Aku
terbangun dari sebuah perjalanan waktu yang gagal total. Petang itu aku hanya
memakai celana pendek selutut dan tubuhku terasa sakit karena baru jatuh dari
langit. Aku jatuh persis di pinggir jalan, ada pembatas besi yang memisahkan
antara jalan beraspal dan lautan luas. Saat aku membuka mata dari terbaring
miring dan mencium air hujan, aku melihat seorang wanita menangis bersandar
pada pembatas besi jalan itu. Wanita itu menatapku nanar, ada air mata yang
kulihat hingga membasahi rona pipinya.
Tiba-tiba
wanita itu memelukku, aku tak mampu mendengar kata apa yang keluar dari
bibirnya sesaat sebelum pelukan hangat itu menubruk tubuhku. Dalam peluk itu
aku melihat senja yang sedikit lagi menghilang—melihat pantulan sinar itu di
air laut yang tenang. Wanita itu sangat erat memelukku, dia berkata;
“Jangan
pergi, aku takut di sini.”
“Aku
gak paham, kenapa?” kataku membalas. Ia melepas pelukannya, kali ini menatapku
dengan senyum yang tenang.
“Jangan
jawab, cukup rasakan. Aku takut sendiri,” aku hanya menatapnya—semakin bingung.
Tiba-tiba ia menciumku—pelan, tak kurasakan nafsu di sana. Bibir kami yang
basah bertemu di sebuah lanskap tepat ketika senja benar-benar hilang. Aku
membalas penuh ciuman itu. Ia semakin erat mencekram punggungku, sampai ia
berhenti—lalu menatapku lagi, dan kembali menciumku. Yang kali ini lebih kacau,
tidak tenang sama sekali. Aku mendorong tubuhnya, sampai punggung wanita itu menyentuh
dinginnya pembatas besi jalanan.
“Aku
di mana?” tanyaku dalam pelukannya sesaat ciuman itu usai.
“Ha?”
suaranya lirih, melepas pelukan—tersenyum menatapku.
“Ini
di mana?”
“Home.
. .” ia berbisik di telingaku, ia menunjukkan keindahan lautan dengan gerik
tubuhnya, seolah mempersembahkan keindahan eksklusif itu padaku.
“Aku
gak paham.”
“Cukup
aku, kamu jatuh di duniaku. Aku telah lama menunggu,” ia berdiri sejajar di
sampingku, ada yang aneh—aku tak lagi merasakan angin yang menabrak tubuhku
yang telanjang. Saat kulihat, ada setelan rapi yang terpasang di tubuhku,
reflek aku melihat wanita itu, dan ia hanya tersenyum.
Sampai
cahaya senja benar-benar hilang, dan langit diselimuti gelap yang murung tanpa
bintang, ia menggenggam tanganku—mengajakku pergi dari sana. Aku mengejar
langkahnya yang sedikit cepat. Terus bertanya sepanjang jalan ke mana kita akan
pergi, ia tak menjawab, hanya sesekali menoleh—senyum itu menghiasi bibirnya,
lagi dan lagi.
Sepanjang
jalan itu rambutku terus tersapu angin yang sekaligus mengelus pipiku dengan
lembut, wanita di depanku ini memakai gaun putih susu yang elok menyentuh
lutut. Ada perasaan yang menggema mengganggu pikiran tiap aku berkedip, makin lama,
goncangan itu menggangguku. Aku penasaran, kugunakkan mataku untuk terus
berkedip untuk tahu jawabannya. Wanita itu mempercepat langkahnya, saat aku
berkedip sekali lagi, wanita itu telah hilang, aku berlari, masih menyongsongkan
tangan ke depan, sebelum sepenuhnya sadar—aku berlari sendirian.
Aku
melihat sekelilingku, mencari wanita itu dan tak kutemukan di mana-mana, saat
aku menoleh dalam sekejap aku berada di sebuah lorong putih dengan banyak pintu
cokelat di kanan dan kirinya. Di ujung lorong itu ada cahaya putih yang berusaha
menembus kaca tebal. Lorong itu sepi, ada gema saat suara tercipta. Aku
berjalan menyusuri lorong dengan karpet berpola planet-planet, sampai di depan
pintu nomor 19 aku dikagetkan oleh suara langkah kaki yang berat dari belakang,
sebelum aku sempat menoleh, tubuhku terdorong masuk menembus pintu 19.
“Kamu
harus segera pulang,” pria itu mengambil sebuah arloji dari saku celananya. Aku
yang bingung terus melihat gerak-geriknya. Lalu ia melemparkan arloji itu ke
lantai, secercah cahaya diagonal keluar dari arloji itu, cahaya putih yang
perlahan menjelma portal yang penuh bintang-bintang dan benda langit. Ia
mendorongku dengan keras, bahkan tak bisa kulawan. Aku tak ingat apa rasanya
memasuki portal itu.
Ada
gelap yang singkat, aku membuka mata, sedikit menebak sedang berada di mana.
Aku terbangun dari ranjang tidurku. Mimpi apa lagi barusan? Tanyaku dalam hati,
sepasang mataku seperti dibebani batu besar. Lalu aku buru-buru membasuh muka,
cermin di depanku sekilas memantulkan sosok wanita itu. Aku mengenalnya. Sial!
Tak biasanya aku mampu mengingat setiap wajah di mimpiku. Sungguh mimpi yang
dingin, yang membawaku pada titik ini: Dan membawamu ikut.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar