Ruangan itu serba abu, minimalis dengan dekorasi yang sederhana.
Bohlam di atap ruangan ditata secara acak, membentuk bayangan sebuah kelopak
bunga yang memantul di lantai cokelat yang mengkilap. Aku baru saja datang,
pintu kaca yang kubuka berdecit, suaranya mengganggu telinga, membuat beberapa
orang menatapku singkat. Ada yang bilang, ruangan itu adalah tempat terbaik
untuk menenangkan diri dari hiruk pikuk kota yang makin gila. Aku duduk di
sebuah kursi bar dengan besi sebagai penyangga bantalan kayu tanpa sandaran.
Tempat itu dibagi menjadi empat bagian. Aku berada di ruangan pertama, ruangan
yang letaknya paling depan, berdekatan dengan pintu masuk. Ruangan untuk
orang-orang yang datang sendiri, terlihat dari kursi-kursi solo yang ditata
sejajar di depan bar. Ada dinding pembatas kaca yang memisahkan ruangan
itu dengan ruangan lainnya. Ada meja dan kursi panjang yang menghiasi ruangan
kedua, tempat yang biasa dipakai para eksekutif muda untuk meeting bersama
klien-klien mereka atau para mahasiswa yang mengerjakan tugas kuliah.
Ruangan ketiga ada di lantai dua. Tak ada kursi disana, hanya ada meja-meja dan
karpet untuk pengunjung yang ingin duduk bersila atau selonjor alias tanpa
kursi. Ruangan itu biasa dipakai untuk arisan keluarga, atau tempat
berkumpulnya berbagai komunitas di kota ini, ruangan paling luas di antara yang
lainnya. Ruangan keempat ada di lantai tiga, untuk berada disana kita perlu
menaiki tangga melingkar dengan 23 anak tangga. Ruangan terbuka dengan beberapa
meja berpayung untuk melindungi pengunjung dari panas matahari atau hujan.
Biasanya hanya para perokok yang ada di lantai tiga. Menghabiskan rokoknya lalu
kembali turun.
“Minum apa, Mas?” seorang barista yang sedang mengelap cangkir kopi menawariku.
Belum aku menjawabnya pintu terbuka, suara decitannya masih menggangu telinga.
Aku melihat samar-samar karena pantulan sinar matahari mengganggu pandanganku.
Seorang wanita memakai rok hitam selutut dan blus putih tanpa lengan membawa
tas hitam kecil berjalan mendekat lalu berdiri di sampingku, berbicara pada
barista yang sama.
“Mas biasa, ya,” kata wanita itu. Barista menjawabnya santai, seperti seorang
yang sudah saling kenal. Wanita itu kemudian meninggalkan bar, sempat tersenyum
menatapku. Aku melihatnya berlalu, berjalan melewati ruangan kedua, Kulitnya
yang putih terlihat dari lubang berbentuk oval di bawah leher pada blus putih
yang dipakainya. Wanita itu menuju ke lantai dua.
“Kenapa, Mas?” tanya barista itu sembari sibuk dengan mesin kopinya.
“Tadi siapa, Mas?” tanyaku.
“Oh… Saya sih nggak tahu namanya, tapi dia sering kesini sendiri. Suka duduk di
lantai tiga. Yaa… Jam-jam segini ini dia kesininya, dua atau tiga jam lagi baru
pulang.”
“Ohgitu…” kataku mengangguk pelan.
“Masnya jadi mau minum apa?”
“Samain aja deh, kayak mbaknya tadi.”
“Oke Siap!”
Rambut wanita itu dikuncir, hidungnya mancung, matanya kecokelatan, alisnya tak
digambar seperti kebanyakan wanita saat ini. Sekilas aku melihat tak ada make
up yang dipakai selain gincu merah yang menghiasi bibir tipisnya. Wajahnya
mengingatkanku pada Anna Hathaway dalam film One Day.
“Ini, Mas minumnya,” barista itu memberikan secangkir kopi.
“Itu biar saya yang bawa, ya. Saya juga mau sekalian ke atas.”
“Ohgitu? Oke. Silakan.”
Aku membawa nampan bundar dengan dua cangkir di atasnya, lalu bergegas menuju
ke lantai tiga. Wajahku terlihat dari air kopi di dalam cangkir, seperti sebuah
cermin. Aku sampai di lantai tiga, melihat wanita itu kebingungan, mungkin
karena aku yang membawa pesanannya. Wanita itu mengapit sebatang rokok di
sela-sela jarinya.
“Loh, kamu yang duduk di bawah tadi, kan?” tanya wanita itu, melihatku
meletakkan minuman di meja.
“Kenalin… Abraham,” kataku tersenyum, mengulurkan tangan.
“Renata,” wanita itu menjabat tanganku setelah menaruh batang rokok pada asbak
kayu. Aku melihat api pembakaran pada rokok itu setelah melepaskan jabat
tangannya.
“Kenapa? Baru kali ini lihat cewe ngerokok?”
“Ah
enggak,” kataku menggeleng pelan.
“Rokok?”
Renata mengangkat bungkus rokoknya, menawariku.
“Perokok
pasif,” senyumku, menolak.
“Ah,
I see… Bibirmu masih bersih,” Renata mengangguk pelan, menaruh kembali bungkus
rokoknya.
“Baru
kali ini aku lihat cewe pake rokok kretek.”
“Otentik,”
Renata mengangkat kedua alisnya, menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
Renata
melepas heelsnya, kedua kakinya bersandar pada penyangga meja. Aku melihatnya
tampak tenang, sesekali memainkan asap rokok yang keluar dari mulutnya. Aku
mencoba santai, memulai pembicaraan dan mencairkan suasana.
“Eh,
ini nggak diracuni, kan?” Renata mengangkat cangkirnya, menatapku curiga, lalu
meminumnya. Menunggu beberapa saat.
“Aman,”
senyum Renata menaruh cangkirnya.
“Aku
bukan Jessica,” kataku membuat Renata terkekeh.
“So,
Abraham. Apa yang membawamu kemari?”
“Well…
Aku bisa pergi kalo keberadaanku tidak diinginkan,” kataku setengah berdiri.
“No…
Jangan buru-buru,” Renata menahanku.
“Oke,”
senyumku, kembali duduk. Renata menghisap rokoknya hingga habis, lalu
mematikannya—menekan di asbak.
“Catet
nomormu,” Renata memberikan ponselnya.
“Ha?
Harusnya ini jadi langkah ketiga.”
“Enggak
juga, kita bisa taruh ini di langkah pertama. Sebelum kita masuk ke langkah
berikutnya. Aku nggak mau kamu pergi tanpa meninggalkan apa-apa,” Aku mencatat
nomorku, lalu mengembalikkan ponselnya. Beberapa saat kemudian ponselku
berdering.
“Itu
aku,” kata Renata saat aku membuka ponselku.
“Oke,
saved,” senyumku. Renata menatapku, kami saling tatap untuk beberapa saat. Lalu
aku meminum kopi untuk menghilangkan kecanggungan.
Ada
yang tak biasa dari wanita yang duduk di depanku. Dia dengan mudahnya memikat
hatiku dalam hitungan singkat. Tak perlu banyak hal yang dilakukan. Renata
hanya melakukan satu hal yang tak dilakukan kebanyakan wanita saat ini. Renata
berani memulai, dia percaya bahwa kami ada dalam satu meja yang sama bukan
karena kebetulan, tapi karena mekanisme alam yang sudah ditentukan dari awal
terbentuknya kehidupan di dunia. Hal yang tak pernah disadari banyak orang
terutama wanita.
Dalam
sebuah pertemuan seperti ini, biasanya aku membagi dalam tiga fragmen. Langkah
pertama, berkenalan. Langkah kedua, saling mengenal. Langkah ketiga, adalah
langkah yang bercabang. Ada banyak langkah lagi disana, ada banyak hal yang
harus dilakukan sebelum akhir. Biasanya orang-orang putus asa di langkah ketiga
ini. Langkah ketiga adalah keberadaan. Siapa berada dimana, siapa sebagai apa,
dan siapa menjadi apa.
“Kebetulan
aku sedang riset untuk tulisan terbaruku. Kamu bisa bantu?”
“Oh,
kamu penulis? Boleh-boleh. Apa yang bisa aku bantu?” ujar Renata, terkejut.
“Aku
mau tanya. Kamu cuma perlu jawab jujur, jangan dibuat-buat.”
“Oke,”
Renata mengambil batang rokok, lalu menyalakannya dengan korek gas berwarna
putih.
“Kenapa
kamu harus besikap seperti sekarang sebagai seorang wanita?”
“Hmm…
Pertanyaanmu… Well… Banyak dari kita yang merasa nggak sakit, padahal semua
manusia adalah makhluk yang kesakitan dan butuh obat… Aku tahu arah
pertanyaanmu kemana. Dan sebenarnya pun, aku nggak perlu jawab kamu pasti tahu
jawabanku.”
“Nggak
sepenuhnya. Membaca pikiran orang nggak diartikan sebagai membaca otak manusia.
Kita membaca gerak-geriknya, nada bicaranya, mimik mukanya, raut wajahnya,
intonasinya, caranya berbicara, caranya menatap… Dan aku melihat, kamu baru
saja mengalami hal yang nggak mengenakkan buatmu.”
“Aku
melihat itu juga lewat matamu,” Renata menghisap rokoknya.
“Well…
Pertemuan kita sudah ada yang mengatur. Sekarang terserah kita, mau saling
terbuka atau tetap tertutup—menahan diri,” kataku, meyakinkan Renata.
“Menurutku,
orang yang patah hati persis seperti orang yang fisiknya sakit. Butuh obat
untuk menyenmbuhkan sakit hatinya… Obatnya orang lain. Sialnya, banyak orang
menyebut itu pelampiasan, padahal sebenarnya bukan. Kita secara alamiah bakal
mendekat ke orang lain untuk bisa mengobati perasaan itu. Makanya ketika kita
tahu bahwa orang itu dirasa nggak bisa mengobati kita, kita cenderung mundur
perlahan, terus mengulangi sampai kita ketemu sama orang yang bisa mengobati
kita.”
“Dan
yang bisa membuat kita kembali nyaman,” kataku menambahi.
“Betul,”
Renata mengangguk.
“Menurutmu,
kenyamanan itu datang sendiri atau diciptakan?”
“Diciptakan,
dong,” kata Renata setelah menghisap rokoknya.
“Oke,
kalo kenyamanan diciptakan, berarti nggak perlu dong kita punya tipe cewek atau
cowok yang pantes jadi pasangan kita. Toh, rasa nyaman itu kan yang
menciptakan dua orang yang menjalin hubungan.”
“Aku
kurang setuju. Tiap orang punya perbedaan pilihan dalam hal apapun. Ya…
Karena hidup ini permainan pilihan, kita tetap perlu memilih siapa yang memang
cocok untuk kita.”
“Oke,
kalo tipe cowomu?”
“Baik,
pastinya. Fisik relatif, lah. Yang paling penting mau berkomitmen… Kamu?”
“Aku?
Aku suka perempuan yang terbuka hati dan pikirannya.”
“Maksudnya?”
tanya Renata, penasaran. Jari-jarinya yang mengapit batang rokok berada di
samping telinga.
“Terbuka
hatinya, dia bisa bedain mana yang baik dan buruk. Mana yang harus dia ladeni
dan enggak. Intinya dia tahu, dia harus apa untuk dirinya sendiri,
lingkungannya dan orang lain… Terbuka pikirannya, dia nafsu sama ilmu
pengetahuan sama hal-hal baru yang belum pernah dia pelajari, itu yang bisa
bikin jadi asik ngobrol, lalu kenyamanan datang setelahnya.”
“Fisik?”
tanya Renata, memastikan.
“Aku
cari pasangan hidup, bukan pelacur yang sekali pakai atau artefak langka buat
dipajang. Kita nggak boleh mendiskreditkan sesuatu yang nggak bisa diubah
manusia. Kasihan orang-orang yang terlahir dengan kekurangan di tubuhnya.”
“Tapi
kamu selalu berdoa untuk yang terbaik buat kamu, kan?”
“Itu
pasti,” senyumku, lalu meminum kopi.
“Aku
mau tanya… Dalam masalah cinta, apa yang nggak mengenakkan buatmu?” tanya
Renata setelah aku selesai meminum kopi.
“Banyak
orang meminta dicintai tapi nggak mau mencintai. Banyak orang mengeluh karena
cintanya tak terbalas, padahal disaat bersamaan ada orang lain yang
mencintainya tanpa berharap dicintai. Seharusnya kita belajar untuk mencintai
orang yang mencintai kita, bukan sebaliknya. Cinta itu perkara proses
bertumbuh. Harus tumbuh bareng-bareng, nggak bisa salah satunya, jadinya
pincang.”
“Pengalaman
banget, yaa?” Renata terkekeh. Aku setengah tertawa.
“Itu
yang akhirnya bikin banyak orang memilih menunggu, entah sampai kapan yang
akhirnya dilupakan dan dianggap nggak ada. Nggak ada yang lebih menyakitkan
dari terlupakan.”
“Aku
paham maksudmu, aku juga pernah ngerasain, dan yang kamu maksud itu, memang
lebih sering dilakukan cewe-cewe yang nggak pernah mau dewasa dalam menjalin
hubungan,” Renata menambahi, aku mengangguk.
“Kalo
kamu?” tanyaku.
“Aku
mengutip omongan orang lain boleh?”
“Boleh
dong, barusan juga ada omongan orang yang aku kutip,” kataku menatap Renata.
“Tidak
ada yang menyakitkan daripada mencintai seseorang yang bahkan nggak pernah
menganggap kita ada, padahal kita selalu ada di sampingya.”
“Pengalaman
banget, yaa?” balasku terkekeh. Renata setengah tertawa.
“Aku
mau tanya lagi, tapi kamu harus objektif, yaa.”
“Kok
jadi kamu, sih yang banyak tanya?” keluhku.
“Boleh,
nggak?” Renata menggodaku.
“Fine.
Aku selalu objektif melihat segala sesuatu.”
“Oke.
Menurutmu, kenapa cewe lebih sering dicauhkan? Lebih sering disia-siain?”
“Kenapa?
Hmm… Karena banyak pria cenderung meninggalkan sesuatu setelah mendapatkan apa
yang dia mau. Dia jadi nggak ada ikatan lagi… Jadi jangan buru-buru memberikan
sesuatu yang diinginkan pria, kecuali sudah ada komitmen, kecuali kalo keduanya
nggak mempermasalahkan, dan sama-sama mau.”
“Cowo
gampang bosen, yaa?”
“Nah,
itu ungkapan yang salah. Sebetulnya, justru cewe yang cepet bosen. Iya, kan?”
“Iya
sih, aku ngerasainnya gitu,” Renata menghisap rokoknya, lalu mematikannya.
“Makanya,
cari pasangan yang seimbang.”
“Yaa,
I know… Kita seimbang, btw,” Renata menatapku, aku tersenyum membalasnya.
Biasanya,
langkah kedua bisa dilewati saat keduanya sudah saling terbuka hati dan
pikirannya, tak memberi batas apa pun pada semua kemungkinan yang masuk
kedunianya. Renata dan Abraham sama-sama membiarkan satu sama lain masuk, untuk
bisa mengobati rasa sakitnya. Perkara apa yang harus dilakukan selanjutnya tak
perlu dipikirkan sendiri, karena cinta adalah proses bertumbuh.
Banyak
orang tidak bisa membedakan antara cinta dan jatuh cinta, keduanya berbeda. Apa
yang dirasakan Renata dan Abraham bukanlah cinta, mereka baru merasakan jatuh
cinta, ketika keduanya saling menerima, barulah cinta tumbuh setelahnya.
Perasaan yang datang sebelum jatuh cinta adalah rasa penasaran. Rasa itu keluar
secara alamiah yang pelan-pelan bertanya pada diri sendiri bagaimana
kelanjutannya. Tapi, banyak orang yang tidak bisa membedakan mana penasaran
mana jatuh cinta. Maklum, kadang cinta jatuh pada orang-orang bodoh.
“Well…
Bisa dibilang kita sudah ada di langkah ketiga. Kita mau apa?” tanyaku,
memberanikan diri.
“Baru
kali ini, aku ketemu orang gila kayak kamu,” Renata menatapku tajam.
“Sama,
baru kali ini aku ketemu perempuan kayak kamu.”
“Kamu
perlu tahu, aku capek sama perpisahan. Percuma sekuat tenaga menjaga hubungan
tapi akhirnya kandas, pisah, dikhianati,” keluh Renata.
“Sama,
aku juga capek.”
“Ih
serius, ah. Jangan bercanda.”
“Aku
juga serius… Kamu tahu nggak? Ada hubungan yang nggak akan berakhir perpisahan.”
“Aku
tahu itu,” Renata tersenyum.
“Jadi?”
tanyaku menatap Renata, wajahku mendekat, persis seperti seorang yang penasaran.
“Kita
bangun fragmen ketiga kita bareng-bareng. Tutup semua percabangannya, bikin
jadi satu jalur, dimana cuma ada kita yang ada di situ… Tapi tanpa ikatan,
karena ikatan justru membatasi kita. Deal?” wajah Renata ikut mendekat, aku
hanya mengangguk.
Kening
dan ujung hidung kami menempel, aku bisa melihat Renata yang tersenyum, melihat
matanya berkedip berulang kali, merasakan debar jantungnya berdebar lebih
cepat, detik berikutnya bibir kami bertemu, lembut tanpa tergesa-gesa.
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar