Arthur
dan Ana duduk semakin dekat, seperti ada medan magnet diantaranya. Arthur
mengambil biskuit kelapa dan dipegangnya ditangan kiri, Arthur memakannya
beberapa. Arthur cerdik, dia sengaja menyingkirkan biskuit kelapa itu agar
tidak ada lagi jarak antara dia dan Ana.
“Apa
yang sedang kamu cari Arthur?” Ana bertanya. Lautan yang dipenuhi dengan ombak
besar berubah menjadi tenang, suara angin nampak jelas bertabrakan dengan
pohon-pohon kelapa.
“Kenapa
kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?”
“Ah,
mukamu tidak bisa membohongiku, Arthur. Kamu tidak pandai berbohong, kamu ingin
menemui ayahku kan?. Apalagi kalau bukan ada sesuatu yang ingin kamu cari dari
ayahku?” Ana mengmbil biskuit kelapa yang sudah dimakan setengahnya ditangan
Arthur.
“Kamu
memang satu-satunya orang yang selalu bisa menebak tentangku” Arthur tertawa,
merasa bangga mempunyai teman seperti Ana. “Aku ingin mencari informasi dari
ayahmu tentang kematian ayahku, Ana” Arthur menatap lembut mata Ana.
“Apalagi
yang ingin kamu cari, Arthur? bukankah para Anei sudah pernah menjelaskan tentang
kematian ayahmu?” Ana menolak tatapan lembut Arthur.
“Ada
yang mengganggu pikiranku, Ana. Semalam aku bermimpi tentang ayahku. Di mimpi
itu semua nampak jelas, seperti nyata. Seperti ada pesan yang ingin disampaikan
ayahku. Aku ingin mencaritahu apa maksud mimpi itu, Ana.”
“Lalu,
apa yang ingin kamu lakukan setelah kamu mengetahui semua tentang kematian
ayahmu, Arthur?” Ana menatap lautan luas. Mencoba menghindar dari tatapan
Arthur. Ana tidak pernah kuat berlama-lama menatap mata Arthur. Hatinya selalu
berdebar setiap Arthur mentapnya.
“Aku
ingin menuntut kematian ayahku, aku yakin ayahku mati bukan karena usianya yang
sudah tua, pasti ada sesuatu yang disembunyikan para Anei dariku.”Arthur
mendekati Ana, kini tidak ada lagi jarak diantara kedunya, paha dan bahunya bertemu.
Ana merasa canggung dengan situasi yang dia hadapi sekarang, Arthur benar-benar
mentapnya dari dekat meski Ana tidak membalas tatapan Arthur. Jantung Ana
berdebar keras, nafasnya tidak beraturan, keringat dingin mulai membasahi
tubuhnya. Ana tidak bisa menghindar, dia tidak mungkin, dia tidak ingin salah
bertingkah di hadapan Arthur.
“Arthur,
kamu tidak perlu cari tahu sejauh itu, kamu masih muda, nyawamu bisa terancam”
jemari Ana saling beradu, matanya menatap gambar di baju Arthur..
“Kamu
tidak perlu khawatir nyawaku, Ana. Aku akan baik-baik saja, aku akan bertanya
pada ayahmu, cara masuk ke Balai Kota dengan aman, tanpa ada curiga dari
penjaga” Arthur melingkarkan tanganya ke pundak Ana.
“Kamu
tidak kasihan dengan ibumu Arthur?, aku yakin kamu belum bilang ibumu kan?” Ana
menjadikan pundak Arthur sebagai bantalnya, moment ini yang selalu di inginkan Ana
sejak lama. Arthur membenarkan letak duduknya, membuat Ana melingkarkan
tanganya pada punggung Arthur.
“Setelah
ini, aku akan memberitahu ibuku, kamu tidak usah khawatir Ana, kamu terlalu romantis
untuk bersikap khawatir padaku” Arthur tertawa kecil, tangannya mengusap pundak
Ana.. Pipi Ana memerah belum pernah dia sedekat ini dengan Arthur, terakhir dia
dan Arthur tidur bersama dirumah Ana, itu pun 15 tahun yang lalu ketika Ana dan
Arthur masih sangat kecil, hanya sebatas takut tidur sendirian karena ditinggal
kerja orang tuanya.”Lalu, apakah kamu mau ikut mencari tahu bersamaku, Ana?”
Arthur bertanya, tatapannya nampak serius, mata Ana melirik menatap Arthur yang
menunggu jawabannya.
“Aku
belum bisa jawab, tapi asalkan bersamamu aku tidak bisa menolak ajakanmu,
Arthur” Arthur dan Ana melepaskan situasi yang tadi mereka ciptakan, kini
mereka duduk seperti biasa, saling tersenyum dan menatap, Arthur tidak menjawab
perkataan Ana. Tangan mereka memegang erat ujung kursi. Arthur mendekati wajah
Ana, hidung dan dahi keduanya bersentuhan, saling beradu, mereka berdua
tertawa. Arthur masih belum menjawab perkataan Ana, sampai Ana bertanya kenapa
Arthur diam. Arthur hanya tersenyum, senyuman khas yang dimimpikan Ana setiap
malam. Arthur menciumnya membuat mata Ana terpejam..
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar