“Ada menu selain kopi gak yah?”
“Hmm, bentar. . . Kayaknya ada deh, susu, susu kopi gitu. Kenapa? Gak minum kopi?”
“Bukan. Cuma sebisa mungkin menghindari kopi sih.”
“Kenapa?”
“Lambung. Kembaranku tuh gak minum kopi karena lambung. Aku pikir aku enggak kan, ternyata iyaa. Aku pernah mencret karena minum kopi Wamena, jadi tidur gitu kebangun beberapa kali cuma buat mencret. Apalagi arabika kan.”
“Serius? Waaah… Eh gimana dua hari di Jakarta?”
“Selalu menyenangkan kalo Jakarta. Aku dari ketemu temen-temen film ini, terus langsung ke sini, tiba-tiba akhirnya kamu line aku, padahal aku udah sejak kapan ngajak ketemuan, eh baru dibales.”
“Hahaha, sorry yaah, aku tadi pulang kerja langsung inget. Akhirnya ke sini. Agak-agak galau aku.”
“Lah, why?”
“Gak tahu kenapa, akhir-akhir ini berasa banyak pikiran aja.”
“Bentar aku pesen dulu yaah,”
“Oke.”
…
“Terus gimana?”
“Yagitu.”
“Eh kamu tuh Scorpio yah?”
“Iyaa, kenapa?”
“Gapapa, tanya aja.”
“Percaya sama yang gituan?”
“Cukup percaya. Kamu”
“Percaya sih, kadang emang bener. Harus diakui.”
“Aku lihat kamu tuh orangnya dark yaa? Kayak sering merenung gitu.”
“Kok gitu?”
“Kelihatan aja.”
“. . .”
“. . .”
“. . .”
“. . .”
. . .
“Hujannya udah reda, balik yuk.”
“Eh iya, ini buat kamu.”
“Wah apa nih, pake dikadoin gini.”
“Jangan dibuka sekarang nanti aja.”
“. . .”
“. . .”
“. . .”
“. . .”
“. . .”
. . .
-----
“Kamu minum bir?”
“Kenapa?”
“Ah enggak, nggak nyangka ternyata kamu minum juga.”
“Kalo lagi pengen aja. Gak pernah mabuk.”
“ I see. . .”
“Jadi gimana?”
“Apa?”
“Bulan lalu dia sempat ke Jakarta kan ketemu kamu.
Kamu mah gak perlu pura-pura gak tahu”
“Yaaa, main bareng, gak tahu kenapa rasanya lega aja
gitu. Setelah sekian lama cuma bisa chat. Dia tuh gimana yaa, jujur dia gak
ganteng, tapi aku merasa suka banget sama dia, literally banget, buta gitu aku.
Sampe kakak aku marahin aku, katanya banyak orang yang suka sama aku, tapi aku
masih kekeh sama dia yang notabene jauh dan beda pulau.”
“Kamu tuh aneh, buta tapi sadar. Terus sekarang
gimana? Masih putus… Kenapa sih kalian harus putus nyambung terus, gak
selesai-selesai. Putusnya beneran cuman karena itu? Yang kamu kaish tahu di
chat?”
“Iyaa, dia lebih milih nonton final piala dunia.
Padahal aku cuman minta setiap malem jam sembilan sampe dua belas waktu dia
buat aku aja, dengerin cerita aku.”
“Ya lagian, piala dunia kan cuma empat tahun sekali.”
“Iya sih, dia juga bilang gitu, ya tapi gimana yaa,
aku tuh pengen diperhatiin. Aku cuma minta waktu dia buat aku aja jam segitu.
Eh tapi dia gak bales chat aku, karena nonton itu.”
“Terus kamu putusin?”
“Iya…”
“Terus kamu nyesel? Pengen balikan lagi?”
“Enggak sih.”
“Kok pake sih?”
“Bingung Za, sumpah bingung. Aku sebel banget lah sama
dia.”
“Terus kamu sekarang? Masih sama pacar cewekmu itu?
Siapa namanya? Olivia?”
“Iyaa, dia nenangin aku gitu. Ini sekarang aku masih
chat sama dia… Don’t judging me yaaah, aku masih gak tahu lesbi apa enggak,
nyatanya aku masih mikirin dia. Sebel sumpah aku.
“Dia tuh yang bertahan yaa dari twitter itu kan?”
“Iyaa yang bertahan sampe sekarang ya dia sama kamu.
Kamu masih blockir semua sosial medianya dia kan? Aku gak mau dia sakit hati
kalo aku masih chat-chat an sama kamu, kadang dia protektif juga. Masih kan Za?”
“Masih kok, masih. Aku juga bingung, kenapa aku
dikorbankan di hubungan kalian. Dulu karena hastag di twitter itu dia kenalan
sama kamu kayak aku, line terus ke Instagram, whatsapp, aku bertanya-tanya
kenapa dia yang lebih beruntung. Padahal notabene kamu selalu ceritanya ke aku,
apalagi tentang dia. Aku kangen kamu cerewet, tiba-tiba ngirim voice note atau
nelpon.”
“Yaa gimana ya Za, sorry yah. Aku cinta banget sama
dia.”
“Oke kita bikin taruhan aja. Kalo dua minggu lagi kamu
gak balikan. Kamu harus lupain dia. Deal?”
“Jangan dua minggu dong. Sebulan?”
“Oke deal. Kalo kamu kalah kamu harus blokir dia dari
hidupmu, dan fokus ke aku. Kalo kamu yang menang, aku bakal stop berusaha untuk
deket sama kamu.”
“Zaaa? Kalo gitu kayaknya aku gak bisa, aku cinta
banget sama dia. Tapi aku gak ada perasaan ke kamu. Gak bisa dipaksa. Sorry.”
“Iyaudah fokus ke taruhannya aja dulu.”
“Oke. Maafin yaah.”
“Iya gapapa.” J
-----
“Hey,
sorry yah nunggu lama.”
“Gapapa
kok, kan janjiannya jam dua belas, ini masih setengah jam lagi.”
“Duduk
sana yuk, sambil nunggu tempatnya buka.”
“Yuk,”
“Aku
belum mandi waktu kamu chat otw, aku langsung buru-buru mandi.”
“Hahaha
sorry yaah, kupikir bakal makan waktu banget.”
“No
big deal kok. . . Eh kira-kira di situ ada bir gak yaa?”
“Wah
enggak ada. Kamu minum bir kah?”
“Iyaa,
kalo lagi pengen aja. Gak pernah mabuk tapi. Kenapa?”
“Gapapa.
Banyak orang yang gak suka sama peminum.”
“Iya,
dua hari yang lalu aku pesen bir, ketemu sama orang kan, langsung ditanyain
gitu, wajahnya berubah… Sebetulnya aku minum bir itu bagian dari strategi.”
“Strategi?
Kok gitu?”
“Ya
penilaian orang itu ke aku bakal berubah atau enggak kalo aku minum bir.”
“Ah!
I See… Terus maksudnya tadi nanyain bir mau tahu penilaianku tentang kamu
berubah atau enggak?”
“Yaaa,
some kind.”
“Gak
ngaruh, aku enggak lihat orang dari apa yang dia minum.”
…
“Udah
buka tuh, yuk.”
…
“Kamu
mau pesen apa? Aku makan nasi gapapa kan? Aku belum makan pagi.”
“Iya
gapapa, aku bingung, kayaknya bakal makan mie lagi nih.”
“Mie
banget nih? Kalo aku punya ritual makan mie tuh minggu pagi. Mie goreng
biasanya.”
“Ohiya?
Kenapa gitu?”
“Aku
juga gak tahu. Suka aja gitu.”
“Aku
hampir tiap hari makan mie, sering makan tapi tetep aja gak kenyang. Pengen
rasanya buka warteg di dalam perut.”
“Hahaha
kamu mah. . . Makan dulu yak.”
…
“Kok
bawang gorengnya disingkirin?”
“Iya
gak suka.”
“Sini
buat aku aja.”
…
“Udah
selesai. Kenyang.”
“Sorry
aku kalo makan lama.”
“Aku
tunggu, aku bisa tambah kenyang kalo lihat orang makan.”
…
“Eh
nonton yuk, pejanten deket sini kan?”
“Yuk,
iya deket, naik go car aja.”
“Iya,
ini aku pesen yaa.”
“…”
“…”
“…”
“…”
…
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar