Aku
menyadari, keputusanku melepas Laura adalah keputusan terburuk yang pernah ku
hadapi selama hidupku. Kesadaran yang datang terlambat telah membuatku merasa jadi
manusia paling bodoh. Aku masih duduk kaku, bingung, salah tingkah. Laura duduk
di depanku dengan senyum yang terasa neurotik bagiku. Perpaduan tatapan dan senyumnya
berhasil meluluhkanku, mematahkan amarah yang batal tersampaikan.
Menyadari
kesalahan terbesar yang telah ku perbuat sendiri justru membuatku semakin
tersakiti, bukan karena perbuatan orang lain. Tapi, karena perbuatanku sendiri.
Aku tak pernah bisa berpikir jernih setelah kejadian itu, aku selalu teringat kenangan
bersama Laura, dan itu menyakitkan. Meskipun kenangan kita jauh dari rasa
menyakitkan.
Malam
ini kita tak semeja berdua, Laura mengajak sahabatku, Alva.
“Nat?”
“Nathan!?”
“Eh
iya, sorry-sorry. Kenapa, Laura?”
“Kok
bengong?”
“Enggak
kok, Cuma mikirin bisnis aja.” Aku benci berbohong.
“Oh
iya, Nat. Gimana bisnis kontraktor barumu?” Tanya Alva.
“Lancar,
ada beberapa pekerjaan baru tahun depan.” Aku tersenyum. Senyum seorang sahabat.
“Wauw,
tambah sukses dong kamu, Nat” Laura menambahi.
“Ya...
bisa dibilang gitu. Kalo kamu gimana Laura?”
“Kami
sudah resmi berpacaran, Nat” Jawab Alva, Laura tersenyum menatapku.
Apa
yang barusan terjadi? Aku seperti ditimpa beban yang paling berat. Kalimat itu mengacaukanku,
membuat isi otak berputar-putar entah kemana. Ini terlalu cepat, aku baru
dua bulan berpisah dengan Laura, itupun bukan karena kita sudah tak saling mencintai.
Kami sepakat untuk berhenti saling menyakiti, status membuat semuanya jadi
tidak mudah. Ada batas yang tak boleh kita lewati. Ada jarak yang tak boleh terlampau
jauh. Ada dua perasaan yang juga tak mudah untuk dijaga.
“Oh wauw,
selamat ya. Alva—Laura.”
“Terimakasih,
Nathan” Jawab Laura.
Makanan
yang kami pesan datang, Laura dan Alva memesan makanan yang sama. Makanan yang
sering aku dan Laura makan saat masih bersama dulu. Dan kini Laura menikmatnya
bersama orang lain, tepat di depanku dan Ini menyakitkan, sangat.
“Nat?”
Tanya Alva.
“Ya?”
“Kamu
tidak marah?”
“Marah?
Untuk apa?”
“Kita
berpacaran?”
“Kamu
lucu, Va. Aku bahagia kalau sahabatku bahagia, apalagi kalau Laura bahagia” Aku
tersenyum, Laura membalas senyumku.
Percakapan
ini hanya membuang waktuku saja. Tapi, aku juga tidak mungkin pergi meninggalkan
mereka. Laura bisa menganggapku cemburu. Kalau itu terjadi Laura akan menang,
membuatku menyesal telah meninggalkannya.
“Nat?”
“Iya
Laura?”
“Aku
tahu ini susah untukmu, aku tidak bermaksud mentyakitimu.”
“Tenang
aja, Laura. Kita memang harus bisa menerima satu sama lain, bukan untuk kita
yang
dulu. Tapi, untuk kita yang sekarang.”
“You’re
my bro. Nat” Balas Alva.
“Kita
berteman sejak kecil, rasanya munafik pertemanan kita hancur hanya karena salah
satu dari kita mencoba membuka hati untuk orang lain” Alva dan Laura menatapku.
“Aku
selalu suka setiap jawabanmu. Nat” Laura
tersenyum.
Aku
tak perlu panik, apalagi khawatir. Mereka berdua hanya berpacaran. Laura bukan perempuan
yang bisa diajak serius ke jenjang yang lebih luas, seperti pernikahan. Dia menolak
ketika aku melamarnya ketika kami berlibur di Bali. Handphone Alva berdering,
dia meminta izin untuk menerima panggilan itu. Laura menyentuh tanganku ketika
Alva sudah cukup jauh dari meja kami.
“I’m
Sorry, Nathan” Tangan Laura memegang tanganku.
“Tidak
ada yang perlu dimaafkan, Laura. Kamu tidak salah.”
“Kamu
bohong.”
“Kamu
sok tahu, Laura.”
“Aku
kenal betul sama kamu, Nat. Kita udah sama-sama hampir tiga tahun.”
“Oke,
oke, Fine!!” aku melepaskan gengaman tangan Laura. “Ini yang mau kamu kasih ke
aku, setelah tiga tahun kita berpacaran? Perempuan macam apa kamu ini?”
“I’m
Sorry, Nathan. Aku dan Alva akan bertunangan. Alva sudah melamarku.”
“What?
Tapi, dulu.....”
“Aku
minta maaf, Nathan.”
“Kamu
membunuh kepercayaanku terhadapmu kurang dari satu menit, Laura. Lidahmu sungguh
tajam. Perempuan macam apa kamu ini?? Aku bisa terima kalau kamu menikah dengan
orang lain. Tapi ini..... Alva, sahabatku sendiri, teman kita sejak kecil.”
“Memang
apa masalahnya?” tanya Laura.
“Apa
masalahnya? Kamu masih tanya? Kamu menyakitiku bertubi-tubi detik ini. Aku tidak
mungkin meluapkan emosiku di depan Alva. Kamu justu memancingku, bahkan di saat
Alva tidak ada di sini.”
“Maafin
aku, Nathan.”
“Perempuan
macam apa kamu ini, Laura.”
“Ikhlaskan,
Nat.” Laura menggenggam tanganku. Aku melepaskannya.
“Aku
tidak bisa, Ikhlas pelajaran paling susah di dunia, Laura. Kamu tahu itu.”
“Nat.”
Mata Laura berkaca-kaca.
“Aku
selalu berharap bisa menjadi seseorang yang sedang bersamamu, Laura. Tapi waktu
nggak pernah mengijinkanku, waktu nggak pernah berpihak, waktu selalu menahanku
maju.”
“Terus,
kenapa kamu tinggalin aku, Nat. Justru disaat aku mulai percaya?”
“Aku
ingin membunuh waktuku, Laura.”
“Buat
apa? Kamu kan tahu, nggak bakal ada yang bisa memutar waktu apalagi membunuhnya.”
“Bisa,
Laura.”
“Dengan
cara apa?”
“Membunuh
waktuku, bersamamu... Laura” Alva kembali sebelum Laura sempat membalasku.
“Sorry,
biasa urusan pekerjaan.” Alva duduk dengan senyum yang mengarah ke Laura.
“Sorry,
Alva—Laura aku harus pergi. Permisi.” Nathan meninggalkan Laura dan Alva dengan
perasaan yang kabut. Alva dan Laura menatapnya hingga Nathan menghilang dari
pandangannya.
“Gimana,
Laura? Nathan Cemburu?” Tanya Alva.
“Kita
berhasil.”
“Apa
aku bilang, Nathan bakal sulit melupakanmu apalagi mengikhlaskanmu.” Jawab Alva.
“Apa
yang harus aku lakukan, Alva?”
"Sentuh hatinya lagi. Laura.”
“Tapi....”
“Kamu
nggak perlu jauh-jauh cari orang baru buat memperbaiki perasaanmu kalau masa
lalumu bisa melakukannya.”
“Tapi,
aku sama saja baca cerita di buku yang sama, endingnya sama jalan ceritanya sama.”
“Kenapa
harus baca cerita di buku yang sama, kalau kamu dan Nathan bisa menulis cerita
kalian sendiri, bersama-sama?”
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar