Aku melihat keresahanmu, sayang, di antara
daun-daun yang menggugurkan diri di tempatmu berdiri. Samar-samar kulihat air
mata jatuh bersama daun-daun kering—seperti situasi dalam dirimu. Lalu aku
bertanya, masihkan ada tempat di hatimu?
Sayang, telat mengenalmu mungkin salah
satu hal-hal yang aku sesali dalam hidup. Aku terlalu sibuk berkelana pada
banyak pria yang membuatku tertantang, entah, kadang kupikir begitu sulit
menjadi manusia. Dulu sebelum aku mendengar namamu, sebelum aku mengenalmu,
pandanganku kabur akan konsep hal-hal baik. Kupikir dengan bersenang-senang aku
akan bahagia. Ternyata selama ini aku keliru, aku justru belajar banyak hal darimu.
Ingatkah kamu pada setiap pertemuan
kita? Setelah kupikir ulang, ternyata hanya kamu satu-satunya pria yang mampu
membuatku bertahan berjam-jam duduk hanya untuk mendengar ceritamu dan
menyampaikan perasaanku, kesedihanku. Aku ingat kamu begitu tenangnya
menghadapiku yang saat itu kalang-kabut. Aku suka ketenanganmu, aku suka
menebak-nebak apa yang ada di kepalamu tentang aku.
Harus kubilang, mungkin ini terdengar
klise, namun kamu memang berbeda. Kamu tidak memanfaatkan kerapuhanku,
kamu justru dengan baik hati menemaniku melewati itu, meski aku tahu kamu juga
menghadapi kesedihan lain yang lebih parah dan hebatnya. Namun aku tetap tahu,
kamu menyimpan perasaan itu demi menghadapiku, membuatku nyaman dan percaya
bahwa segala cerita mencekam dalam hidupku akan tersimpan aman di kepalamu.
Kamu berlebihan dalam menulis surat
terakhirmu tentang aku. Kamu punya peran dalam meletakkan pondasi aman untukku
tegak berdiri dan merasakan bahwa hidup baiknya tetap dijalani meski dengan kerapuhan
dahsyat apapun. Maafkan aku yang pada awalnya seperti tidak menganggapmu ada.
Maafkan aku telat menyadari bahwa kamu mencintaku dengan ketulusan, kejujuran,
juga kebaikan hatimu. Maafkan aku karena pada akhirnya tidak mampu menunjukkan
perasaanku. Namun aku luluh pada kejujuran hatimu. Aku bersyukur dan sangat
menghargai saat kata-kata paling membahagiakan yang ditunggu dalam diri setiap
perempuan berani kamu ucapkan di depanku.
Aku selalu sengaja bangun pagi untuk
melihatmu duduk mendengarkan lagu-lagu Daniel Caesar setelah lari pagimu yang
lama. Kadang melihatmu memakan roti dengan macam-macam selai buah yang kamu
beli di toko. Oh sayang, hidupmu begitu sehat, bukan hanya pikiranmu, namun
juga fisik dan hatimu. Aku iri, kamu bisa begitu disiplinnya membentuk diri di
dalam dan di luar.
Aku suka melihatmu berkeringat, atau
hembusan napasmu karena kelelahan. Kadang aku hanya melihat punggungmu tanpa
bersuara, melihat keringat membasahi lehermu, atau rambutmu yang jadi berkilau.
Apa yang terjadi di balik selimut saat itu terjadi adalah hal yang paling
kutunggu di pagi hari, kamu pasti tahu maksudku. Kamu tidak sepolos itu.
Permainanmu di atas ranjang setiap malam adalah momen paling indah yang selalu
ingin terus kurasakan.
Aku selalu merasakan getaran dari
hatimu yang baik, bahwa aku tahu tiap kali kamu memelukku, menciumku, kamu
selalu melibatkan perasaanmu. Anehnya hal-hal seperti ini baru aku rasakan saat
aku bersamamu. Tidak kutemukan pada pria lain. Itu yang akhirnya membuatku
sadar, bahwa sudah sejak lama aku sering salah pilih untuk membiarkan pria
masuk ke hatiku. Kesadaran itu kamu kuatkan tiap kali kamu bilang bahwa kamu
mencintai setiap perempuan yang kuat dan sadar.
Kamu memahami cara bagaimana merespon
perempuan rapuh yang datang ke duniamu. Dan untuk itu aku bersyukur. Aku tahu traumamu
itu merapuhkanmu di dalam, namun sejak aku mengetahui kamu banyak menolongku
memulihkan diri, aku jadi jatuh cinta dengan bagaimana kamu memperlakukanku.
Saat itu aku ingin terus bersamamu, sayang. Barangkali menjadi obat yang selama
ini kamu cari. Seperti lirik lagu Blessed;
“yes, I'm a mess but I'm blessed To be
stuck with you.”
Aku ingin melihatmu bangkit dan pulih
seperti caramu membuatku menjadi baik-baik saja pada akhirnya. Aku suka saat
kamu tidak memiliki kepentingan apapun, ekspektasi apapun. Yang kamu lakukan
hanya menemaniku, menjadi baik, hal-hal semacam itu tidak kutemukan pada pria
lain. Awalnya aku merasa aneh, kamu seperti fenomena, tidak kutemukan di
mana-mana. Lalu aku menyadari bahwa trauma kelammu itu membentukmu jadi pria sensitif,
pria emosional, dan yang paling penting; kamu tahu bagaimana merespon perempuan
tanpa membuat mereka merasa buruk. Kamu memahami kami, tidak heran setiap orang
yang mengenalmu, merasakan rasa nyaman dan aman tiap kali berada di dekatmu.
Oh, sayang. Jika kamu memberikan
tempatmu di surga untukku, aku akan menolak. Karena kamulah yang lebih pantas
berada di sana. Kamu membantuku berdamai dengan trauma, kamu datang di waktu
yang tepat. Aku belajar untuk lebih menerima yang datang daripada harus mencari
lalu lelah sendiri.
Sayang, ajarkan aku untuk tetap tenang
dalam badai, ajarkan aku menjadi jujur tanpa takut dilemahkan, ajarkan aku
menjadi baik tanpa berharap balasan. Ajarkan aku merespon setiap hal-hal negatif
dan mengubahnya jadi hal-hal positif yang memberimu semangat dan tujuan hidup. Dunia
ini rugi ketika kamu tidak ada lagi di sini. Alam semesta merindukanmu, seperti
aku merindukanmu. Merindukan tawamu, merindukan miringnya kepalamu saat
mendengarkan baik-baik saat aku menceritakan kesedihan dan perasaanku. Aku
merindukan pelukanmu setiap malam, aku merindukan kata-katamu bahwa segala hal
akan baik-baik saja, bahwa kamu selalu berada di sampingku menjadi alasan untuk
tidak menjadi risau.
Aku rindu saat kaki-kaki kita saling
bersentuhan di balik selimut. Aku rindu saat kamu menyiapkan segelas air putih
untuk kuminum setiap bangun pagi. Aku merindukan leluconmu yang kadang garing,
atau ide-ide gilaku yang selalu kamu terima sebagai ide yang akan mengubah
dunia, meski aku tahu itu hanya ide-ide yang keluar dari kepala yang mabuk karena merasakan kebahagian berada di sisimu. Aku merindukan ciummu yang
lembut, tanpa tergesa-gesa. Aku rindu saat kutanggalkan semua yang menempel
pada tubuhku, dan menenggelamkan semuanya pada tubuhmu.
Atau aku merindukan pijatan-pijatan
kecilmu saat aku merasa kelelahan selepas kerja. Ibumu benar, pijatanmu bukan
hanya enak, namun ada daya magis yang membuatku selalu tidur lelap saat
jari-jari itu menyentuhku. Aku rindu saat kamu membacakan buku-buku untuk
mengantarkanku yang kesulitan tidur. Tentu aku merindukan suaramu, aku
merindukan semua hal darimu yang membuatku tenang dan bersyukur, membuatku
belajar menerima dan memahami bahwa hidup adalah tentang saling memberi,
tentang membuat diri sendiri stabil, dan tidak membuat orang lain merasa buruk.
Denganmu, aku selalu kehabisan
kata-kata, namun ada kekuatan besar yang bisa menggerakkanku untuk menulis
surat balasan ini. Aku percaya kamu bisa membacanya, seperti kepercayaanmu pada
hal-hal yang terkubur, bahwa sejatinya mereka lebih hidup dari kita-kita yang
hidup di atas tanah. Aku kaget, aku tidak menangis menuliskan ini, aku justru tersenyum tiap kali memori-memori baik yang kamu ciptakan terbesit dipikiran
dan hidup lama mendekam di kepala, untuk nanti bisa kubuka saat aku menagalami
hari-hari buruk.
Seperti katamu, kematian adalah hal
terindah yang tuhan beri, dan untuk itu aku percaya bahwa meski
ketidak-beradaanmu di sini tidak lantas membuatmu hilang. Aku bisa merasakanmu
di tenangnya udara, di gelap dan dingin malam, di pagi yang hening, di siang
yang terik, di tidurku yang kini tenang dan di setiap mimpi-mimpi indahku
tentangmu, tenang menikah dan hidup sampai tua bersamamu, tentang memiliki
anak-anak yang pintar dan lucu, tentang menghidupi orang-orang yang
membutuhkan. Tentang tidak melupakan di mana kita berada dan dari mana kita berangkat.
Maafkan aku karena tidak pintar
mengatakan perasaanku tentangmu, maafkan aku karena menahan-nahan kesedihan
yang kadang membuatmu marah karena menahan kesedihan hanya akan menumpuk
kesedihan-kesedihan lain yang bisa kapanpun meledak dan merusak. Maafkan aku
untuk tidak biasa jujur pada perasaan sendiri. Maafkan aku jika aku tidak bisa
membalas segala kebaikanmu, meski aku tahu kamu tidak butuh balasan apapun.
Kamu selalu bilang bahwa yang terpenting adalah aku berada di sampingmu, dan
tetap mengingatmu. Menganggapmu ada.
Maafkan aku yang pada awalnya tidak
bisa menjadi supportif sepertimu. Aku hanya kaget dan heran, bagaimana bisa
pria sepertimu hidup dan eksis namun tidak banyak yang menyadari. Untuk itu aku
merasa bersyukur karena aku mengenalmu dan mengetahui setiap kesedihan dan
traumamu. Aku sedih saat kamu memilih untuk tidak menceritakan sisa-sisa trauma
yang mengurungmu hingga kematianmu.
Kamu bertarung dengan kekuatan
hebatmu. Aku benar-benar melihat itu. Apalagi di saat kamu berada di peperangan
itu, kamu masih sibuk memastikanku baik-baik saja. Oh, sayang, aku
berterima-kasih, aku minta maaf. Aku tidak akan menyia-nyiakan kematianmu. Terima
kasih karena membantuku bertumbuh, membantuku untuk tetap sadar dan berpijak
pada tanah yang tepat dan kuat. Terima kasih karena kamu memperlihatkan
kebaikan hati yang langka kutemukan di dunia yang semakin gila, terima kasih
karena mengajariku bahwa dengan menjadi jujur hidup kita menjadi bebas dan
tenang.
Terima kasih ya! Aku menyimpan setiap
suratmu, foto-foto menggodamu, kutipan-kutipan yang selalu kubaca sebelum aku
pergi tidur. Aku merindukanmu, sungguh. Suratmu akan segera kuletakkan pada
pigura cantik yang waktu itu kita beli di IKEA.
I Miss u.
Semarang, 12 Juli 2021
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar