Sudah
dua jam aku menatap hujan dari balik jendela kamarku yang mengembun. Aku leluasa
menuliskan satu nama di antara embun yang menyelimuti jendela kamarku.
Jari-jariku tak pernah menuliskan nama yang lain, selain namamu. Aku
merindukanmu, bukan karena hujan pagi ini. Aku rindu percakapan kita diantara
bait yang mengganti rima. Batas antara kenangan dan rasa rindu telah terlalu
lama kamu pegang. Kamu tak pernah membagi batas itu padaku. Aku masih ingat
percakapan kita sore itu, di antara orang-orang yang mengais rindu kau bertanya.
“Menurut
kamu, arti cinta buatmu itu apa?”
“Pertanyaanmu
berat sekali.”
“Yah...”
Dia menatapku dengan wajah memohon.
“Are
you okay?”
“I’m
fine.”
“So,
kenapa kamu tanya soal ini?”
“Aku
butuh jawaban dari kamu.”
“Well,
cinta.” Aku menghela nafas.
Sampai
detik ini kau tak pernah setuju arti cinta menurutku. Kamu tak pernah
mengiyakan apa kataku bahwa cinta ibarat pesulap yang tampil di atas panggung
megah. Semuanya hanya trik untuk membuat penonton terhibur, menghasilkan
senyum, kekaguman dan kegembiraan lalu para penonton menjadi kecanduan akan
pertunjukan yang dihadirkan pesulap itu. Penonton itu meminta lagi, terus
meminta—sampai si pesulap kehabisan trik, lalu para penonton meninggalkannya
dan mencari pesulap lain.
“Kamu
salah, kamu bilang gitu karena kamu belum pernah merasakan nikmatnya dicintai.”
“Mungkin.”
“Coba
kalau kamu udah merasakan nikmatnya dicintai, kamu bakal merubah perspektifmu
soal cinta.”
Yang
bisa merubah perspektifku tentang cinta hanya kamu. Sialnya, kamu tak pernah
menyadari ketertarikanku padamu. Aku bingung, banyak orang yang saling jatuh
cinta, saling menyayangi, saling mencintai. Tapi, kenapa mereka masih sempat
sakit hati? Bukankah hatinya sudah dipelihara dengan baik oleh orang yang
mereka pilih sendiri? Lalu kenapa terkadang mereka merasa sendirian? Padahal mereka
punya cinta—cinta yang mereka pilih sendiri.
“Kamu
jatuh cinta sama seseorang?”
“Yap.”
“Harusnya
kamu enggak tanya apa arti cinta ke orang lain.”
“Kenapa
enggak?”
“Kalau
kamu masih tanya sama orang lain, berarti kamu belum benar-benar tahu apa itu cinta.”
“Aku
tahu, aku merasakan.”
“Merasakan
bukan berarti tahu, kan? Kamu memaksa hatimu untuk merasakan cinta tanpa
memahaminya dulu.”
“Tapi,
buat apa memahami cinta kalau kita udah bisa merasakannya?”
“Buat
apa kamu tanya apa arti cinta, kalau kamu udah bisa merasakannya?”
Kamu
tidak benar-benar menemukan cinta, kalau kamu masih belum tahu apa artinya.
Kamu hanya memaksakan hal yang fana untuk dirasakan hati tanpa diartikan.
Kemunafikan terhadap hati bermula darimu, kamu tidak tahu arti cinta, tapi kamu
nekat mempertanyakan arti cinta pada orang lain. Sebenarnya... Apa yang kamu
rasakan selama ini?
Hujan
masih belum berhenti, kenangan yang mengalir deras masih menatap dari
langit-langit kamar. Sepi merayap di dinding kamarku. Rindu ini mengeras bak
bunga es di ruang pendingin. Aku tak bisa mencairkannya sebelum lemari es
dimatikan. Sebelum ada seseorang yang mengambilnya... Rindu ini akan tetap
mengeras.
Namamu
belum hilang di jendela kamarku yang mengembun. Bait dalam puisi itu berubah
tanpa makna, puisiku kehilangan rima. Kamu menciptakan perasaan yang liar—kamu menanaamkanya
di hatiku lalu kau tinggalkan. Dengan segenap pucuk pengharapanku aku bertanya,
kapan kamu memetik semua yang telah kamu tanam dalam-dalam di hati ini. Aku
masih menunggumu memetiknya sebelum aku membiarkan orang lain mencabutnya.
“Kenapa
kamu menerimanya? Kamu tahu dia bukan orang yang baik untukmu.”
“Tapi,
dia rela berubah untukku.”
“Apakah
kamu rela berubah untuknya?”
Aku
sulit percaya pada seseorang yang rela berubah demi mendapatkan orang yang dia
cinta. Karena ketika itu terjadi, kamu akan mendapatkan tugas yang sangat
berat. Kamu harus benar-benar menjaganya untuk tidak berubah menjadi sesuatu
yang lain—sesuatu yang tidak pernah kamu harapkan. Karena ketika kamu
meninggalkannya—kamu justru akan merubahnya menjadi monster yang sangat
berbahaya untuk dilepas. Kamu terjebak dalam hubungan yang kamu bangun sendiri.”
“Kita berdua
punya banyak kesamaan. Bukankah itu sebuah kelebihan?”
“Tapi, Itu
enggak menjamin keberhasilan hubunganmu di kehidupan. Hidup ini lebih rumit
dari apa yang kamu kira. Kamu enggak bisa merancang hidupmu sendirian.”
Hujan
pagi ini membuat selimut jadi teman melawan dingin. Dingin pagi ini menusuk
tulangku, merebahkan sepi yang mencari rindu. Aku mencoba melawan bayang-bayangmu
di pikiranku. Tapi, ketika aku mencobanya, aku selalu menemukan tembok tinggi
yang menghalangi. Dan sialnya kamu ada di balik tembok itu. Aku tak mungkin
menghancurkannya, karena tembok itu mungkin saja menimpamu. Aku bisa saja
mencoba memanjatnya. Tapi, aku takut kau menghilang ketika aku sampai di balik
tembok. Jadi apa yang harus aku lakukan?
Hujan
berhenti, embun di jendela kamarku perlahan menghilang bersama sepi yang
merayap di dinding kamarku. Aku
melihatmu di balik jendela—tersenyum menatapku. Tanganmu menyentuh jendela yang
menyentuh tangankuku. Kita menghapus embun itu seirama.
Aku
membuka jendela, jeda antara kesunyian dan rasa sepi menghalangiku untuk
berbicara. Lidahku kelu. Aku tak pernah bisa menjadi orang normal ketika
berhadapan dengamu. Bersama angin yang berhembus kamu berkata.
“Aku
hanya ingin pergi, jangan cari aku. Aku tidak ingin ditemukan.”
“Tapi,
kenapa?”
“Because, if you
look with your heart. You will know... I always be with you.”
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar