Kita
mungkin sama-sama sering membaca atau mendengar sebuah kalimat yang terus
berulang kali banyak orang katakan, banyak orang tulis. Bahwa ketika kita ingin
diperlakukan dengan baik oleh orang lain, kita juga harus berlaku baik.
Berulang kali aku memikirkan untuk memberikan kontra-argumen dari pernyataan
itu. Karena dalam hidupku, aku seringkali menemukan seseorang yang memang
terlahir dengan sifat suka seenaknya yang menempel pada tubuhnya mungkin sejak
dalam kandungan. Orang-orang ini entah hidup dan merasa bahwa segala yang ada
di sekelilingnya harus tunduk pada aturan mainnya.
Aku
seringkali melihat, menemukan, bahkan merasakan bahwa seseorang tidak mengingat
kebaikan-kebaikan (meski kecil) yang diberikan orang lain pada dirinya. Jika
kita memegang teguh dengan pernyataan yang pertama; jika kita berlaku baik,
berlaku adil pada orang lain, seharusnya kita mendapatkan perlakuan sejenis
dari orang itu. Kalau detik ini kamu bilang itu artinya tidak ikhlas atau kita
mengharap balasan, tunggu dulu. Simpan pernyataanmu, karena kita sedang akan
membedah pernyataan pertama.
Mungkin
kamu juga pernah merasakan, berbuat baik pada satu orang, let’s say kita bilang
Si A. Kita selalu ada saat Si A merengek, membutuhkanmu, meski sekadar
bercerita atau memintamu mendengarkannya. Namun Si A menganggap kamu hanya kutu
di rambutnya, antara mengganggu atau dibunuh langsung di awal cerita. Si A
tidak pernah menganggapmu ada, bahkan ia tidak mengingat kebaikan-kebaikan
kecilmu, yang mungkin sangat mempengaruhi kesehatan mentalnya, bahkan bisa
kubilang sikap dan perbuatan baikmu itu mampu menyelamatkannya dari percobaan
bunuh diri.
Orang-orang
yang berlaku tidak adil pada sesamanya, mungkin memang sejak lahir punya ego
problem yang besar dan tidak terkendali. Alih-alih mengingat kebaikan dengan
baik, ia justru melemparmu saat kamu benar-benar membutuhkannya. Di momen ini
mungkin kamu biasa saja, karena kamu pemaaf, dan kamu merasa memaafkan membuat
tubuh dan jiwamu tenang. Tapi kadang kamu jengkel juga, karena Si A benar-benar
hidup seenaknya, ia merasa manusia lain tidak memiliki perasaan, sehingga bebas
ia perlakukan seenaknya. Dan menganggap asal perasaanku baik-baik saja, it’s
oke. Tidak peduli orang lain.
Beberapa
tahun belakangan aku bertarung pada perasaan-perasaan ini, bagaimana jika ada
banyak Si A dalam hidupmu. Dan kamu kewalahan mekanisme koping apa yang perlu
kamu gunakan untuk setidaknya membuat dirimu tenang, dan tidak meluap-luap. Ada
sebuah argumen yang bilang bahwa ketika kamu dewasa ada baiknya semua masalah
hidupmu dipendam saja. Tapi coba pikirkan jika masalah hidupmu adalah sebuah
debu, yang kamu pendam di dalam sebuah karpet, jika debu itu terus bertambah
banyak, karpet itu akan menciptakan bentuk yang tidak rata lagi, debu-debu itu
akan menonjol. Ketika itu terjadi kemungkinannya hanya ada dua, orang
tersandung, atau orang membersihkannya. Masalahmu tetap tidak selesai meski
dipendam sekalipun. Orang yang tersandung akan kesakitan, yang membersihkannya
tidak akan peduli selain karpet itu menjadi bersih lagi.
Aku sering
menghapus banyak hal saat merasakan amarah yang tumbuh di kepala, aku mematikan
notifikasi, aku memblokir banyak orang meski selanjutnya aku akan membuka
blokir itu lagi. Atau berhenti mengikutinya di sosial media, meski aku akan
kembali mengikutinya setelah amarah itu mereda. Seringkali aku melakukannya
secara random. Karena jika aku melakukannya dengan niat hanya pada satu orang,
itu berarti amarahku sudah benar-benar meluap karena hanya dipendam setelah
sekian lama. Apalagi orang yang membuatmu marah telah berulang kali membuatmu
kecewa namun kamu tetap memaafkannya karena kamu tahu kamu tetap perlu bersikap
dan berlaku adil juga baik meski orang itu tidak.
Banyak
orang yang melakukan itu padaku. Mereka menceritakan segalanya yang membuat
pikirannya hampir gila, karena orang lain akan menghakiminya, sedang mereka
percaya jika cerita itu diungkapkan padaku, aku tidak akan sama sekali memberi
penghakiman, alih-alih memberikan tempat aman. Sayangnya banyak orang memang
terlahir dengan sifat keras kepala dan seenaknya, meski berulang kali aku
meluapkan emosiku entah secara terang-terangan atau tersirat orang-orang itu
akan mengulangi hal yang sama.
Dan aku
akan tetap menerimanya karena percaya dengan pernyataan di awal tadi. Bahwa
untuk mendapatkan perlakuan baik kita juga harus berbuat baik. Lantas bagaimana
jika kita telah berulang kali berlaku dan bersikap baik tapi tidak
mendapatkannya seperti yang kita beri ke orang-orang?
Emosi?
Mungkin. Tapi untuk orang-orang yang pintar, keadaan itu akan membuatmu belajar
mengendalikan emosimu. Belajar bahwa orang-orang bajingan nan gila jelas ada
dan hidup di sekitarmu. Orang-orang ini tidak tahu terima kasih, sama sekali
tidak memberi belas kasihan pada orang lain. Aturan dalam hidupnya adalah asal
perasaan hatinya baik, ia tidak peduli dengan perasaan orang lain. Namun saat
perasaan hatinya kalang-kabut, ia akan mati-matian kembali dan menganggapmu ada
sebagai tempat bercerita paling aman. Namun kamu akan tahu apa yang akan
selanjutnya terjadi. Kita; selalu kembali ke tempat semula.
Belakangan
aku marah pada banyak hal, dan akhirnya meluap, meski luapanku berada pada
tempatnya, aku tidak meluapkan pada orang lain. Tapi kita tidak pernah tahu
bagaimana respon orang. Aku seringkali diam ketika menulis untuk seseorang, karena
aku takut dengan segala respon yang akan muncul. Aku butuh tiga tahun untuk
memberi tahu tiga novelku ditulis untuk siapa, butuh setahun untuk mendamaikan
diri sendiri bahwa novel keempatku ditulis untuk siapa. Kesamaan dari
keempatnya adalah orang-orang yang kumaksud tidak pernah sama sekali
membacanya. Setidaknya itu yang aku tahu. Dan aku merasa baik-baik saja, bahwa
itu bagian dari respon yang harus aku terima. Artinya orang itu juga sudah move
on, dan itu juga yang perlu aku lakukan. Mengikhlaskan.
Namun
bagaimana jika kamu terang-terangan memberitahu seseorang bahwa kamu pernah
menulis untuk orang itu. Dan sialnya respon orang itu benar-benar menusukmu,
menyakitimu, sialnya ini bukan kali pertama ia menyakitimu. Iya, aku sudah
mengakomodir mungkin ia juga sedang menjalani hari yang buruk. Aku paham itu. Tapi
aku tidak bisa lupa, ia melakukan ini tidak hanya sekali, dua atau tiga kali. Memori
itu lebih kencang masuk ke pikiranku daripada keinginan untuk mengakomodir
perasaannya.
Aku hanya
ingin jujur, oleh apa yang aku rasakan. Dan tulisan-tulisan itu menurutku sama
sekali tidak menyakitinya, tapi mengapa ia memilih kalimat-kalimat sebaliknya
sebagai respon yang sangat menyakiti. Ya mungkin lain kali aku tidak perlu menjadi
jujur, karena kita hidup di antara orang-orang yang lebih suka manipulasi. Aku
merasa akan selalu kembali ke tempat semula. Karena aku hanya perlu menulis
lagi untuk merasa tenang dan memaafkan perlakuannya, terlebih memaafkan diri
sendiri.
Kita; manusia
tidak pernah berubah. Kita sudah seperti itu sejak dilahirkan.
Semarang, 16 September 2020
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar