Cicak
di plafon hotel makin bertambah ketika malam mulai meninggi. dr. Jusuf dan
Andriana masih berbaring di karpet merah. Telinga mereka bersentuhan, kali ini
bukan bintang atau bulan yang mereka bicarakan. Tapi, cicak. Telunjuk mereka
tertuju pada sepasang cicak yang berdekatan dan saling mendekat, seperti
seorang kekasih yang bertemu setelah sekian lama menjalin hubungan jarak
jauh—LDR.
Ini
hari terakhir Andriana mengambil cuti. Tidak ada kekhawatiran dari Andriana
untuk bergegas kembali ke Jakarta. Terapi yang dilakukan dr. Jusuf hampir
berhasil, dan sampai sekarang Andriana belum curiga. dr. Jusuf tinggal
menanamkan cara agar Andriana mengelola rasa khawatirnya terhadap penyakit yang
menghantuinya. Karena jika Andriana masih terus saja berpikir bahwa dia
mengidap Neurosis, terapi yang dilakukan dr. Jusuf akan menjadi sia-sia. dr.
Jusuf sedang berusaha menanamkan rasa empati dan simpati ke dalam tubuh
Andriana.
dr.
Jusuf hanya butuh seseorang sebagai pantulan agar Andriana terus mengingat
seseorang itu hingga dia melupakan Neurosisnya. Tapi nihil, dr. Jusuf tidak
menemukan satu orang-pun dari masa lalu Andriana yang bisa membuatnya lupa terhadap
Neurosis yang dia idap. Hanya ada orang tua, keluarga dan kerabat. Andriana
sangat tertutup untuk masalah ini. Masa lalu baginya adalah kegagalan—kegagalan
yang membuatnya enggan.
“An?”
“Iya,
dok?”
“Kenapa
kita masih di sini? Bukankah ini hari terkahirmu cuti?”
“Ini
Gili Trawangan, dok. Aku masih ingin berlama-lama di sini”.
“Lalu,
pekerjaanmu?”.
“Jangan
khawatir, dok. Nggak bakal mempengaruhi kinerja kantor kalau tidak ada saya
disana. Lagian dokter juga kan yang memintaku mengambil cuti kerja dan pergi
berlibur?”.
Suasana
tenang sesaat. dr. Jusuf hanya tersenyum, jari-jarinya beradu di atas dadanya.
Andriana memutuskan untuk memperpanjang liburannya di Gili Trawangan selama dua
hari. Memberikan waktu lebih untuk dr. Jusuf menyelesaikan pekerjaannya.
Andriana tertidur. dr. Jusuf menatapnya manis lalu mengambil selimut untuknya.
Sengaja dr. Jusuf tidak memindahnya ke atas kasur, karena takut
membangunkannya.
dr.
Jusuf duduk di balkon hotel. Menikmati deburan angin laut dan suara ombak yang
lirih terdengar. Dia mengambil buku catatannya lalu mulai menulis. “Aku
membenci waktu yang terlewat begitu cepat saat rasa membaginya denganku.
Terlebih aku sangat benci ketika waktu terasa begitu lambat ketika rasa melukaiku”
–Gili Trawangan (00.09)
Dalam
batas buritan, Andriana seperti berada pada satu titik yang membuatnya bingung.
Ketika masa lalunya meninggalkannya, ketika masa lalunya pergi tanpa izin lalu
datang lagi ketika izin itu diterima dan sudah tidak berlaku lagi untuk
Andriana. Terlebih ketika angin buritan menusuk tulang yang mengalami kerusakan
hebat. Tulang-tulang Andriana mengeras ketika lelaki dari masa lalunya datang
tanpa salam, membawa seorang perempuan di belakangnya, mengenalkannya pada
Andriana. Kamu tahu siapa yang aku maksud. Andriana terkapar setelah kejadian
itu. Dia mulai yakin bahwa kegagalan adalah hal yang tidak bisa dirubah.
Seperti aturan tuhan yang pantang untuk dilanggar. Keyakinnanya justru membunuh
perasaan yang tak lagi merasa. dr. Jusuf paham akan hal ini, sebagai seorang
psikiater tidak susah menebak suasana hati seseorang hanya dari tatapan mata
dan gerak-gerik. Kini tugasnya hanya satu, membuat Andriana mencintainya.
BERSAMBUNG...
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar