orang gila, tiba-tiba udah di sini aja,” Talia memukulku dengan guling.
“Biarin,”
godaku, menjulurkan lidah. Talia mengambil ponselnya lagi, seketika aku
teringat storiesnya di instagram beberapa jam yang lalu.
“Itu
storiesmu kenapa?” tanyaku masih berbaring, menatap langi-langit kamar.
“Ah
biasa, kejenuhan anak negeri.”
“Aku
juga ngerasain banget, dinyinyirin, dihujat, diiriin. Rasanya mau bilang, ‘All
you can do just comment negative? That’s All? Show me what you can do, because i don’t have time for you… Sama-sama jenuh juga sebetulnya,” kataku, mengelus punggung Talia.
“Ketika
berkarya dikritik, enggak berkarya dikritik, buat kesalahan juga dikritik.
Semua dikritik. Semua penuh kritikan, minim apresiasi. Sekarang jamannya
menghujat lebih asik ketimbang menghargai. Biar viral masuk lambe turah,” jelas
Talia, nadanya sedikit kesal.
“Astaga
lambe turah,” balasku, menahan tawa.
“Bener,
kan? Akhinya banyak anak muda justru berkarya hal-hal yang aneh, gak
berfaedah, biar viral, gak ada manfaatnya buat negeri, Cuma bermanfaat buat
pemasukan kas sehari-hari… Capek bikin karya yang apik, toh gak ada yang
mengapresiasi,” Talia ikut berbaring di sampingku.
“Tapi
kita tetap harus optimis, karena perubahan tidak terjadi secara instan…
Perubahan ke arah yang lebih baik cuma bisa dilakukan kalo ada yang berani
memulai.”
“Optimis
pasti optimis, Ed. Kalo ada orang yang bikin perubahan ke arah yang lebih baik
malah dihujat, yaa pasti down, kan?” Talia memegang tanganku.
“Aku
sih optimis lambe turah tutup akun,” kataku menggoda, Talia tertawa lalu
memukul perutku, membuatku tersedak—batuk.
“Cuma
sedikit orang yang mampu berdiri di atas hujatan orang lain. Cuma sedikit yang
bertahan sama pikirannya, dengan banyak sindiran pesimis dari orang lain.
Ketika ada orang yang kayak gitu, malah dibuat gugur secara paksa… Welcome To
Indonesia,” ujar Talia, menatapku, tubuhnya miring, menghadap padaku. Aku masih
menatap langit-langit kamar.
“Bukan
Indonesianya, sayang,” kataku, memiringkan tubuh—menghadapi Talia.
“Emang
bukan Indonesianya, sih, cuma kalo sebagai orang awam akan mengatakan ini
Indonesia. Kalo bilang masyarakatnya—masyarakat yang bagaimana? Apakah ketika disalahkan
masyarakatnya terima? Kalo Indonesianya disalahin, eh malah terima-terima aja.”
“So,
Welcome to Indonesia, BOOOM” godaku, menjulurkan lidah ke arah Talia. Talia
tertawa, mencubit hidungku.
“Tapi,
Bali sepertinya bukan Indonesia,” kata Talia setelah beberapa menit terdiam dan kami saling tatap.
“Ahiya
Bali!” kataku, bersemangat.
“Bali
itu cantik,” senyum Talia.
“Bali
itu intim,” kataku, menambahi.
“Kita
harus kesana kapan-kapan.”
“Boleh,”
senyumku.
“Di
Bali itu gak terlalu ngurusin budaya orang lain, tapi mereka tetap menghargai.”
“Iya…
Bali itu hangat,” kataku.
“Hangat
akan toleransi,” Talia menambahi.
“Hangat
karena pelukanmu, Talia,” aku menatap Talia, matanya begitu dalam, kami saling
bertukar senyum.
Sehelai
rambut Talia jatuh, menutupi matanya, aku menyingkapnya lalu mengelus pipi
Talia. Berulang kali aku berkedip, mencoba menghilangkan rasa canggung. Talia
mengelus pipiku sembari bersenandung. Aku masih menatap matanya, bagian dari
Talia yang selalu meluluhkanku.
Tiba-tiba
Talia bergerak, aku pelan-pelan berbaring, Talia tak sepenuhnya menindihiku,
tubuhnya masih tepat di sampingku, kita semakin dekat, hingga mampu merasakan
detak jantung masing-masing. Talia berkedip dan tersenyum, kakinya menyilang, berada di atas kakiku, Talia meletakkan kepalanya pada rongga dadaku, mendengar detak jantung yang berubah seirama. Aku menutup mata, merasakan telinga Talia yang ikut bergetar karena detak jantungku.
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar