Tak
ada cahaya di ruangan itu, gelap juga bukan
Nyaris
tanpa luka yang meredam, membekas keras di teras rumah
Nyanyian
kota keras terdengar, memekikan telinga yang tak lagi bisa mendengar
Suara
lonceng gereja memecah gemuruh petir
Ku lihat
matamu yang kosong, mencari pilu yang tak dicari
Garis-garis
merah beradu dengan moncong pistol
Matamu
membunuhku, hampa tiada tara
Nafasmu
mengincarku, lahan kekosongan antara pangkal
Bibirmu
membisuku, ujung teriak beriak dalam liur yang mengeras
Deretan
aksara berubah jadi nada tanpa irama
Irama
metafora yang berujung keheningan
Masih
adakah kau di tepi jalan itu?
Satir,
gelembung sabun meletup bak nyanyian di tepi danau
Menuliskanmu
membuatku mati suri
Hidup
dalam naungan malaikat, yang siap mengikat
Aku
tak lagi menemukanmu
Di
antara senja
Di
sekitar malam yang mencekam
Di
pagi yang membagi angin
Hanya
ada bayangmu yang ricuh
tak
terduga datang di pinggir jalan itu
Di
pinggir jalan itu
Lampu
jalan itu tak ubahnya jadi tempat mengadu
Menerangi air mata yang mengering getir
Lampu
jalan mati tanpa requiem, sengsara tiada arti
Hatiku
ngilu, jalanan berubah jadi tafsir yang tergelincir air
Dinding
rumahmu masih bisa ku lihat
Pagar
hitam terhempas sinar bulan malam ini, menantangku tanpa ampun
Tak
terasa lagi getaran suaramu di jalanan kota
Tawamu
diredam aspal hitam, mencabut kenangan yang terangan
Aku
mencarimu di antara dingin yang mencekam malam
Sepi
bergetar di iringi alunan gitar
Gitar
pengamen tua yang duduk di pinggir jalan malam itu
Masih
adakah kau di pinggir jalan malam itu?
Semarang, 18 September 2015
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar