Pukul tujuh malam, aku datang dan
duduk di bangku besi berwarna merah. Di depanku ada sebuah rak yang memajang
buku-buku. Ini tempat dimana pecinta film sering datang untuk nonton bareng
atau sekadar mendiskusikan sebuah film yang baru mereka tonton. Aku membuka
laptop, seperti biasa, membuka word untuk mulai menulis. Tempat itu belum
dipadati pengunjung. Hanya ada tiga orang yang duduk agak jauh dariku,
berdekatan dengan layar yang biasanya digunakan untuk memutar sebuah film. Dan
seorang wanita yang duduk tak jauh dariku. Wanita itu duduk sendiri, seperti
sedang menunggu seseorang. Matanya sibuk menatap layar ponsel.
Kafe ini didominasi dengan cat
warna putih, beberapa poster film dipajang di dinding-dindingnya. Hujan deras
yang sempat turun mulai reda, berganti dengan gerimis. Lembar word itu masih
kosong, aku tak kuasa menggerakkan jari-jariku. Aku mengetuk meja dengan
jariku, menciptakan bunyi, membuat wanita mungil yang duduk di dekatku
menatap singkat. Ponselku bergetar, satu pesan masuk—aku tak membacanya. Aku
sedang melatih diri untuk tak berdekatan dengan benda kecil itu. Karena dunia
baik-baik saja sebelum ada ponsel.
Beberapa detik ruangan itu sempat
sunyi—senyap. Aku bisa mendengar suara detak jam di tangan kiriku. Wanita yang
duduk di dekatku beranjak dari kursi, sedikit membanting ponselnya ke meja,
dengan wajah kesal dia mendatangi bar, berbicara pada seorang barista. Aku
sempat mendengar percakapan di antara mereka. Setelahnya, wanita itu kembali,
duduk dengan raut muka yang berubah ceria. Layar mulai terang, sebuah film siap
diputar. Aku tersenyum, terpaku menatap layar yang pelan-pelan memunculkan
sebuah gambar. Aku familiar dengan film yang sedang diputar.
Aku menutup laptopku, arah duduk
berganti, berpaling menghadap layar. Wanita itu duduk tepat di depan sebelah
kiri. Rambutnya dibiarkan terurai, dia melipat kedua tangannya di dada. Aku bisa
melihat lesung pipitnya, karena senyum yang sempat tercipta tepat ketika tokoh
utama film itu mulai keluar. Wanita itu mengubah posisi duduknya saat film hampir
berjalan tiga puluh menit, memangku kaki kanan pada kaki kirinya. Aku mulai
sadar, film ini diputar karena permintaan wanita itu. Aku sempat keheranan,
ternyata ada wanita yang menyukai film jenis ini. Aku memberanikan diri
menghampirinya.
“Hey, boleh duduk di sini?” tanyaku
meminta.
“Oh, boleh-boleh,” wanita itu
sedikit kaget, setelah menatapku singkat. Aku duduk, meletakkan tas ransel di
samping kursi, wanita itu bergeser, memberikan ruang untukku.
“Kamu yang request film ini?”
tanyaku menujuk layar.
“Ohiya, tadi bilang ke masnya,”
senyum wanita itu membalasku.
“Emang suka film ini?”
“Iyaa, gak pernah bosen nontonnya…
Ceritanya dapet,” wanita itu setengah tertawa, mencoba mencairkan suasana yang
tercipta di antara kami.
“Ohgitu… Eh kenalin. Aku, Ed,”
kataku mengulurkan tangan.
“Ed? Aku Talia,” balas wanita itu
menjabat tanganku.
“Ed?” tanya Talia sekali lagi.
“Iya, Ed,” senyumku meyakinkan.
“Cuma Ed?” tanya Talia tak percaya.
“Just Ed,” senyumku pada Talia
membuatnya balas tersenyum.
Setelahnya kami sempat terdiam,
Talia fokus menonton film dan memegang gelas berisi kopi yang sesekali
diminumnya. Aku berulang kali melihat ponselnya bergetar dan menyala, Talia
menghiraukannya, aku tersenyum—mengangguk pelan.
“Ide film ini sebenernya riskan, loh
kalo dibawa ke Indo,” kataku memecah keheningan di antara kami.
“Hmm… Riskan banget, soalnya kan
culturenya beda gitu. Bisa-bisa malah di demo. Dulu aja Jagal gak boleh
diputer, kan. Di demo FPI,” ujar Talia setelah menyeruput kopinya,
“Ohiya ya. Itu yang di demo Jagal
atau Senyap? Aku kok lupa,” tanyaku mengernyitkan dahi.
“Jagal kalo nggak salah, eh lupa.
Udah lama banget itu mah.”
“Kamu tau nggak, film ini diangkat
dari Novelnya Michael Muhammad Knight?”
“Sempet denger. Nonton filmnya doang,
nggak baca bukunya,” Talia mulai melupakan film itu, memalingkan wajahnya,
mengganti posisi duduknya—menghadap ke arahku.
“Aku malah baca bukunya dulu baru
nonton filmnya,” aku mulai berani menatap matanya saat berbicara. Ikut
melupakan film itu.
“Wah, aku aja nonton filmnya dikasih
tau temenku… Sama di bukunya nggak, sih?”
“Garis besarnya, sih sama. Cuma
biasa, ada yang di buku tapi di film nggak digambarkan. Mungkin karena tuntutan
durasi.”
“Berarti antara film dan buku sama
lah, yaa. Gak ada yang di lebih-lebih, kan.
“Cuma memang aku lebih suka bukunya.
Imajinasi Eyad Zahra kurang kena ke aku sebagai pembaca. Masih wajar sih tapi.
Yang jadi Yusef kurang… Cuma yang jadi Rabeya cocok banget. Keren!”
“Iyaaa, gokil sih aktingnya, dapet
banget perannya disitu. Aku suka tiap kata yang mereka ucapin tentang isi
ceritanya. Tentang islam, agama dimata mereka sebagai anak punk. Mereka berani
banget mainin kata-katanya, nancep semua, gitu. ” Talia tersenyum menatapku.
Tepat setelahnya seorang barista mengantarkan kopi untukku. Aku memang tak
pernah memesan, mereka selalu tahu apa yang biasa aku pesan. Satu gelas long
black, lalu aku menyeruput untuk pertama kalinya.
“Kalo udah baca bukunya memang lebih
ngerti watak tokohnya secara detail, sih… Jadi penasaran sama bukunya,” kata
Talia, menambahi.
“Kayaknya, di Gramed lagi banyak
buku-buku import masuk. Coba deh cari, mungkin Ada.”
“Ohiya? Di bagian mananya?”
“Oh, bukan Gramed ding. Toko Gunung
Agung yang di CL… Yang di depan banget, ditaruh di satu wadah besar gitu.
Acak-acakan. Aku nemu, Milk & Honeynya Rupi Kaur di sana,” kataku setelah
mengingat-ingat.
“Wah boleh tuh, itu sampai kapan,
btw? Daripada aku beli terus ke post santa… Harganya berapa?” tanya Talia,
antusias, senyumnya merekah, lesung pipitnya kentara, ada yang luluh dari dalam
diriku.
“Aku sih bulan April kesana…
Harganya di atas 150. Soalnya Bahasa asli, cetakan asli… Post santa yang kamu
maksud toko buku online itu, bukan?” tanyaku memastikan
“Iya bener, aku kalo beli buku
biasanya disana. Kebanyakan memang buku-buku impor… Bisa deh nanti dicoba
kesana kalo free. Dan kalo ada duitnya,” Talia tertawa, tawa itu menular
padaku. Suasana menjadi hangat.
“Harus free dan ada duitnya, yaa.
Itu yang jadi PR,” kataku menggoda Talia. Tersenyum menatap matanya.
“Iya… Kamu bisa dong nemenin
kapan-kapan?” Talia terkekeh.
“Bisa dong… Eh aku minta kontakmu
dulu aja,” ujarku memberikan ponsel setelah merogoh kantung kanan celanaku. Talia
mencatat nomornya, aku melihatnya memainkan jemari di layar ponselku. Melihat
rambutnya yang terurai jatuh—menggantung.
“Nih, WA aja yaa,” kata Talia,
mengembalikkan ponselku.
Setelah percakapan yang cukup
panjang, kami melanjutkan menonton film. Tiga pengunjung lain pergi beberapa
menit yang lalu. Hujan mulai reda, hanya ada kami di ruangan itu, duduk
berdampingan. Jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya, sepatu Talia
sempat menyentuh sepatuku. Beberapa detik setelahnya Talia mengulangi sentuhan
itu.
Dari
situ aku tahu ada yang hendak disampaikannya, aku membalas menyentuh sepatunya,
dua kali, persis seperti seorang yang mengetuk pintu. Talia menoleh manatapku. Aku
tersenyum, Talia membalasnya, lalu berpaling—kembali fokus menatap layar.
Jemariku bergerak, kelingkingku menyentuh kelingking Talia. Talia ikut menggerakkan jemarinya, lalu kemudian, telapak tangan Talia mengadah, persis
seperti seorang yang meminta. Melihat itu, pelan-pelan aku menggandeng
tangannya, jemari kami saling mengisi. Ibu jari kami saling mengelus lembut.
Senyum kami merekah, aku tahu perasaan apa yang sedang bergejolak di dalam
diriku malam itu.
-----
Woa ...
ReplyDelete