“for me, it's an absolute win, honey.”
“No! Kamu harus coba gendar pecel, War.”
“Gak perlu, Tania, ini udah tinggi banget standardnya.”
“Ini gendar pecel langganan ibu aku, bahkan sejak aku
belum lahir.”
“Oh really? Can you explain? Gimana rasanya?”
“No…”
“Ah! Na na na! Kalo gak bisa kamu jelasin dalam cara
yang mudah dimengerti berarti gak seenak itu.”
“Yes I know, makanya aku milih ngajak kamu untuk
rasain langsung. Can we?”
“Hmm…”
“Being fair, come on, itu kan yang selalu kamu bilang
ke orang-orang. Adil sejak dalam pikiran.”
“Yeah, Pram… Oke let’s go. Tapi kamu yang nyetir ya.”
“No problem.”
Hari itu udara masih sangat segar, minggu yang sejuk
untuk memulai aktifitas. Keduanya beranjak dari meja makan, setelah perdebatan
mereka tentang pecel yang baru saja dibawa Anwar setelah ia menyelasaikan
olahraga paginya.
“Mau ngapain?” tanya Anwar melihat Tania mengambil
kunci mobil.
“Ke pasar, kan?”
“Naik montor aja, udaranya seger banget ini.”
“Ah, ini mah aku dikerjain, kan kamu tau aku gak
terlalu bisa naik montor,” keluh Tania, mengembalikan kunci mobil, lalu
mengambil kunci montor di tempat yang sama.
“Come on, kamu bisa. Pelan-pelan aja,” Anwar
meyakinkan Tania, ia merangkul pundak Tania.
“Kenapa gak sekalian naik sepeda?” tanya Tania
setengah kesal.
“Oh mau?”
“Eh enggak-enggak. Udah ayok,” Tania sudah berada di
atas vespa matic warna kuning yang setengah tahun lalu dibeli oleh Anwar karena
warnanya imut.
“Yes, kalo gini kan aku jadi bisa meluk kamu,” Anwar
membonceng, memeluk Tania dari belakang.
“Ishh jangan gitu, nanti oleng.”
“Ih biar lah, kapan lagi, kan,” seperti pasangan yang
baru dimabuk cinta, Anwar menempelkan pipinya pada punggung Tania, tetap
memeluk sampai keduanya sampai di pasar yang letaknya tak jauh dari rumah
mereka.
Tania memakirkan montor, pasar sudah ramai saat
keduanya datang, deretan montor yang terpakir sampai ke badan jalan, para
pedagang yang tidak menetap di dalam pasar menggelar dagangannya di depan,
nyaris mendekati jalan besar.
“Orang pada ngelihatin montor imut kamu,” Tania
membentuk tanda petik pada jarinya untuk menegaskan kata imut yang baru saja ia
ucapkan.
“Lah, memang imut, kan,” jawab Anwar mengikuti Tania
sambil sesekali melihat vespa kuningnya.
“Orang pasti juga gak terima kalo kuning itu warna
imut, top of mindnya pasti warna kotoran,” Tania mempercepat langkahnya.
“Nah itu, eek itu imut.”
“Mana ada orang ngeliatin kotorannya sendiri waktu
berak di kamar mandi,” Tania menahan tawa.
“Ada… Aku!” ucap Anwar bangga, Tania menampar pundak
Anwar—setelah gagal menahan tawa.
Meski Anwar sering menemani Tania pergi ke pasar untuk
membeli bahan makanan yang akan ia masak, baru kali ini Anwar luluh untuk
akhirnya membeli gendar pecel. Selama ini Anwar selalu menolak karena baginya
pecel terbaik ya pecel pakai nasi, sederhana, tidak perlu dibuat aneh-aneh. Anwar
ini memang pria yang aneh, namun karena keanehannya itu, Tania mencintainya
lahir batin. Anwar tidak selalu setuju dengannya, dan itu adalah hal yang Tania
sukai.
Bagi Anwar berjalan di tengah pasar, di antara
keramaian dan berisiknya para ibu yang tawar menawar adalah sebuah pelarian
paling menyenangkan, matanya terpuaskan oleh sayur-sayur hijau yang segar, juga
buah-buah yang baru turun dari truk para petani yang mengantarnya langsung.
Atau bau-bau ikan yang amis, kucing-kucing liar yang hidup bugar karena
dipelihara oleh seisi pasar. Anwar seringkali mengelus kucing-kucing itu, meski
seringkali juga Tania melarangnya. Bahkan kucing-kucing itu tampak mengenal
Anwar, terlihat saat keduanya sampai di kios penjual gendar pecel dan kucing-kucing itu
menempel pada kaki Anwar.
“Sayang,” ucap Anwar pada Tania, melihat kucing-kucing
kecil di kakinya yang mulai menggeliat.
“Nih coba dulu,” Tania memasukan satu suapan gendar
pecel langsung ke mulut Anwar tanpa aba-aba. Anwar tak sempat menghindar, ia
kaget—melihat Tania seketika, lalu mulai mengunyah pelan-pelan. Tania
benar-benar menatap Anwar tanpa cela, ia ingin melihat perubahan ekspresinya.
“I see an absolute win,” Tania tersenyum, melihat mata
Anwar yang berbinar. Ia mengunyah pelan, seperti tidak rela gendar pecel itu
habis di mulutnya. “Masih banyak, aku beliin kamu sekarung sekalian,” Anwar
memeluk Tania sesaat kunyahan terakhir di dalam mulutnya. Dan seisi pasar
melihat keduanya dengan senyum sumringah.
“ini yang namanya jatuh cinta pada kunyahan pertama.
Jadi pengen kunyah kamu,” Anwar menggoda Tania, penjual gendar pecel itu tertawa.
“Husss,” pipi Tania memerah, keduanya meninggalkan kios itu setelah menyelesaikan pembayaran. Anwar menggandeng Tania. Jari-jemarinya bermain, terus menggoda Tania. “Heh jangan di sini... Nih kamu yang nyetir,” Tania memberikan kunci pada Anwar.
“Bisa bahaya ya kalo kamu yang nyetir,” ucap Anwar
dengan tawa mesum yang membuat Tania tampak mulai tergoda.
“Bonceng juga bahaya,” Tania duduk dengan menempelkan
dadanya pada punggung Anwar. Tubuh Anwar bergetar sesaat, ia menyalakan vespa
itu dengan gerakan yang lambat, seolah tidak ingin sentuhan lembut itu berakhir
cepat.
“an absolute win,” desis Anwar saat vespa mulai
berjalan
“Apa?” Tania pura-pura tidak mendengar.
“Absoulute Win!” teriak Anwar, mendengar itu Tania
makin memainkan dadanya pada punggung Anwar.
“Oh boy,” Anwar memacu vespanya, ia ingin cepat sampai
rumah dan menyelesaikan pagi yang tegang dengan santapan terakhir yang tiada
duanya.
Anwar buru-buru memakirkan vespa, mengambil gendar pecel dari tangan Tania, mengambil piring dan sendok. Mengucap doa sekenanya, lalu mulai memakan santapan di depan matanya, gendar pecel yang membuka cakrawala rasa yang selama ini tergembok dan tak tersentuh.
Semarang, 7 Maret 2020
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar