“Aku udah di
lobby.”
“Kamar 1206 yaa,
Lantai 12.”
Membaca dan
membalas pesan itu jantungku berdebar, ada luput yang terlanjur menghitam pekat
tak paham arah. Senja hampir tiba, aku sudah satu jam menunggunya. Ada
kerinduan yang membuncah hingga ubun-ubun rasanya hampir pecah. Aku
membayangkan apakah di dalam kapsul perak itu ia ikut berdebar, atau apakah ia
merapikan pakaiannya juga make-upnya. Kami sepakat membuat semuanya jadi punya
arti sebelum lagi-lagi ia pergi.
“Aku udah di
depan pintu,” aku membaca pesannya setelah cukup lama mataku terus terpaku pada
ruang obrolan itu. Aku beranjak, sedetik kemudian—sebelum aku menggenggam gagang
pintu, suara ketukan lembut terdengar. Jantungku mulai tak karuan, aku
merapikan rambut sebelum membuka pintu.
Senyum itu,
dengan gincu merah muda dan make-up tipis juga rambut pendeknya yang menutup
hingga leher, ia definisi sempurna sore itu. Ia bediri di depan pintu,
menatapku beberapa detik, lantas masuk—masih dengan senyum itu, aku menutup
pintu—memutar kunci dua kali.
Ia memakai rok
hitam longgar selutut dan kaos tanpa lengan warna hitam yang tak sepenuhnya
menutup perut. Ia mengambil remot TV, membesarkan volume, TV menyiarkan chart
lagu terkini—mataku mengikuti gerak-geriknya sampai ia berhenti dan pandanganku
tertumbuk pada matanya. Ia tersenyum sekali lagi, aku membalasnya hangat.
“Di luar masih
kerasa panas,” ia membuka kaosnya, kulihat bra hitamnya menampung semesta kaumnya yang rasanya hampir tumpah. Ia melemparkan kaosnya ke arahku—menutup pandanganku
sejenak, aku mencium aroma lavender, harum semerbak. Otakku merasa tenang
seperti seorang anak yang diceritakan sebuah dongeng malam oleh ibunya. Lalu ia
mengikat rambut yang tak panjang itu.
Ia menyusuri
tubuhnya sendiri, tangan itu lembut menyentuh kulit—sengaja menggodaku. Ia
sesekali melirikku yang mulai tak bersuara, mulai tak tahu harus berbuat
apa. Ada surga di depanku, ada pertunjukkan teater terbaik yang tak mampu
ditolak pria mana pun di dunia. Aku perlahan mendekat, duduk di sampingnya,
senyumnya menggoda, ia hanya memberiku punggungnya. Aroma lavender itu makin
kuat, aku terpejam sesekali—menghirup aroma yang mulai kukenali dan akrab
dengan hidungku.
Ia memegang kedua
tanganku, ia arahakan tanganku yang gemetar itu pada pinggulnya, ia jatuhkan di
sana, lalu ia tinggalkan, seperti anak kecil tanpa orang tua di dingin malam
Ibu Kota, aku terdiam, ia mulai menggeliat. Aku tak kuasa menahan rindu yang
detik itu pecah, aku menyusuri lekuk tubuhnya, menciumi jenjang lehernya yang
langsat. Menghirup aroma rambutnya, aku terhempas pada ruangan serba gelap,
dengan hanya ditemani suara-suara yang membuat roma tubuhku hidup setelah lemah sendiri.
Aku malu-malu,
ini kali pertama aku menyerahkan seluruh tubuh dan jiwaku pasa seorang wanita,
ia yang kucinta dan tak terjemahkan apa pun. Ia yang menjadikanku sederhana, ia
yang berhasil membuatku keluar dari gelap yang meronta lama, ia yang menarikku
dari sendiri yang mencekam, ia wanita yang membunuhku pada tatapan pertama.
Seolah wanita itu tahu, ia menuntun satu tanganku meremas gumpalan takdir bagi
tiap wanita itu, ia merintih saat untuk pertama kalinya remasan itu juga
menggetarkanku, ia sengaja—berusaha menarikku pada permainan itu.
Saat irama mulai
merona membentuk nada yang utuh dan indah, aku mulai lupa semuanya, lupa pada
segala hal yang membuatku berpikir seratus kali atas ajakannya kali ini. Aku
lupa kebingungan dan rasa khawatirku. Aku telah jatuh terlalu dalam, meremas
terus, makin keras dan cepat, suara-suara itu menggema, mebentur
dinding-dinding, dengan alunan musik instrumental yang kebetulan diputar TV di kamar
hotel itu.
Ia berusaha
membuka kait branya, hingga benar-benar lepas dan kini semesta itu benar-benar
telanjang, ia berpaling menatapku, melingkarkan tangannya pada leherku dan aku
masih bemain-main di alam itu. Ia menjambak lagi, keras hingga aku kesakitan,
namun rasanya sakit itu tak seberapa. Ia mencium basah bibirku, bermain-main
hingga lidah kami bertemu di persimpangan saat keringat mulai mengucur
pelan-pelan, saat tubuh kami mulai basah berdua. Saat tanganku mulai nakal
membuka roknya dan berusaha menangkap apa yang ada di sana. Ia melepas cepat
kaos yang kupakai tanpa ingin melepas ciuman yang makin basah itu.
Sebelum aku
berhasil menerka dunia apa yang ada di balik rok hitamnya, ia sudah menyentuh
semestaku, semesta yang lama diam dan dipendam, semesta yang disukai wanita
namun tak berani diungkap cuma-cuma, semesta yang menyatukan kita semua. Ia
mengelusnya lembut seperti penyayang kucing pada peliharaannya. Ia melepaskan
bungkus luar semesta itu, hingga seluruh luar angkasa tampak bersinar terang dan
ia tersenyum menggodaku. Ia bagai melihat rasi bintang orion, si pemburu dunia
lainnya, ia bermain-main pada semestaku dan menggigit bibirku yang basah. Ia
masih senang dengan itu hingga rok dan penutup dunianya yang lain tanggas—lepas.
Aku tak buru-buru seperti apa yang ia lakukan, mulai cepat dan keras dengan tangan-tangannya
yang seolah tanpa lelah.
Aku makin
menggigil, aku melihat ia makin panas, makin keras dan ganas. Sampai pada
hening ruangan itu, TV berhenti memutarkan lagu-lagu dan berganti acara lain.
Ia melepaskan ikatan kami, ia berbaring pada ranjang dengan sprai putih yang
berkilau. Di depan mataku ia membuka lebar-lebar dunianya, hingga semesta kami
saling tatap dan saling tunggu. Muncul dipikiranku tentang lubang hitam pada
konsep semesta yang berbahaya dan sulit diterjemahkan, aku berulang kali
menatapnya yang dengan tangan-tangannya masih memainkan dunianya yang sempit itu.
“Sorry,” tubuhku
melemah.
“Kenapa?” ia
bangkit.
“Kita setuju gak
sampe sana,” aku duduk di tepi ranjang.
“Kupikir kamu gak serius,” ia memelukku dari belakang, kembali memainkan semestaku yang
mulai tidur.
“Aku gak bisa.”
“Kenapa?”
tanyanya masih bermain-main.
“Pacarmu,” kata
itu menghentikannya—ia menjauhiku, aku menatapnya, melihat rasa kecewa yang
menyelimuti wajah cantiknya.
“Aku gak mau
jadi yang kedua, aku inget kamu pernah juga melakukan ini sama pacarmu, kamu
terbuka sama aku soal itu,” ia diam. Menatapku lalu turun dari ranjang,
mengambil satu-satu pakaian yang jatuh di lantai dan memakainya. Ia masih diam,
aku memohon padanya untuk duduk sebentar dan membicarakan resah yang masuk
tanpa ketuk ke tubuhku.
Aku memaksanya,
ia menjauh—menolakku. Tiga menit sejak semesta kami saling sapa dan tinggal bertemu,
hingga ia keluar membanting keras pintu. Aku membuatnya marah, membuatnya
sakit, membuatnya patah hati.
----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar