Pagi
ini Arthur berniat pergi ke rumah Ana di lepas pantai Nanoi. Mimpinya semalam
menggugahnya untuk mencari kebenaran tentang ayahnya. Arthur sengaja pergi
kerumah Ana untuk menemui Prof. Uru dan bertanya tentang ayahnya. Ibu Arthur
belum bangun dari tempat tidurnya, ini hari minggu. Ibunya bebas tidur sampai
kapanpun asal tidak diganggu oleh siapapun termasuk Arthur.
Arthur
Masih duduk dibangkunya, melihat petugas loper koran yang mengendarai sepeda
melemparkan koran ke pintu rumah Arthur. Koran dikota Nanoi diberikan secara Cuma-Cuma
oleh pemerintah kota. Tidak pernah ada berita buruk di koran, pemerintah kota
selalu mengisi berita tentang kemajuan Kota diberbagai sektor, meskipun
terkadang yang diberitakan tidak pernah ada faktanya. Mungkin itu tujuan kenapa
koran di Kota Nanoi diberikan secara Cuma-Cuma, sebagai alat pencitraan atau
alat provokasi publik. Arthur tidak beranjak mengambil koran itu. Arthur tidak
pernah membaca koran Kota. Koran itu hanya dibaca sekali oleh ibunya lalu
dibuang atau terkadang menjadi pembungkus makanan.
Setelah
bersiap-siap Arthur segera beranjak pergi, di tuliskannya pesan untuk ibunya di
selembar kertas putih yang berisi: “Bu Arthur pergi kerumah Ana dulu”.
Diselipkannya di sela-sela jari ibunya..
Arthur
pergi jalan kaki sesekali melambaikan jempolnya untuk meminta tumpangan. Musim
kemarau telah lewat, udara panas di Kota Nanoi berubah dingin dan sejuk..
Pemandangan pagi di Kota Nanoi selalu indah memberikan rasa nyaman pada setiap
orang yang lewat, belum banyak gedung-gedung pencakar langit yang terlihat. Hanya
ada beberapa gedung pemerintahan yang tidak lebih dari 4 lantai..
Jarak
rumah Arthur dan Ana lumayan jauh, menempuh waktu sekitar setengah jam naik
kendaraan, bisa cukup lama jika Arthur jalan kaki.. Setelah beberapa menit Arthur jalan kaki. Arthur melambaikan tangan ke
arah mobil pick-up yang mengangkut sayur mayur, diberhentikannya mobil itu lalu Arthur bertanya pada sopir kemana arah pick-up itu pergi. Arthur naik pertanda pick-up
searah dengan rumah Ana.
Setelah
setengah jam perjalanan, melewati hamparan kebun sayur dan pohon-pohon kelapa, mobil
pick-up itu menurunkan Arthur di pinggir jalan besar lalu pergi meninggalkan kepulan
asap knalpot yang bau dan berwarna hitam pekat. Arthur membalikan badan, diam, Menatap
jalan menuju rumah Ana, tiba-tiba Arthur larut dalam kenangan masa kecilnya
bersama Ana. Tempat Arthur dan Ana bermain perak umpet masih sama, dipinggirnya
masih menjulang pohon-pohon kelapa. Arthur menyusuri jalan itu, Arthur melihat
sosoknya bermain petak umpet bersama Ana dan teman masa kecilnya yang lain.
Matanya berkaca-kaca menatap langit-langit dan kelapa yang ijo royo-royo, bibirnya tersenyum lebar. Diujung jalan itu ombak
meraung-raung, angin menggoyangkan daun-daun kelapa, pasir pantai yang halus
sudah bisa dirasakan kaki Arthur ,.Arthur menghirup nafas panjang, matanya menyapu
laut lalu melihat rumah Ana yang menghadap langsung ke arah Laut.
Arthur
mendekati rumah Ana, rumah dengan desain klasik dengan dinding batu bata yang
agak kecokelatan, dan cerobong asap yang
mulai menghitam di bagian atas. Ayunan kayu di depan rumahnya bergoyang seperti
baru saja dipakai orang. Tidak banyak orang berlalu lalang hingga Arthur
melihat Ana melambaikan tangan penuh semangat. Arthur enggan mendekat, pakaian
renang yang dipakai Ana membuat Arthur merinding, kulitnya yang putih halus
membuat mata Arthur melotot tidak karuan. Ana menyambut Arthur hangat, memeluk
Arthur seperti lama tak bertemu padahal baru kemarin dia menghantarkan Arthur ke
penimbangan.
“Jadi,
kamu mengiyakan perkataan ibumu untuk menemaniku sesekali?” Tanya Ana
melepaskan pelukannya.
“Hahaha,
aku tidak mau menjawab pertanyaanmu sebelum kamu mengganti pakaianmu, Ana.”
“Ah,
kamu masih saja sama seperti dulu, selalu berlebihan menghormati wanita. Santai
sajalah, aku ini kan temamu, anggap seperti saudara sendiri” Ana mengedipkan
mata.
“Kamu
Nampak jelek dengan pakaian seperti itu Ana, cepatlah ganti. Aku lebih suka
melihatmu mengenakkan blus warna putih.”
“Okelah
Arthur, aku masuk dulu kamu jangan ikutan ya. Duduk di situ saja, tunggu aku”
Ana menunjuk kursi kayu yang menghadap laut didepan rumahnya.
Ana
memang aneh, hanya dengan Arthur dia bisa bersikap santai dan nakal. Mungkin karena
Arthur teman masa kecilnya. Ana sudah menganggap Arthur seperti keluarganya.
Tidak ada yang berubah di tempat ini, tetap seperti dulu, tempat yang hangat
untuk berbincang. Arthur duduk, menunggu Ana dan berharap Prof Uru ada dirumah.
“Arthur”
Ana keluar dari rumahnya membawa kelapa muda dan biskuit kelapa kesukaan Ana. “Hey
Ana, nah gini dong kamu jadi kelihatan cantik kan kalo gini” Ana memberikan
Kelapa muda pada Arthur lalu duduk disebelah Arthur. Biskuit kelapa menjadi
pembatas Ana dan Arthur.
“Aku
mencari ayahmu, Ana. Dia ada dirumah?”
“Jadi
kamu mencari ayahku? Aku kira kamu kesini mencariku, Arthur..Ayahku sudah tiga
hari ini tidak pulang, ayah bilang masih banyak pekerjaan di Balai Kota. Memangnya
kenapa, Arthur?”
“Aku
ingin bertemu ayahmu, sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Tapi kalo tidak
ada, maksudku kesini jadi berubah untuk menemuimu, Ana” Kontak mata yang diberikan
Arthur sangat dalam membuat Ana menjadi salah tingkah. Tingkahnya memberikan
tanda kesukaannya pada Arthur, perasaan masa kecilnya terhadap Arthur masih
sama. Ana membalas pergerakan mata Arhtur, dengan senyuman yang selalu
dirindukan Arthur.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar