Hari
ini hujan turun lagi, aku tak bisa mendengar suaramu diantara rintik air yang
jatuh menerpa atap rumah. Dini hari ini aku masih ingin kau temani, mata ini
begitu berat, terbebani rutinitas sehari-hari, tapi rasanya enggan menutup.
Biarkan sekali lagi aku membayangkanmu dalam rintik hujan yang labil, mengikuti
suasana hatiku saat ini. Aku seperti merasakan tertidur di sampingmu dengan kamu
yang mengelus lembut pipiku. Dalam satu ranjang dan bantal yang sama napas kita
bertabrakkan. Sesekali aku memejamkan mata, mencoba mengusir semua keinginan
yang terlanjur lewat dalam kepala.
Dini
hari ini, kamu menceritakan harimu yang cukup melelahkan, aku mendengar suaramu
yang bergetar, menahan tangis yang terus mengikat. Hujan dini hari ini
benar-benar menyamarkan tetes air matamu. Sekali lagi, senyum kita bertemu
hingga bibir kita tak lagi berjarak. Kita terdiam, merasakan kedekatan yang
tercipta begitu sederhana, aku memelukmu, menghangatkanmu melebihi selimut-selimut itu. Kedua tanganmu menyentuh leherku, menghangatkanku. Aku
mengelus punggungmu, kita masih terdiam, tersenyum dalam bibir yang tak
berjarak. Akhirnya kita tertidur, menikmati semua keinginan dalam mimpi.
“Temani
aku,” katamu yang tertidur di rongga dadaku. Merasakan debar jantung yang
seirama. Kamu tertawa melihat bulu kuduk di tanganku berdiri.
"Kamu
tak pernah tahu rasanya bulu kuduk berdiri karena kehangatan yang diberikan
seorang wanita. Ini semua karenamu," kataku mengelak.
"Kamu
juga nggak tahu rasanya menahan nafsu. Menunggu prianya memulai dulu," balasmu.
“Aku
memang bodoh dalam urusan ini. Tapi aku mencitaimu yang sederhana dalam
berkata,” kataku menatapmu yang tersenyum.
“Jangan
main tangan,” kataku.
“Kenapa??”
balasmu dengan suara pelan.
“Bahaya,”
godaku menahan tanganmu.
“Aku
kira kamu suka yang bahaya.”
Aku
tersenyum, sekali lagi. Mencium semerbak wangi rambutmu. Kamu selalu bisa
membuatku kehabisan kata.
“Kalo
dijadiin cerita bagus ya??”
“Iya
bagus,” kataku.
“Semenjak
kamu masukin namaku di ceritamu, aku selalu membayangkan kalo tokoh utamanya
itu kamu.”
“Kenapa
gitu??” tanyaku.
“Aku
lebih merasa bahagia, aku seperti hidup bersamamu.”
“Aku
memang bisa membahagiakan kekasih orang.”
Hujan,
begitukah rindu diciptakan?? Seperti dinding yang memisahkan dua tempat, begitu
beratkah seorang perlu menanggungnya. Apakah dua manusia yang belum pernah
bertemu boleh saling merindu?? Aku bertanya, suaramu menyamarkan suaranya di
bilik ponselku. Bahkan kita berdua tak ingin menutup ruang obrolan, menunggu
siapa dulu yang akan membalas, menunggu suara notifikasi.
“Aku
senang kamu nggak bisa tidur. Puisimu bagus, Aku suka. Banget,” katamu.
“Aku
senang Jerman belum larut,” kataku.
“Untung
aku lagi jauh disini.”
“Emang
kenapa??” tanyaku.
“Serius
kamu tanya itu??”
“Aku
sedang menggodamu.”
“Kamu
berhasil menggodaku,” katamu tersenyum.
Pagi
hampir saja tiba, subuh mulai berkumandang, rintik hujan masih turun, aku
mendengarnya terus menerpa atap rumah. Aku tahu kamu belum tidur. Aku tahu kamu
masih tersenyum membaca ini. Aku tahu kamu ingin terus melihatku membalas semua
pesanmu. Baru kali ini aku melewati dini hari bersamamu, orang yang bahkan tak
pernah ada dalam pandanganku. Aku tak pernah ragu atau risau, meski kita jauh,
aku tetap merasa dekat. Bukankah begitu makna rasa diciptakan?? Untuk
menjauhkan yang dekat.
“Terimalah,
perasaanmu tidak pernah salah. Dimana dia disentuh disitu dia luluh,” kataku.
“Setiap
malam aku selalu berpikir, mana yang benar, dan mana yang salah. tidak memulai
percakapan adalah sesuatu yang benar. Karena setelah itu, semua akan jadi
salah. Tapi apa daya, aku manusia biasa, yang akhirnya kalah dan salah.”
“Sayangnya
ini bukan soal benar atau salah. Kalah atau menang. Ini soal pilihan dimana
kemungkinan ada diantaranya. Memilih salah satunya tanpa meninggalkan lainnya,”
balasku.
“Aku
bingung mau jawab apa,” katamu pasrah.
“Satu
dua tiga. Satu hal yg terbesit dipikiranmu sekarang. Jawab!”
“Ich
will dich.”
“Itu
bercanda kok,” katamu menambahi.
“Ich
auch,” balasku.
“Yang
ini nggak bercanda,” kataku menambahi.
“Du
hast diese Dinge schwerer gemacht... Für mich,” balasmu.
“Ich
habe dich nicht belasten belasten... Du hast die Wahl,” jawabku.
“Giliran
kamu, Satu dua tiga. Satu hal yg terbesit dipikiranmu sekarang. Jawab!” katamu
menantangku.
“Auf
dich warten.”
“Aku
bakal lama,” katamu setengah merenung.
“Lama
atau jauh, kita perlu membuktikan, perasaanmu sekarang cuma karena kamu bosan
atau apa. Lambat laun, kita bakal tahu. Kamu bakal tahu, mungkin kamu cuma lagi
bosen, cuma penasaran.”
“Aku
selalu memikirkan kemungkinan itu.. Sekarang aku gak tahu.”
“Jauh
kalo tetap merasa dekat nggak pernah ada masalah buatku. Kita sama-sama menemukan
kenyamanan yang selama ini kita cari.”
“Jadi
mau apa kita setelah ini??” tanyamu.
“Aku
nggak punya jawaban untuk itu.”
Hujan
berhenti. Tepat pukul enam pagi aku menutup ponselku. Cuaca berubah cerah. Saat
aku melanjutkan rutinitas sehari-hari, kamu baru akan pergi tidur, melanjutkan
mimpiku, melanjutkan kisah kita yang tertunda beberapa waktu. Semoga yang telah
lama memelihara hatimu kalah oleh aku yang baru masuk duniamu. Semoga…
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar