Harus
diakui, orang-orang berani seperti Si Bajingan Ahok pada akhirnya akan
menyerah. Keberanian & kejujurannya dibungkam, membuatnya akan diam setelah
ini. Persis seperti saya, saat harus menghadapi sidang dan diancam dikeluarkan
dari sekolah empat hari sebelum Ujian Nasional.
Ya,
dalam sejarahnya saat hanya ada satu orang yang berani bicara dan bertindak
sesuai hati nuraninya, pada akhirnya mereka hilang, dibunuh, dipenjarakan. Yang
lainnya sekarat! Melindungi diri sendiri, belagak tak terjadi apa-apa.
Munir dibunuh, Marsinah dibunuh, Pramoedya Ananta Toer dipenjarakan, Wiji
Thukul dihilangkan.
Harus
diakui, kita tidak lebih baik dari Si Bajingan Ahok ini. Negara ini telah di
desain untuk membuat orang-orang seperti saya sakit hati. Setiap saat, setiap
waktu, setiap detik.
Kesadaran memang selalu datang terlambat. Kini, kita semua tahu bahwa diam
bukan pilihan yang tepat, bukan yang terbaik yang bisa dilakukan. Ahok adalah
anomali dalam dunia politik di Indonesia. Dia menentang segela bentuk
ketidakadilan di masyarakat. Tapi, kebaikannya dibalas dengan hukuman penjara
dua tahun yang cacat hukum.
Kunci
memenjarakan orang atas dasar penodaan agama hanya satu: Jumlah dan tekanan
massa. Kita ambil contoh; Kasus HB Jasin saat menulis “Cerpen Langit Makin Mendung,”
atau Aswendo Atmowiloto ditahun 1990. Dua orang ini dilaporkan oleh kelompok
massa salah satu agama di negeri ini, dan tekanan di pengadilan membuat mereka
harus dipenjara untuk mendamaikan atau menenangkan pelapor. Keadilan
dikorbankan untuk mendamaikan segelintir kelompok. Persis saat sidang putusan
Ahok.
Sejak
1968 saya mencatat ada 37 nama yang dipenjara karena kasus ini, yang hukum
penjeratnya tidak jelas dan sangat lentur. Kepercayaan yang menyatakan penodaan
agama sering dipakai oleh kelompok-kelompok ekstrimis dan radikal untuk
membungkam debat-debat atau pandangan kritis terhadap keagamaan. Bahkan di
Eropa salah satu film berjudul, Das Liebeskonzil (The Council Of Heaven) dicap
merupakan bentuk penodaan agama sebagai tindak pidana pasal 188 KUHP Austria.
Mari
kembali pada Ahok, saat pidato di Kepulauan Seribu. Apakah Ahok menyinggung
Al-Maidah atau menyinggung pejabat-pejabat culas yang bertopeng. Ini pentingnya
belajar bahasa, bahkan saya hanya perlu tiga kalimat itu untuk memutuskan Ahok sedang
membicarakan manusia sebagai objek kalimat atau ayat. Sangat mudah
membedakannya, sangat mudah mengetahuinya. Hanya saja kita yang tidak bisa
bersifat objektif. Tidak adil, tidak benar.
Perubahan
selalu butuh tumbal. Harus ada yang berkorban atau dikorbankan. Ahok telah
melakukannya dengan suka cita, tak ada raut kesedihan yang terlihat, meski kita
tahu saat mata kamera tak menyorotnya kesedihan dan kekecewaan yang mendalam
sedang dialaminya. Kita perlu bergerak menuju perubahan baru, jangan lagi diam.
Buat perubahan semampumu. Aku memilih menulis untuk membuat perbedaan di tengah
masyarakat.
Harapan
harus tetap ditegakkan meski kita sedang berada di titik terendah hidup. Tuhan
tidak diam, dia selalu ada dan kebenaran tidak pernah diam. Indonesia sedang
mendewasakan diri, saat inilah kita perlu bersama-sama ikut mendewasakan
pemahaman kita, tentang politik, keberagaman bahkan agama sekalipun. Kita hidup
di zaman non universal truths, membuat kebaikan tak selalu mutlak. Kita tidak
bisa bilang lagi bahwa semua orang baik dan mengajarkan kebaikan. Mari ambil
sikap, ketahui nilaimu. Apa yang sudah kamu lakukan.
Saya
hanya takut, kasus ini berimbas pada generasi berikutnya yang mulai sangat
rentan diserang dan dicuci otaknya. Mereka akan berpikir bahwa jangan membuat
perbuahan seperti yang dilakukan Ahok. Sang Gubernur yang dipenjara bukan
karena korupsi, bukan karena dia melukai kepercayaan rakyat, bukan karena
berkhianat pada janjinya. Tapi karena tekanan massa yang sebetulnya tak tahu
apa-apa. Kesalahan yang terjadi pada generasi berikutnya adalah tanggung jawab
kita yang hidup di generasi sebelumnya.
Untuk
kalian yang biasa mengungkapkan kebenaran meski jadi bullyan kaum mayoritas
atau radikal, jangan berhenti menyebar kebaikan dan kebenaran. Jangan takut, jangan
biarkan negara ini dikuasai oleh individu-individu congkak yang seenakya
sendiri ingin mengubah semuanya yang telah disepakati sejak dulu. Mempelajari
agama memang baik, tapi bukan justru menjadikanmu manusia yang tidak baik.
Baru
kali ini saya merasakan sakit hati yang paling dalam. Mengetahui negara ini
sedang diperebutkan oleh banyak kepentingan, saya kecewa, kejujuran tidak lebih
bernilai dari apapun. Percayalah! Kita tidak lebih baik dari Si Bajingan Ahok. Politik
murni memang bikin sakit hati, dia tidak pernah benar-benar membela keadilan.
Selalu ada kepentingan setelahnya. Saya takut, setelah ini akan ada Ahok – Ahok
lain yang diserang, dikerdilkan, dan akhirnya menyisakan orang-orang jahat
untuk bekiprah di dunia politik.
Vonis
dua tahun penjara bahkan lebih berat dari tuntutan jaksa yang menuntut satu
tahun penjara, hal yang langka ketika hakim justru memberatkan bukan
meringankan untuk peradilan yang tak bisa membuktikan secara hukum, hanya
asumsi di atas asumsi. Banyak orang mencoba membunuh Ahok, menyingkirkannya
karena takut Ahok bisa menjadi gangguan bagi kaumnya.
Dengan
sangat mudahnya kita digiring dengan isu dan opini yang tak jelas sangkut
pautnya, isu ini merusak akal sehat. Kita perlu memahami dan berpikir jernih
apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mari kita hitung, sudah berapa percobaan
yang digunakkan untuk menyingkirkan Ahok? Sudah berapa kali fitnah yang
dilontarkan untuk Jokowi? Harusnya kita jadi tahu siapa lawan kita sebenarnya.
Agama
memang sangat sensitif, itu yang membuatnya bisa sangat mudah dibungkus dengan
sesuatu yang batil. Ketegangan religius dieskploitasi untuk memenuhi tuntutan
politik, memecah masyarakat berdasarkan identitas hanya untuk kemenangan
elektoral saja. Negara yang majemuk ini sedang diuji. Tuhan sedang menguji
kita, seberapa hebat dan kuatnya kita bisa menghadapinya. Jangan pesimis dulu,
selalu ada celah. People Power adalah jawaban.
Percayalah
Pak Ahok, saya pernah memperjuangkan kebenaran, melawan segala bentuk
ketidakadilan, saya diancam, mental saya diuji, ditinggalkan orang-orang karena
takut ikut menjadi korban. Saya ada di barisanmu, mengetahui perasaanmu saat
ini. Saya sudah berusaha untuk berjuang melalui tulisan-tulisan saya, namun
tetap saja ada yang tidak suka. Mereka-mereka ini selalu ada, Pak. Kita cuma
perlu kuat, sabar, dan tabah. Ada saatnya yang pernah berdiri paling depan untuk
mundur, diam, dan istirahat. Biarkan masyarakatmu yang melanjutkan perjuangan
lewat cara-caranya sendiri. Saya menangis menulis ini. Saya yakin Tuhan sedang
bersamaku saat ini. Seperti perlindungannya padamu setiap saat. Terima Kasih,
Pak.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar