Selepas
senja aku masih menatapmu di balik jendela yang tertutup embun hasil hujan sore
tadi. Malam tadi aku memimpikanmu lagi, entah sudah berapa malam yang
kuhabiskan untuk memimpikanmu. Aku melihatmu menyeka air mata yang terlampau
deras membasahi pipi, matamu tak sekalipun menatap mataku, seakan aku tak
pernah ada di depanmu. Di mimpi itu kau mengenakan gaun putih, rambutmu kau
ikat dengan karet gelang pemberianku setahun yang lalu.
“Are
you oke?”
“I’m
Fine.”
Aku
terbangun dari mimpi, setelah kamu pergi bersama seorang pria yang tak tampak
jelas raut mukanya. Sudah sepuluh jam aku duduk di balik jendela ini. Menatapmu
yang berbahagia menerima tamu yang datang di pernikahanmu. Aku tak sekuat yang
kau kira, melihatmu bersanding bersama orang lain, mengucapkan janji sehidup—semati.
Tidakkah kau lihat gelisah hati ini? Yang meminta kau kasihani meski hanya
sedetik tersenyum dan menatapku manis. Aku bukan lautan yang berjarak dengan
ombak, aku hanyalah hujan yang meneteskan air dari kesedihannya yang sudah tak
bisa ia tahan sendiri.
Selepas
senja, aku selalu bisa melihat wajahmu di buku-buku yang ku baca, melihatmu
menjelma senja yang terbit di setiap halamannya. Asaku terpuruk ketika tahu itu
hanyalah imajinasi yang tanpa ujung. Aku lelah membiarkan hujan memakan semua
air mataku, mengingatkan diri pada perjuangan yang akhirnya mati hanya karena
gengsi.
“Tak
ada pertemuan tanpa perpisahan, sayang.”
“Aku
tak ingin ada pertemuan.”
“Apa
yang kamu mau?”
“Aku
ingin perpisahan yang mengharap pertemuan.”
“Itu
mustahil.”
“Aku
tahu, aku terlalu lelah mengatakan aku kuat karena berpisah denganmu, padahal
aku sangat mengharapkan pertemuan itu lagi.”
“Sayang,
aku tak benar-benar berpisah darimu, aku hanya memberi jarak diantara kita.”
“Jarak
menghasilkan ruang, kamu harus bertanggung jawab karena ada ruang yang kosong—tak
terisi.”
“Biarkan
ruang itu kosong, ada saat yang tepat untuk diisi oleh orang yang tepat. Kamu
hanya perlu menantinya dan menunggu.”
“No!!
cinta bukan soal menanti apalagi menunggu. Cinta soal menemukan dan ditemukan.”
“Kalau
begitu, temukanlah.”
“Aku
sudah menemukanmu.”
“Kau
tahu, ini semua tidak mungkin. Aku sudah ditemukan oleh orang lain.”
“Tapi,
aku yang menemukanmu dulu.”
“Tidak,
kamu salah. Kamu menemukanku bukan disaat yang tepat. Tapi dia, menemukanku disaat yang tepat.”
Selepas
senja, aku menyadari kenangan tak pernah berubah menjadi apa-apa, kenangan akan
tetap sama seperti semula. Aku yang terlalu berharap kenangan berubah menjadi apa
yang aku mau.
Selepas
senja, aku butuh hujan untuk menyamarkan air mata. Kenanganmu hanya membuatku
merasa ada bukan memiliki. Ini menyakitkan, sekeras apapun aku mencoba
melupakanmu, hatiku selalu mudah menemukanmu lagi.
Selepas
senja, aku menyadari. Aku tak pernah bisa memberikan apa yang kau mau dan kamu
selalu memberikanku apa yang aku mau, Aku sadar, kau lebih mencintaiku karena
kau menerima apa yang tak ada di antara kita.
Selepas
senja, aku tahu ini tak semudah yang aku bayangkan. Aku masih rajin menatap
ponsel, berharap ada pesan masuk darimu. Senja tak pernah sama, selalu ada
garis yang berbeda warna, selalu ada awan yang berbeda bentuk. Yang sama hanya
satu, kesetianku dalam menatapmu. Menanti dan menunggu dalam ketidakmungkinan
yang sengaja kau ciptakan untuk menyakitiku.
Selepas
senja aku bertanya, apakah aku akan berhenti jika penantianku ditumbuhi sepi.
Aku selalu takut malam. Aku tak ingin mengulangi kejadian malam itu, aku
memilih menghindari malam dengan memimpikanmu selepas senja.
Selepas
senja, tidakkah kau melihat lumpur-lumpur yang menyelimuti rindu, aku belum
siap untuk tidak merinduimu.
Selepas
senja, aku memutuskan membiarkan hatiku tersesat, memilih ditemukan tidak lagi
menemukan. Aku memaksa merawat hatiku yang luka untuk menjaga kenanganmu yang
terlanjur berakar di pikiran.
“Kamu
salah, melepaskan bukan sebuah kesalahan.”
“Aku
tak pernah punya niat untuk melepaskanmu.”
“Kamu
justru akan menyakiti hatimu sendiri.”
“Hatiku
sudah terbiasa dengan luka yang kamu beri.”
“Tapi
hatiku tak terbiasa melihat luka di hatimu.”
“Aku
cemburu melihatmu bersanding pada seseorang yang tak pernah berusaha keras
mendapatkanmu, tapi bisa mendapatkan
perhatianmu.”
“Kamu
butuh waktu yang tepat, sayang.”
“Waktu
tak pernah memihakku, waktu selalu menahanku maju, waktu memaksaku menggadaikan
rasa.”
Selepas
senja, kau mendatangiku mengobati seduh yang teramat pedih, aku terpaksa
merebahkan cemas. Aku tak pernah ingin pergi dan menjadi orang asing, kau
perempuanku yang lahir dari sajak-sajak pengganti rindu. Kisah kita belum usai,
aku butuh pemeran utama untuk membuat ending. Karena kisah tanpa ending
bukanlah sebuah kisah.
“Aku
kembali, kini menjadi istrimu. ”
“Aku
tahu kau bosan. Tapi bosan tidak bisa kau jadikan alasan untuk berpisah.”
“Aku
tak bosan, sayang. Aku hanya butuh kita kembali, mengulang semua dari awal,
lalu saling mengenal lagi, lewat pernikahan kita.”
“Aku
berhak atas tubuhmu, aku suamimu.”
“Tenang,
sayang. Kau tak pernah benar-benar kehilanganku.”
Selepas
senja, kau membiarkanku merebahkan tubuhmu. Aku rindu bibir yang pernah
melumatku. Kau memberikannya malam ini. Hujan menyembunyikan sunyi. Malam ini jadi
malam pertamaku melihat perubahanmu, dan jadi malam pertamamu melihat aku yang
kau mau. Aku berubah jadi sosok yang selalu kau inginkan—tak seperti dulu. Kau
berubah jadi sosok yang selalu ku tunggu.
“Aku
ingin merubah kebencianmu terhadap malam. Lupakan kejadian malam itu—ada aku di
sini.”
Selepas
senja, aku menyetubuhimu—melupakan semua yang sempat menghalangi kita untuk
saling mencinta, merobohkan dinding yang terlampau tinggi untuk dipanjat.
Menghapuskan jarak yang terlalu lama tercipta. Kau tertidur setelah dua jam kau
membiarkanku menikmati tubuhmu. Ponselku berdering melihat satu pesan yang tak
asing.
“Lihat
keluar jendela, sayang. Aku rindu kamu.”
Aku menatap
ke luar jendela, perempuan yang membuatku memandanginya sepuluh jam dari balik
jendela selepas senja melambaikan tangan ke arahku, aku tersnyum.
“Aku
tak pernah mengenal angka, dalam mencinta.”
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar