Bisakah kamu membayangkan menjadi seseorang yang telah
melalui semuanya sendirian selama hampir empat tahun setelah patah hatimu yang
paling hebat, paling karam, dan paling kelam. Coba bayangkan, kamu tak punya
gairah untuk mengenal orang baru, membuka obrolan, apalagi ada di sebuah
hubungan baru setelah semua yang terjadi padamu. Kamu memilih menarik diri,
menjadikan dirimu sendiri sebagai korban yang tak diketahui siapa-siapa, rasa
sakit yang terus-menerus ada, lebih kamu pilih untuk dipelihara.
Kamu terbiasa melakukannya sendiri, terbiasa hidup
tanpa rasa kasih atau sayang, kamu terbiasa untuk tidak meminta bantuan pada
siapa pun, karena kamu tak lagi percaya pada siapa-siapa. Coba bayangkan ketika
seseorang mencoba masuk ke duniamu, mengenalmu. Kamu tetap tak tertarik, tetap
tak bergairah, karena bagimu orang itu sama saja—tak ada beda dengan yang
terakhir. Atau kamu bahkan berpikir untuk tidak punya hubungan pada siapa pun,
tidak ingin menikah—mengutuk dirimu sendiri.
Lalu lama-kelamaan kamu berpikir sendiri bahwa mungkin
kamu terlalu mengekang dirimu sendiri, sudah kelewat batas menilai bahwa semua
orang sama saja, terlalu sering membandingkan orang-orang pada satu manusia
yang telah dengan kesadaran penuh membuatmu jatuh hingga dasar jurang. Kamu berpikir
untuk membuka hati namun rasanya sulit, semesta tak lagi memihakmu, perasaan
itu terus coba kamu bangun—memang benar membangun optimisme butuh tenaga apalagi
di antara orang-orang yang sengaja melemahkan diri—tak optimistik.
Kamu mencoba membaur, berteman pada siapa pun,
mengenal semua orang, membuka obrolan dengan orang-orang di sekitarmu, kamu
menguji dirimu sendiri. Seberapa banyak kamu membuang waktu untuk menghakimi
diri sendiri, seberapa meruginya kamu karena telah terlalu keras kepala, dan
tak lagi percaya bahwa cinta adalah kekuatan besar, dan karena itu, ia perlu
dikendalikan. Kamu menceritakan kisahmu pada orang-orang yang akhirnya kamu
beri kepercayaan, kamu merasa tenang dan nyaman untuk memuntahkan semua kisah
yang lama menjadi bebanmu.
Saat kamu mulai percaya pada dirimu sendiri, kamu
merasa semesta sepenuhnya memihakmu, seperti memelukmu perlahan, mengelus
lembut kepalamu, dan menyanyikan lagu penenang dengan pelan di kedua telingamu.
Kamu merasa siap untuk membuka diri, meski di dalam hati kecilmu masih ada
sedikit perasaan ragu, merasa takut kejadian empat tahun lalu akan datang dan
membunuhmu sekali lagi. Kamu malu-malu mengungkap dirimu yang baru.
Kamu ingin memulai hidup biasa, mulai terbiasa pada
hal-hal yang memang dilakukan orang lain; mencintai, dicintai, berbahagia, atau
sekadar berpelukan dan berciuman. Lalu satu temanmu menceritakan temannya, kamu
tertarik pada seseorang di dalam cerita temanmu itu. Tanpa sadar senyum selalu
merekah setiap temanmu menyebut nama orang itu, ada percikan di dalam diri yang
awalnya masih terlalu kecil. Lalu kamu mencoba berusaha mengenalnya, pertama
hanya melalui sosial media karena di dalam dirimu masih ada rasa tak percaya
diri. Kamu mulai mengikutinya, mencari semua tentangnya, detail hidupnya, dan
itu membuatmu tambah terpesona.
Kamu sangat bersemangat saat kamu tahu orang itu
meresponmu dengan baik. Kamu menemukan orang baru yang sanggup membuatmu
pelan-pelan membuka diri. Tanpa sadar kamu selalu menceritakan banyak hal
padanya, meskipun kamu baru saja mengenalnya. Bagimu ia seperti malaikat yang
diturunkan tuhan hanya untuk kamu seorang. Hari-harimu diisi olehnya, kamu
bersemangat untuk membuka sebuah hubungan yang membuatmu merasa tenang dan
nyaman. Rasanya ia adalah orang itu, yang kamu butuhkan sejak dulu, lalu kamu
merasa dia tidak datang terlambat, meskipun keberadaannya secara realistis
sangat terlambat.
Kamu berusaha membujuk temanmu agar orang itu bisa
bertemu denganmu. Kamu ingin merasakan apakah debar di dadamu dan getar di
tubuhmu senyata itu. Kamu ingin merasakan bagaimana perasaanmu diluluhkan
seketika, kamu ingin merasakan lagi hati yang hidup setelah empat tahun mati
tanpa penghuni, tanpa seseorang yang mampu dan berani memeliharanya. Temanmu
mengiyakan, iya tahu dari raut mukamu, kamu sedang berada di dalam sebuah cinta
yang menyala merah, meski kamu masih tersesat di dalamnya. Kamu sudah sering
mengobrol hanya melalui ponsel, kamu ingin merasakan kenyataan yang tak kabur
sama sekali. Dan hari itu tiba.
“Saat aku mencoba menatapnya untuk pertama kali, ia
melebarkan senyumnya, memiringkan kepalanya, menatapku tajam namun lembut, ia
menahan senyumnya beberapa detik, sampai satu kata muncul dari bibirnya. Mata
di balik kaca mata bundar itu menyentuh lekuk pipinya, menambah semesta yang
manis. Aku terpesona, ia menyerahkan seluruh tawa dan senyumnya pada detik yang
sama. Dengan aku yang lemah dan tak mampu berbuat apa-apa lagi, hanya terus
berusaha menyimpan debar di dada.” Kamu menulis pertemuan pertama itu dalam
sebuah buku yang biasa kamu bawa ke mana-mana. Sepanjang jalan pulang senyum di
bibirmu terus menukik seperti tendangan bebas Tsubasa yang imajinatif dalam
serial kartun Jepang. Bedanya ini nyata.
Saat kamu sampai di rumahmu yang jaraknya cukup jauh
dari rumahnya, karena terletak di kota yang berbeda. Hatimu menggerakkan untuk
memberi kabar padanya bahwa kamu sudah sampai di rumah dengan aman. Ia senang
mendengar itu, waktu itu pukul satu pagi, dan kamu bertanya kenapa ia belum
tidur padahal sebelum berpisah kamu melihat ia tampak mengantuk. Ia hanya
menjawab bahwa bentuk matanya memang seperti itu, dan menambahkan sebuah
kalimat pada ruang obrolanmu “You need to know me so well,” katanya.
Kamu merasa ini waktunya jujur, bahwa teman-temanmu
sering menggodamu bahwa mereka mendorongmu untuk bisa memiliki hubungan lagi,
teman-temanmu mendorongmu supaya kamu dan dirinya bisa menjadi sepasang
kekasih. Betapa senangnya kamu ia menjawabnya dengan sukacita, ia mengamini
perkataan teman-temanmu. Jantungmu berdebar di dingin malam yang menusuk lembut
kelopak matamu. Kamu memberanikan diri untuk bilang apakah ia mau. Dengan
malu-malu ia menjawab, seperti langit abu-abu, ia menunjukkan ketertarikannya
juga padamu
Setelah itu kamu menyadari, ia punya kisah yang hampir
sama, lama sendiri karena pernah patah hati hebat hingga membuatnya kelam dan
gelap. Kamu merasa punya kesamaan, bahwa ia juga sedang berusaha membuka hati,
dan ia membuka hatinya lebar-lebar untukmu. Lagi-lagi kamu hanya mencoba untuk
jujur, bahwa masih ada perasaan takut. Ia memahamimu sepenuhnya, ia juga
merasakan tapi ia sepenuhnya ingin melawan.
“Because I need someone to love me. Aku lihat ada
ketakutan-ketakutan yang berusaha kamu tutupi dan berusaha kamu lupain dan gak
mau kamu obrolin waktu kita ketemu… But if, if you need someone to talk about
everything. I’m glad to be here for you,” katanya, yang kamu baca dengan pelan,
tanpa sadar kamu mengusap air mata yang menetes membasahi pipimu. Dan kamu
membenarkan itu, tanpa keraguan. Lalu dia bilang akan menunggumu keluar dari
rasa sakit, kamu senang mendengar itu. Ia menunggu untuk perasaanmu. Akhirnya,
ia mengatakan “I love you,” sesuatu yang sudah lama tak kamu terima.
Lalu kamu yakin bahwa ia adalah pendamping hidupmu
untuk selamanya, kamu ingin serius, meski jujur kamu tak terburu-buru untuk
menikah karena banyak target hidup yang belum kamu capai, kamu mecoba jujur
padanya. Dan betapa bahagianya kamu bahwa dia setuju dengan apa yang kamu
pikirkan, bahwa ia juga memikirkan hal yang sama. Tapi akhirnya kamu tahu,
segala sesuatu tak sesempurna yang kita kira. Kamu benar-benar menyadari
perbedaan agama menjadi satu pertanyaan yang menggema di pikiranmu. Kita tak
mungkin mengabaikan itu.
“Sebenarnya yang jadi pertanyaan itu soal agama, aku
pernah kan cerita ke kamu kalau mamaku pengen aku mulai serius sama orang. Tapi
mamaku bebasin aku sih, segala risiko aku yang nanggung karena aku yang jalani.”
Akhirnya kamu mengirim pesan itu, seketika tubuhmu melemah, kamu tak
bersemangat membahas hal ini. Lalu dia mengaku sedih, kamu bertanya kenapa ia sedih.
Sejujurnya ia sedih ketika cinta yang sudah terbuka untukmu harus dipertanyakan
lagi hanya karena produk manusia yang disebut agama.
Kamu menunggu balasan pesanmu selama tiga menit. Ia
tak kunjung merespon, dan sepenuhnya kamu paham. Kamu memutuskan mengirim
sebuah pesan sekali lagi, “Sebenarnya bukan masalah agama, sih. Yaa aku gak
tahu nanti kita kedepannya gimana. Cuma aku punya niat kalau bisa serius, bisa
gak nanti keluargamu terima aku, dan keluargaku terima kamu. Itu yang aku
pikir. Kita perlu cari solusinya bareng-bareng.”
“I love you,” balasnya, dan hanya dengan kata itu, ia
berhasil membuatmu luluh—bahagia. Ada senyum yang terbit sempurna di bibirmu. Dan
kini hidupmu sepenuhnya berbeda. Hanya karena satu orang yang mampu
mengguncangmu. Lalu kau memikirkan satu hal, terus dan terus. Bahwa cinta dan
kasih sayang adalah nikmat semesta alam, ketika ia jatuh kepadamu; kamu tak
perlu mempertanyakan lagi, cukup merasakan sepenuh hati dan menikmatinya.
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar