Apakah
radikalisme adalah “gen” manusia? Radikalisme adalah reaksi yang timbul karena
kebencian terhadap suatu ideologi. Reaksi ideologis ini memengaruhi apa yang
kita sebut kemanusiaan. Radikalisme memunculkan produk-produk yang lebih banyak
akan merusak lingkungan publik dan kondisi sosio-politik di suatu negara,
seperti munculnya terorisme.
Pendidikan
kita menciptakan manusia-manusia yang reaktif bukan responsif. Orang-orang kita
akan bereaksi terhadap sesuatu yang sudah benar-benar terjadi. Padahal menjadi responsif
dalam hal penangkalan radikalisme adalah hal yang penting untuk dilakukan. Dari
sana dengan dukungan pemerintah mulai dari Undang-Undang yang dibuat bukan
karena perilaku reaktif, juga dukungan terhadap apparat keamanan, kita bisa
pelan-pelan menanggulangi radikalisme, untuk kemudian dilakukan deradikalisasi.
Saya
punya pengalaman. Tahun 2015, sekitar bulan April. Saya “disidang” di sebuah
ruangan oleh beberapa pengajar yang bahkan jumlahnya tidak lagi bisa dihitung
dengan jari-jari tangan. Ada bapak & ibu saya di ruangan itu. Saya disidang
karena menulis tweet yang memojokkan institusi pendidikan tempat saya belajar.
Saya tidak memasalahkan agenda “sidang” tersebut yang tampaknya membuat
beberapa pejabat institusi pendidikan itu marah sekaligus takut jika kedoknya
tercium; Ini soal kasus korupsi.
Yang
masih saya ingat dan selalu membekas di benak saya, ketika dua pengajar
mengatakan bahwa saya akan mudah direkrut oleh ISIS karena saya dinilai radikal
dan berani untuk bersuara. Sialnya, pengajar lain yang ada di sana hanya diam,
seolah setuju dengan kata-kata itu. Ini jelas pengalaman menyakitkan yang
sekaligus selalu coba saya lupakan namun terus gagal. Kalimat itu telah jauh
menyakiti saya melebihi hinaan verbal yang pernah saya terima. Diucapkan oleh
pengajar yang saya hormati. Apakah saya marah dan memberontak? Tidak. Saya
hanya bisa menangis tiap mengingat momen itu.
Hera
Diani dalam artikelnya di Magdalene berjudul “Konservatisme Agama di Sekolah
dan Kampus Negeri Picu Intoleransi.” Menulis tentang radikalisme yang merebak
masuk ke sekolah dan kampus negeri. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
(PPIM) di Universitas Islam Negeri Jakarta mengadakan survei nasional yang
diikuti 2.181 responden. Hasilnya mengkhawatirkan; Dari 58,5 % pelajar atau
mahasiswa muslim menganut paham radikal dan 34,4% di antaranya intoleran
terhadap non-muslim.
Dalam
kasus ini, seharusnya Pancasila bisa menanggulangi problem tersebut dengan
penguatan ideologi Pancasila di bangku-bangku sekolah. Pada kenyataannya,
Pancasila benar-benar hanya menjadi simbol dan hapalan semata. Tidak ada yang
benar-benar melakukan amanat itu di kehidupan sehari-hari, apalagi dengan tidak
membaca sejarah tentang Pancasila itu sendiri. Kita hanya mengingat Pancasila
setiap tanggal 1 Juni saja, gembar-gembor tanpa paham betul maknanya. Sehingga ideologi
ini menjadi dilemahkan oleh masyarakatnya sendiri. Yang tidak mampu memahami Pancasila
sebagai subjek yang kontekstual.
Satu
contoh tentang pelemahan ini yang secara tidak sadar dilakukan adalah
Pembubaran HTI. Membubarkan HTI dengan dalih melindungi Pancasila dari ideologi
radikal justru bisa memperjelas bahwa Pancasila dalam implementasinya
sehari-hari tidak kokoh, tidak mampu merasuki setiap benak warganya. Ibarat dua
petinju yang bertarung, salah satu petinju langsung menyerang bagian ulu hati
lawannya, yang di mana itu jelas dilarang dalam aturan olahraga tinju.
Mengutip
kata-kata Benjamin Prado; “Yang berbahaya bukanlah ideologi, tapi kurangnya
ide.” Ideologi harusnya dilawan juga dengan ideologi. Pemerintah kekurangan ide,
sehingga memutuskan mencari jalan cepat—jalan pintas yaitu membubarkannya. Dan
lagi ini ikut mencederai UUD 1945 Pasal 28; “ Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan oleh undang-undang.”
Kita
semua tidak bisa menjadi toleran ketika tanpa sadar kita mentoleransi
ketidak-toleransian. Contoh ketika pemerintah masih saja toleran pada sejarah
masa lalu yang belum selesai dan tidak punya niat untuk meluruskan. Kita harus
sadar instrument toleransi adalah tentang manusia. Jika masalah kemanusiaan
saja kita belum selesai, ada baiknya kita perlu belajar lagi sebelum jauh
membicarakan persoalan toleransi.
Contoh
kasus ketika PKI dibubarkan tahun 65 dengan dalih kudetanya, sehingga militer
punya alasan kuat untuk turun tangan. Sejarah itu sampai saat ini belum
selesai. Dalam kasus itu kita sejenak melupakan sila kelima Pancasila; “Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Keadilan juga harus diberikan pada
mereka yang dituduh PKI dan divonis bersalah tanpa proses hukum yang sah.
Bahkan ada yang dihilangkan dan dibunuh. Sebelum membicarakan toleransi dan
kebhinekaan. Kita harus lebih dulu berdamai dengan masalah ini.
Belum
lagi kasus Mei 98 yang sampai saat ini belum selesai sehingga Kamis demi Kamis
dalam aksi Kamisan masih terus ada karena tidak adanya kejelasan dari kasus
ini. Keadilan harus tegak sebelum reaksi ideologis mengisi ruang-ruang
masyarakat yang akhirnya akan bisa mengguncang kondisi sosial-budaya kita. Kita
buntu untuk memahami konteks toleransi dan kebhinekaan karena kita masih terus
membicarakannya sebatas ucapan belum sampai sebagai pencerah perilaku dan dalam
pikiran sebagai ideologi.
Pengalaman
saya sebagai mahasiswa. Apakah kita boleh mentoleransi ketika ada teman kita
yang dengan kesadaran penuh tanpa pertimbangan matang, meminta tolong orang
lain untuk mengabsenkan dirinya alias titip absen. Apakah kita akan tetap diam
melihat praktek ini yang terus saja terjadi, seolah telah menjadi akar kita
yang pada akhirnya menciptakan mental-mental korup dan tidak mencerminkan nilai
Pancasila, artinya kita tidak bisa banyak berharap pada mereka yang melakukan
praktek ini tanpa rasa bersalah. Apalagi untuk percaya bahwa mereka toleran dan
memahami nilai Pancasila. Pendidikan kita menjadi gagal karena mental subjek
pendidikan itu sendiri.
Pancasila
adalah cita-cita. Seharusnya kita sedang mengarah ke tujuan cita-cita tersebut.
Ideologi ini harus menjadi kuat dan menjadi roda penggerak masyarakat kita yang
lokusnya memang sudah plural. Menjadi toleran adalah tentang untuk setuju pada
yang tidak setuju. Setuju mengapa perbedaan sangat kentara dan kasat oleh mata.
Radikalisme adalah musuh bersama. Kita adalah tatanan masyarakat yang seharusnya
damai sejak dalam pikiran.
Para
pemberani akan sukacita menerima keberagaman karena bagi para pemberani beragam
adalah aset. Bagi para pengecut mereka jelas akan menolaknya, karena baginya ideologi
terbaik adalah ideologi yang mereka anut. Ideologi seharusnya menambah banyak
kemungkinan ide, bukan menghentikannya dan menjadikannya berpikiran sempit dan
pendek.
Pada
akhirnya kita harus menyadari, bahwa tidak semua orang mampu memahami segala
sesuatu dengan baik, tidak semua orang mampu memahami lebih dama sampai ke
akarnya. Apalagi untuk konsep toleransi dan kebhinekaan yang begitu kompleksnya.
Pada akhirnya tetap aka nada Si Bodoh dan Si Pintar. Tapi dari semua itu, yang
paling berbahaya adalah ketika si bodoh tidak ingin dan tidak berniat untuk
belajar.
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar