Aku
masih ingat ketika pertama kali kamu mengajakku pergi. Semua terjadi sekelebat,
begitu cepat, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa kamu adalah orang itu. Orang
yang membuatku menanti di gerbang pergantian. Dalam bias aku mencoba tenang,
tidak gegabah menghadapi penantian yang telah habis. Aku tidak ingin hal yang
sebelumnya terjadi terulang lagi ketika bersamamu. Aku tidak bisa menahan
diriku untuk sabar dan bermain aman, seperti pria yang lain. Kamu selalu jadi
hantu yang tidak bisa hilang dari setiap mimpiku. Bahkan jauh sebelum pertemuan
itu. Aku selalu kalah oleh tatapanmu, selalu mabuk oleh senyumanmu. Bahkan aku
mengerti bahwa sebenarnya aku hanyalah pelarian ketika raga dan jiwamu
dipertanyakan oleh sang empunya hatimu.
“Sudah
pukul tujuh, mau kemana lagi kita?”
“Kenapa
kamu terus menanyakan hal yang sama?”
“Maaf.”
“Aku cuma
mau disini, duduk bersamamu, memeluk tubuhmu sambil melihat deretan kapal yang
terparkir rapih.”
“Kita
sudah hampir tiga jam disini.”
“Oh,
ayolah terus kenapa kalau kita sudah tiga jam di sini?”
“Aku
belum menciummu.”
“Aku
tahu. So, let me kiss you.”
Ciumannya
malam itu membuatku menginginkannya lagi, meski aku hanya dijadikannya pelarian
sesaat, dia terlalu neurotik untukku, bibirnya selalu basah setiap bibirku
melumatnya. Matanya terpejam, tapi selalu terhenti ketika dia teringat kekasihnya.
Rasanya aku Ingin bunuh diri ketika itu terjadi, Aku ada untuknya tapi dia
tidak benar-benar ada untukku. Aku bosan mendengar ceritanya tentang pria itu. Aku
bosan selalu berpura-pura tertarik dengan ceritanya.
“Berhenti
menceritakan pria itu.”
“Kenapa?”
“Karena
kamu tidak benar-benar mencintainya.”
“Aku
mencintainya!”
“Kalau
kamu cinta sama pria itu, harusnya kamu nggak ada disini. Harusnya bukan aku
yang duduk di depanmu, sekarang.”
“Jangan
buatku menangis, aku nggak sekuat kamu.”
“I’m
Sorry. Please, jangan menangis disini.”
“Aku
ingin menangis, antarkan aku ke tempat, dimana aku bisa bebas menangis.”
“Nggak
perlu jauh-jauh.”
“Di
mana?”
“Aku
punya dua pundak, dua-duanya rela basah menampung air matamu.”
Kesadaranku
hilang malam itu, dua jam dia menangis di pundakku. Pundakku berubah hangat
karena air matanya. Aku tidak tega melihatmu menatapku dengan liangan air mata
yang tersisa di matamu, membasahi hingga pipi dan bibirmu. Aku selalu ingin
memelukmu, menciummu, menghangatkanmu, tapi untuk hal itu kesadaranku masih
terjaga. Aku tidak mungkin melakukan itu untukmu, tidak mungkin. Kamu milik
orang lain, sampai hubunganmu membaik, aku hanya akan menerima tangisanmu dan
ceritamu yang tidak pernah berguna untukku.
“Dia
kembali. Aku bisa merasakan kasih sayangnya lagi.”
“Aku
turut bahagia, mendengarnya.”
“Terimakasih
sudah bersedia mendengarkan ceritaku.”
“Sama-sama,
terimakasih juga sudah membasahi pundakku.”
“Terimaksih
juga karena kamu bersedia menemaniku dan menampung tangisanku.”
“Sama-sama”
Sungguh?
Itukah akhir? Dia pergi, kembali bersama sang empunya hati. Tidak berbalik lagi?
Menganggapku sekedar pelarian. Aku pernah menciumnya, kita pernah berciuman,
ini terasa aneh, Aneh. Aku ingin dia kembali, aku rindu mendengar suaranya,
pundakku rindu dibasahi oleh air matanya. Aku mengharap terlalu dini, mengira
semua yang aku lakukan sudah membuat perhatiannya teralihkan untukku. Sekarang,
aku sendiri, berdiri diantara buaian bintang. Aku menatapmu dari pinggir
dermaga. Menyesali, harusnya, malam ini milik kita berdua. Aku terlalu
buru-buru jatuh cinta padamu. Terlalu bodoh untuk berharap bahwa kamu juga
mencintaiku. Cintaku sudah lewat dan bayangan harapan yang penuh kegembiraan
sudah tidak ada lagi.
Kamu
meninggalkanku, aku sadar kamu tidak akan kembali. Sekedar berbicarapun agaknya
juga tidak mungkin, melihat matamu dan senyummu adalah hal yang mustahil. Aku
sadar, aku terlalu cepat jatuh cinta. Terlalu bodoh untuk mencintaimu dan
terlalu berharap kamu mencintaiku. Semuanya serba terlalu. Aku berjanji akan
selalu menantimu di gerbang pergantian, meski kamu tidak akan datang. Izinkan
aku mendengar suaramu, aku ingin berbisik di telingamu dan berkata, bahwa aku
menikmati keterlaluanku dalam mencintaimu.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar