Pagi yang dingin
menyisakan mimpi yang berat sebelah, aku ingin terus mengingat keindahan di
dalamnya, namun semesta memaksaku untuk lupa. Semalam ada yang bilang bahwa ia
ingin bunuh diri, dan aku kaget setengah mati. Pertama aku bingung harus
berbuat apa, kedua ia bukan teman dekatku. Bisa dibilang kami hanya saling
kenal. Aku gagap, tak paham harus berkata apa. Itu yang membuatku masih ingat
hingga pagi ini. Tubuhku seolah kram, aku butuh tenang dan nyaman, aku butuh
segala sesuatu yang mampu membantuku. Aku butuh pikiran ini untuk istirahat
sejenak, aku butuh bingung untuk merenung.
Ia bercerita
tentang keinginannya untuk bunuh diri, aku yang hitam dan alpa soal ini
sebenarnya takut ketika harus merespon perasaannya, aku belajar dari banyak
hal, orang-orang atau tulisan-tulisan, aku berusaha jujur bahwa aku bingung
harus apa. Ia dengan perasaan yang tenang dan nyaris tanpa ekspresi mengatakan
bahwa ia hanya butuh untuk didengar. Tapi kita selalu tahu, tidak ada yang
benar-benar hanya butuh didengar, sejatinya saat kita ada di masa-masa
terpuruk kita butuh merasa tenang, merasa baik-baik saja, dan kita memercayakan
itu pada seseorang yang bagi kita mungkin bisa membantu.
Aku berusaha
untuk membantunya sedikit melupakan kesakitan yang ia rasakan, aku berusaha
untuk tetap intim berkomunikasi. Untuk terus menggali apa yang ia butuhkan, aku
sudah terjun, setengah badan sudah penuh lumpur, aku tak mungkin mundur, aku
hanya ingin dia baik-baik saja, tanpa harus sering memikirkan hal itu. Bahwa
sesungguhnya wanita itu punya kecerdasan yang membuatku terpesona, caranya
melihat dunia dan memahami manusia lain membuatku jatuh, membuatku nyaman saat
membicarakan banyak hal.
Awalnya
cara-caraku berhasil, ia bergembira saat kami bercerita, setidaknya itu yang
aku rasakan. Aku merasa ia menjadi wanita paling bahagia, paling menikmati
hidup, kami seolah menjadi dua manusia yang lupa segalanya, lupa bagaimana ini
awalnya terjadi, bahkan aku lupa bahwa aku tidak menyimpan rasa apa-apa. Aku
hanya berharap ia baik-baik saja. Bahkan ia sempat mengajakku untuk pergi jauh,
menikmati dunia, memahami makna sunyi dan sepi berdua. Aku senang mendengar
ajakkanya, aku senang ia bahagia.
“Kita belum
pernah ketemu tapi ngobrolnya udah dalem gini,” katanya ketika kami berbicara
tentang bagaimana dunia bersikap pada manusia-manusia yang memahami tindakan di
luar kendali.
“Set a met?”
kataku menawari.
“Boleh.”
“Kamu ada acara
Minggu ini?”
“Ah, aku gak
bisa kalo Minggu, harus ke gereja.”
“I See, Sabtu
malam minggu gimana?”
“Boleh. Tapi
yakin kamu mau ketemu aku?” katanya, setelah lama membalas pesanku.
“Loh kenapa?”
“I’m so dark. .
.”
“It’s fine, I’m
so dark too.”
“Okey. . .”
“Jam tujuh malem
yaa,” kataku mengakhiri pesan, dan benar ia tak membalasnya lagi—hari sudah
larut.
Duniaku, adalah
dunia kata-kata, dunia obrolan. Dunia suara yang langsung keluar dari bibir
penuh cerita. Dari situ, aku suka menyelami keunikan manusia, aku suka
mendengar berbagai hal yang coba ditawarkan orang-orang, aku bahagia dengan
situasi ini, meski segalanya mungkin tak ada arti bagi orang lain. Sejujurnya
hanya dengan berdua berbincang, aku bahagia setengah mati, aku tak perlu sulit
menerjemahkan bagaimana perasaan orang itu, karena ia ada di depanku, aku bisa
membaca kegelisahan setiap orang jika mereka dekat dan tak jauh dari
pandanganku.
Tapi Sabtu
berubah kelam. Pertemuan itu tak pernah terjadi. Aku duduk di tempat yang
seharusnya menjadi awal pertemuan kami, aku berniat untuk memahami segala
motifnya, segala rasa sedih dan rasa takutnya, aku berniat memahami seorang
wanita yang merasa dirinya tak lagi punya arti di dunia ini. Aku duduk
menunggu, hampir dua jam, lalu aku mengirim teks.
“Kita jadi
ketemu kah?” tanyaku, setelah berulang kali menghapus pesan yang hendak
kukirim. Menyesuaikan kata yang tepat dan pas. Aku sangat menjaga perasaannya.
“Eh, Astaga. Sorry,
sorry, aku lupa,” ia langsung membalas.
“Ohyaudah, it’s
fine, aku cuma memastikan, soalnya aku harus nganterin ibuku dulu,” kataku
berbohong.
“Aku gak yakin
kamu mau ketemu aku. . . I’m so dark, seriously.”
“I don’t care,”
kataku singkat—pergi dari tempat itu.
“Kok kamu gitu
ngomongnya? Jahat banget,” aku membacanya ketika berada di atas kendaraanku,
aku bingung, merenung. Seharusnya bukan itu, amarah meredam, aku salah, aku
menyakitinya.
“Sorry, maksudku
I don’t care, aku bukan orang yang lihat fisik, aku gak peduli itu. Kita sudah
janji ketemu dan ngobrol. Aku cuma butuh itu,” aku menunggu tiga menit, duduk
di kendaraanku, tanpa menyalakan mesinnya. Ia belum membalas—hingga tulisan ini
kamu baca.
-----
Saya mengapresiasi karya mu,saya suka.
ReplyDeletesuka sama tulisannya?
Delete