Sore
ini, kekasihku menyuruhku pergi ke tempat biasa kita mengadu. Taman kota adalah
tempat kita menghabiskan waktu bersama hingga larut malam. Tempat kita mengadu
dan teriak sekencang-kencangnya. Tempat pertama kita bertemu, tempat dimana
kita menuliskan semua perasaan di selembar kertas. Membentuknya menjadi pesawat
kertas lalu menerbangkannya bersama...
---------
Seorang
kakek dengan payung hitam duduk di bangku taman kota yang berdecit. Di telinga
kanannya sebatang rokok kretek terselip. Sudah dua jam, kini langit berubah mendung. Kakek itu meraba
kantung bajunya, mengambil pesawat kertas, membuka lalu membacanya.
Kakek
itu meneteskan air mata ketika selesai membaca. Kertas itu jatuh, jari-jarinya
bergetar, air matanya melewati pipi yang kriput, lalu jatuh bersama gerimis
yang turun. Kakek itu membuka payung yang dia bawa. Gerimis mulai membasahi
taman kota.
Kakek
itu bangkit, meninggalkan taman kota, membiarkan surat yang dia baca semakin
basah karena gerimis. Aku mengambil surat itu, lalu membacanya...
---------
“Aku
ingin menikmati malam bersamamu, melepaskan rindu yang tak terbalas, menikmati
peluk yang datang tepat waku. Jika kau membaca suratku, ini adalah pertanda
kepergian. Jangan kau rasakan. Aku tak ingin melihatmu dirundung kesedihan.
Menyadari bahwa kehilangan adalah hal yang menyakitkan. Aku ingin kau tahu
bahwa aku tidak benar-benar pergi, aku selalu ada di ranjang kamar kita,
menemanimu tidur dan menyelami setiap mimpimu. Kita sama-sama tahu melupakan
adalah hal yang paling mudah dilakukan oleh orang-orang tua seperti kita. Tapi,
melupakanmu adalah hal yang paling sulit kulakukan sepanjang hidupku. Ambil
payungmu, lindungi tubuhmu dari gerimis ini, pergi ke tempat kita biasa mengadu.
Tinggalkan surat ini, Biarkan orang lain membacanya...”
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar