Oke. Sebelum kita memulai cerita ini, kita
akan mengenal tokoh utama dengan sebutan “Seorang Pria,” atau sesekali dengan
sebutan “Pria itu,” karena nama tidaklah penting. Biarkan ia tetap menjadi
anonim. Ia selalu melupakan nama-nama, untuk itu ia tidak ingin kita mengetahui
bahkan mengingat namanya. Percaya atau tidak, ia bukan seperti pria yang banyak
kamu kenal. Nasibnya lebih mirip nasib seorang perempuan malang. Dan kisah ini,
akan memberitahumu bahwa ada bagian dari hidup yang ternyata juga tidak adil
bagi seorang pria. Simpan segala pikiran dan imajinasi yang ada di kepalamu
tentang pria ini. Jangan buru-buru menebak, tidak akan asik. Menebak hanya akan
membuatmu memanipulasi cerita, dari yang ada dan sedang kamu baca menjadi
cerita yang hanya ingin kamu nikmati.
Oke. Sore itu pria yang tidak ingin
disebut namanya ini, sedang mengeringkan keringat setelah ia lari di gelanggang olahraga yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Ia mengaku sering ke sana
untuk olahraga setiap pulang kantor, rutin mulai hari senin sampai kamis. Tidak
ada yang menarik dari sore itu. Hanya sore-sore biasa yang penuh muka-muka
kelelahan berkeliaran di jalanan. Orang-orang menggeber kendaraannya seperti
seorang yang sedang marah. Mengendarai roda empat atau roda dua seperti seorang
pembalap di arena.
Pria itu melihat pesan di ponselnya, ia
mematikan semua notifikasi seluruh aplikasi di dalamnya, sehingga ia harus
membuka aplikasi itu untuk mengetahui notifikasi yang masuk. Ia mendapati
seorang perempuan mengirimkan pesan padanya. Sebelum kita melanjutkannya,
cerita ini juga tidak akan menyebut nama-nama perempuan. Pria itu benar-benar tidak
ingin mengingatnya, baginya melupakan adalah bagian paling bebas dari yang bisa
dilakukan seorang manusia. Anyway. Kita bisa menyebut perempuan itu sebagai “perempuan
a,” mewakili perempuan pertama yang ingin ia ceritakan. Kamu boleh menyebutnya
perempuan anjing, asu, astaga, terserah yang penting berawalan dengan huruf a.
Tapi sebut saja ia “perempuan a.”
“Besok sibuk gak,” kira-kira seperti itu
pesan yang ia baca. Ia tidak langsung menjawabnya. Ia masih perlu mengganti
baju dan celananya yang kuyup oleh keringat. Ia membiarkan dua centang biru itu
mengintimidasi perempuan a. Hal yang tidak biasa ia lakukan. Pria itu selalu
menjawab pesan dengan cepat, itu yang membuatnya disukai, kadang ada juga yang
menyebutnya membosankan, karena tidak membiarkan orang menunggu pesannya
dibalas. Pria itu tidak suka membuat orang lain menunggu. Tapi untuk si
perempuan a ini, ia harus melakukannya. Ada cerita yang kekecewaannya belum
juga kering.
Percayalah, pria itu juga terintimidasi
karena berusaha menahan balasan pesan itu. Ia tidak sadar, ia mengganti pakaiannya lebih cepat, lalu meraih ponselnya dan membalas pesan itu. “Enggak,
kenapa?” Setelahnya pria itu justru masuk perangkapnya sendiri. Ia menatap
layar ponsel itu sampai perempuan a membalas lima menit kemudian. Matanya awas,
tidak melihat ke manapun selain layar ponsel yang baru saja diganti pelapisnya.
“Aku mau ketemu, mau cerita,” pria itu
tersenyum membaca pesan balasan itu. Percaya atau tidak, ia adalah pendengar
yang baik. Perempuan a bukanlah satu-satunya yang merengek pada dirinya untuk
didengarkan ceritanya. Nanti kamu akan tahu. Untuk saat ini mari kita kembali
pada perempuan a. Selayaknya perempuan lainnya. Perempuan a sedang menghadapi
hari yang berat, dan tidak ada dari salah satu temannya yang ia percayai untuk
mendengar ceritanya. Konsep pertemanan yang aneh. Perempuan a justru mencari
pria itu.
“Boleh, mau di mana?” pria itu membalas.
“Nah itu aku gak tahu.”
Pria itu lalu merekomendasikan satu
tempat dan perempuan a setuju dengan satu pesan tambahan yang memuji pria itu. “Enak
kalo mau ketemu sama kamu, gak bilang terserah-terserah kayak yang lain. Gak
ribet. Langsung tahu tempat.”
“Besok siang ya jam satu,” pria itu
menambahi.
“Oke nanti aku kabari lagi.”
Lalu pria itu pulang. Di antara azan
maghrib yang berkumandang dari toa-toa yang corongnya bebas mengudara di
langit-langit. Ia tidak memikirkan banyak hal. Hanya tentang menu apa yang akan
ia makan setelah ia sampai di rumah. Pria itu sudah tahu, hari-harinya akan
berlalu seperti biasanya. Rutinitas yang lain, rasa lelah yang lain. Dan
kesialan-kesialan yang lain. Ia tidak banyak berharap apalagi menaruh
ekspektasi.
Ponselnya akan dipenuhi para perempuan
yang merengek minta ceritanya didengar. Lalu pergi setelah merasa baik-baik
saja, pria itu sudah biasa dilupakan. dibuang, padahal jadi aktor penting yang
meredakan banyak air mata. Menyembuhkan banyak luka. Ia melemparkan tasnya di
kursi ruang keluarga, memasukkan pakaian olahraganya ke dalam mesin cuci. Mengambil
ponselnya, menyalakan wifi, tidak lupa mengisi dayanya. Lalu ia mengambil nasi
panas. Pria itu membiarkan nasi panas itu kurang lebih lima menit. Ia tidak
terlalu suka dengan nasi panas. Lauk sisa pagi tadi ia makan dengan lahap. Ia
tidak pernah mempedulikan harus makan apa, karena baginya rasa dari sebuah
makanan hanya sebatas rongga mulut. Setelah itu semua akan menjadi tai juga.
Sudah kubilang, tidak ada yang menarik
setelah kita pulang ke rumah. Hanya ada obrolan-obrolan kecil dan film-film
atau video youtube yang biasa kita tonton. Pria itu memilih melanjutkan episode
Friends musim kelima. Series itu tidak pernah membuatnya kecewa, karena series
itu tidak berjenis kelamin perempuan. Menurutnya Friends tidak berjenis
kelamin.
Ia menghabiskan waktu satu jam untuk
menonton kebodohan Joey Tribiani dan sarkastiknya Chandler Bing, juga naturalnnya Phoebe Buffay. Pria itu masuk ke kamarnya, melanjutkan rutinitas
malam seperti biasanya. Saat ponselnya ramai dengan para perempuan yang
menceritakan hubungan spesialnya, ia selalu senang mendengarkan. Meski dalam
hati ia ketawa dan bertanya-tanya, kenapa dalam hubungan romantis perempuan
selalu bego dan laki-laki selalu jahat. Perempuan bego, karena tidak menyadari
bahwa hubungannya berakhir sebagai hubungan formalitas belaka, karena para
perempuan takut sendiri dan kesepian atau para perempuan hanya menyukai konsep
dicintai tanpa peduli siapa yang mencintainya. Sebuah kenyataan bodoh yang
menimpa para perempuan bego.
Para pria seringkali jahat, karena
menganggap perempuannya hanya sekadar objek. Tidak memandangnya sebagai
manusia. Bagi pria itu, seharusnya para laki-laki paham apakah hubungan itu
berjalan dengan baik dan jujur atau sekadar ingin memuaskan kelaminnya. Perayalah,
para laki-laki rentan dengan seksualitasnya, mereka tidak berani dengan teguh
dan terang-terangan menunjukkan pandangannya soal konsep seksualitas seperti
tokoh Barney dalam series How I Met Your Mother. Itu yang membuat para
perempuan akhirnya kaget, melihat lelakinya ternyata sebajingan itu. Karena
kerentanan itu sembunyi di ruang sempit yang kosong, menunggu korbannya.
Para perempuan rentan dengan konsep
laki-laki. Mereka hanya bisa menjadi penurut. Tidak mampu berdiri sendiri,
berpikir sendiri, mengambil keputusan sendiri. Sehingga mereka menyukai konsep
pria menuntun perempuan yang sangat aneh dan bodoh. Tiap hari pria itu menerima
cerita yang pada dasarnya sama; Jika ia lajang, seorang akan cerita bahwa ia
mencintai orang lain, namun orang lain itu tidak balik mencintainya. Padahal
ada orang lain yang jatuh cinta padanya, tapi ia tidak balik mencintai. Dan
saat ia sadar bahwa ia tidak bisa memiliki seseorang yang ia cintai, ia akan
mengejar seseorang yang mencintai dia. Dan ternyata orang itu sudah tidak lagi
jatuh cinta dengannya. Masalahnya sebetulnya sama saja, hanya cara bercerita
orang beda-beda.
Atau mereka yang terikat dalam hubungan romantis; Masalahnya kemungkinan hanya dua, bosan atau mencium perselingkuhan. Dan dari
dua masalah itu ada tiga jenis manusia; yang benar-benar tahu, tidak sadar,
atau yang pura-pura tidak tahu hanya untuk menolak dan menyangkal realita yang
sedang ia hadapi. Dan pria itu sudah tahu apa yang akan perempuan a ceritakan
besok. Bahkan sejak perempuan a pertama kali mengirimkan pesan padanya.
“Jadi, kan hari ini?” pria itu
mengirimkan pesan keesokan harinya, setelah ia menunggu perempuan a yang
berjanji mengabari. Pria itu sudah duduk di sebuah coffeeshop tampat janji
bertemu, ia membuka laptop membiarkan Microsoft word kosong. Ia menikmati
segelas cokelat panas dan cake savory yang terkenal dari coffeeshop itu.
Setengah jam kemudian perempuan itu
membalas, ia tidak bisa datang. Katanya ada urusan mendadak. Tapi lalu pria itu
melihat story Instagram perempuan a yang berada di sebuat tempat wisata bersama
teman-temannya. Amarah membuncah. Tidak hanya sekali ini, ia meluangkan waktu
untuk seorang perempuan yang secara terang-terangan menghubunginya lebih dulu
untuk bertemu. Seharusnya ia tidak kaget, namun rasanya tetap menyakitkan. Bahkan
perempuan itu tidak benar-benar meminta maaf, karena setelah kejadian itu
perempuan a terus menjadi perempuan menyebalkan bagi pria itu. Bahkan perempuan
a sama sekali tidak tahu bahwa pria itu sudah berada di coffeeshop itu.
Dan benar. Pria itu sudah berusaha
melupakan memori sialan itu. Tapi memori itu selalu datang setiap kali perempuan
a yang tidak pernah merasa bersalah mengirimkan pesan padanya lagi hanya untuk
sekadar menanyai kabar. Tapi percayalah, perempuan a selalu meninggalkan rasa
sakit pada tubuh pria itu tiap kali ia berkirim pesan. Mulai dari hal sederhana
seperti tidak membalas pesan pria itu lagi padahal perempuan a yang pertama
kali membuka obrolan. Sampai secara terang-terangan mengeluarkan kata-kata yang
tidak menyenangkan.
Pria itu bahkan menulis cerita tentang
perempuan a di coffeeshop itu saat perempuan a yang dengan seenaknya membatalkan
janji tanpa mengabarinya. Ia sempat berpikir mungkin perempuan a tidak akan
pernah mengabarinya kalo pria itu tidak mengirimkan pesan lebih dulu. Dan
baginya itu kemungkinan terburuk. Dan jika benar, itu adalah perilaku bejat
yang seharusnya tidak dimaafkan. Namun Pria itu menganggap mungkin memang
perempuan a punya watak dan sifat yang suka seenaknya sama orang lain. Yang
jelas tidak akan berubah karena perempuan a hampir selalu melakukannya pada
pria itu.
Dan ternyata orang semacam itu bukan
hanya perempuan a, ada banyak perempuan serupa yang hidup di dunia pria itu. Dan
sialnya ia harus merasakan perlakuan dan sifat yang sama. Pria itu hampir mati
gila, mengapa harus ada orang-orang seperti itu yang seharusnya sudah mati
dibakar dan dimutilasi, alias tidak pantas hidup karena tidak mampu menghargai
waktu orang lain. Mungkin juga tidak akan sanggup menghargai segala bentuk
kehidupan di dunia.
Percayalah, pria itu selalu bersikap
baik. Meski memori-memori menyakitkan itu selalu datang. Dan ia berhak marah,
berhak meluap. Karena tidak pernah ada yang mau dan mampu mendengarkannya. Padahal
ia sudah lama menjadi pendengar yang baik. Ternyata menjadi pendengar yang baik
memang pekerjaan susah, dan orang-orang bodoh tidak mungkin bisa melakukannya. Orang-orang
bodoh bagi pria itu hanya bisa menyakiti orang lain, apalagi menyakiti tanpa
merasa menyakiti, tanpa merasa bersalah, tanpa merasa perlu minta maaf.
Pria itu selalu mengingat perlakuan
buruk yang pernah ia terima. Supaya ia bisa belajar untuk tidak melakukannya
pada orang lain. Sebagai gantinya, ia tidak peduli pada orang-orang yang
melakukannya, ia melupakan nama-nama orang itu. Tidak akan menawarkan bantuan
apapun. Tapi ia tetap akan membantu jika orang-orang sialan itu masih jadi
orang-orang menyebalkan yang tak tahu diri. Yaa, hidup memang membutuhkan
orang-orang seperti itu, supaya kita bisa membedakan mana manusia, mana setan.
Pria itu sering menghadapi orang-orang problematik,
dan ia tidak sombong. Ia akan membagikan cerita itu, supaya kita tahu bagaimana
menghadapi orang-orang semacam itu. Terlebih supaya kita sadar mereka masih eksis. Dan
masih sangat menjengkelkan. Untuk itu ia menitipkan ceritanya untuk ditulis.
Sebagai anonim. Sebagai yang selalu disakiti.
Semarang, 15 Oktober 2020
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar