“Kamu
lagi nonton apa, Talia?” tanyaku sembari membuat es teh.
“Ini,
nih… Kamu tahu, nggak?” tunjuk Talia pada layar laptopnya
Aku
melihat layar laptop dari dapur di rumahku, Talia duduk di sofa ruang keluarga,
semalam Talia menginap, menemaniku yang menulis kelanjutan episode pertemuan
kami. Talia belum membacanya. Semalam Talia tertidur di sampingku yang sibuk
menulis tepat di sofa yang sama.
“Another
Trip To The Moon, yaa?” tanyaku memastikan.
“100
buat anda, Ed!” teriak Talia, suaranya menggema membentur dinding rumah.
“Ssssttt,
ntar kedengeran tetangga,” kataku mengaduk es teh, suara gesekkan sendok dan
gelas kaca terdengar hingga telinga Talia.
“Kamu
bikin apa itu? Aku bikinin juga, dong,” Talia memohon, setengah menggodaku
dengan air muka yang manja.
“Mau?
Aku bikinin, deh.”
“Yeay…”
Talia
fokus menonton film, aku membuat satu es teh lagi. Hanya ada aku dan Talia,
sepi tak lagi merambat di dinding kamarku semenjak Talia masuk keduniaku. Aku
tak kuasa menahan perasan bahagia tiap bersamanya, aku selalu luluh pada
sentuhan hangatnya atau tatapannya yang begitu dalam.
“Nih,”
kataku memberikan satu gelas es teh untuk Talia.
“Makasih,
Ed, baik deh,” Talia menggoda.
“Gombal.”
“Eh,
Ed. Kamu udah nonton Daun Di Atas Bantal?” tanya Talia, setelah menekan tombol
space pada keyboardnya, film berhenti sejenak.
“Garin
Nugroho? Udah… Kenapa emang?” balasku sembari menyeruput es teh.
“Nah!
Recommend film yang sejenis itu dong,” Talia memohon, lalu menekan tombol space—film
berlanjut.
“Waduh,
ini nih sulit… Dalem atau luar? Coba nonton Pasir Berbisik,” kataku, merangkul
Talia.
“Pasir
berbisik? Yang pemainnya Dian Sastro, bukan? Kayaknya aku udah pernah nonton…
Itu film kelas berat,” Talia menoleh, melihatku lalu mencium bibirku singkat.
“Iya,
yang sama Christine Hakim juga… Kalo Cinta dalam Sepotong Roti? Bulan Tertusuk
Ilalang?” jawabku, setelah Talia mencium.
“Udah…
Yang Bulan Tertusuk Ilalang kayaknya belum, deh... Itu tentang apa?” Tanya
Talia fokus pada film di layar laptop.
“Coba
tonton aja… Eh, Cinta di Saku Celana juga bagus.”
“Cinta
di Saku celana udah juga… Berarti nonton Bulan Tertusuk Ilalang dulu, deh.”
“Sekarang?”
tanyaku memastikan.
“Ntar
aja, deh,” jawab Talia, menutup laptopnya, film terhenti.
“Lah
kok dimatiin?”
“Nggapapa,
nggak ada yang lebih menarik dari kamu,” Talia tersenyum menatapku, mencium
pipiku singkat.
Aku
tergoda, semakin erat merangkul Talia. Aku suka situasi ini, Talia selalu
membuatku merasa ada bahkan hanya dengan kata-kata tentang kita. Talia
menyandarkan tubuhnya padaku, mengambil ponsel, mulai membuka Instagram.
“Wih,
episode dua, nih? Kamu kok nggak bilang kalo udah upload? Baca, ah,” ujar Talia
setelah melihat satu postingan di Instagramku. Talia berbalik—menghadap ke
arahku, mulai membaca.
Kami
duduk di depan sofa, di atas sebuah karpet di antara letak sofa dan sebuah meja
kayu yang mengkilap. Talia membaca sembari meminum es tehnya. Sesekali
melirikku, tertawa dan tersenyum. Sampai Talia selesai membaca, dia meletakkan
ponselnya di atas meja, merangkul leherku singkat.
“Aku
kira bakal beda… Ternyata masih percakapan selanjutnya,” senyum Talia
menatapku. Senyum yang sama, yang selalu meluluhkanku, lesung pipitnya begitu neurotik.
“Gimana?
Bagus nggak?”
“Bagus!
Sebagai pembaca aku bisa berimajinasi waktu bacanya… Cuma aku ketawa aja baca
percakapannya.”
“Kok
ketawa?” tanyaku menyipitkan mata, menatap Talia.
“Yaa
ketawa aja, jadi inget percakapan kita waktu itu, persis banget sumpah!”
“Owalah…
Tapi nyambung, kan sama ceritanya?”
“Nyambung,
kok. Lebih nyambung lagi kalo diterusin,” kata Talia menggodaku—berharap.
“Waduh
PR nih kalo minta diterusin,” kataku mengusap wajah Talia.
“Loh
kok malah PR?” tanya Talia, kembali bersandar pada tubuhku.
“Iyalah
PR, kan kita ngobrol terus, nih... Selama obrolan kita terus berlanjut berarti
bakal banyak lanjutannya,” aku mengelus ubun-ubun Talia.
“Emang
gak bisa kembangin sendiri pake percakapan imajinasimu?” kata Talia setelah
tertawa singkat.
“Itu
juga udah ada bagian dari imajinasiku, loh.”
Kami
terdiam, aku masih mengelus ubun-ubun Talia, menyisir rambutnya dengan
jari-jariku. Kemudian Talia memegang tanganku, menciumnya perlahan, lembut.
Seluruh tubuhku bergetar, Talia menurunkan tanganku—merangkul perutnya. Talia
menahan geli setelah aku menggelitik perutnya.
“Imajinasimu
liar, yaa… Bikin kebayang,” kata Talia memecah keheningan.
“Kamu
nih, jangan cuma dibayangin dong,” kataku menggoda.
Talia
tersenyum lalu bangkit, menggandeng tanganku, menarikku pelan—membawaku ke kamar
tidur. Setelah kami berdua masuk, Talia menutup pintu—masih menggandeng
tanganku, lalu menatapku dan tersenyum, melepas kancing teratas bajunya.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar