Aku
terbangun, sekali lagi. Pada sebuah perjalanan waktu yang gagal total. Kali
ini, setelah berkedip berulang kali, aku menyadari ada di sebuah perkantoran.
Aku berdiri di antara meja dan kursi kayu cokelat yang ditata rapi. Di
sekelilingnya dinding kaca menghalangi warna senja yang agak muram karena
mendung sore itu. Aku duduk di satu meja dengan peralatan komputer terbaru,
awalnya, kupikir aku sendirian. Tapi setelah mengedarkan pandang ke seluruh
ruangan, aku menyadari ada seorang perempuan duduk di belakangku, tak jauh dari situ.
Aku
mengenalnya, ia dengan rambut menyentuh pundak tersenyum sebelum aku sempat
mengirim senyumku. Bibirnya merah merona, matanya gelap sempurna, ia cantik
dengan blus longgar berwarna putih dengan jam mungil di tangan kanannya.
“Hai,”
ia menyapaku, melambaikan tangan seolah kami berjauh-jauhan.
“Loh
kamu kok di sini?” kataku setelah mengolah informasi di otakku tentang
keberadaannya yang tiba-tiba.
“Aku
kerja paruh waktu di sini.”
“Serius?”
tanyaku sedikit menarik tubuh—tak percaya.
“Iya,
jadi aku dulu di sini, sebelum kamu,” ia masih dengan senyum di balik bibir
meronanya. Mengabaikan layar komputer yang tak kuketahui menampilkan apa.
Aku
bangkit dari tempatku, menghampirinya. Aku melihat matanya yang membesar indah,
seperti seorang yang akhirnya bertemu sang kekasih setelah sekian lama tak
bertemu. Aku mengulurkan tangan, ia menyambutnya dengan senang hati. Sedetik
saat tangan kami bersentuhan, ruangan tiba-tiba luruh, kami tak lagi berada di
perkantoran dengan dinding-dinding kaca. Aku bingung menatap sekitar, perempuan
itu tetap diam—tenang, ia memelukku di antara hiruk-pikuk
pesta dansa.
Satu
tangannya menyentuh lembut pundakku, ia berbisik di telingaku;
“Nikmati
malam ini, sayang. Bawa aku pergi dari ruang mimpimu,” aku menatapnya, mata itu
menghindar. Masih dengan sentuhan lembut itu, ia menempelkan hidungnya pada
pundak lainnya. Alunan musik klasik pelan-pelan terdengar sporadik di
telingaku. Aku melingkarkan tangan pada pinggangnya, kami sempurna seperti
penari dansa profesional di tengah hiruk pikuk kebisingan orang-orang.
Kupejamkan
mata, ia masih bisa kurasakan di sekujur tubuh, gerak-geriknya yang
pelan-mempesona, hingga deru napasnya yang menyentuh leherku. Aku merasa berada
di rumah; tempat segala rasa nyaman ditemukan. Lalu saat aku membuka mata,
ruangan itu sepi, tak ada lagi perempuan itu. Hanya aku sendiri.
Kupejamkan mata sekali lagi, berharap semuanya kembali. Namun tak lagi terjadi apa-apa, aku berkedip cepat, hingga menemukan diriku berada di jalanan malam, aku melihat perempuan itu menggandeng tanganku, ia ada di depan--mengajakku berlari. Jalanan itu sepi, lampu lalu lintas hanya berkedip kuning setiap kali. Ia makin kencang membawaku berlari, makin kencang hingga rasanya aku memasuki sebuah portal infinite, seketika ia hilang. Sebelum aku menyadari, aku masih dalam kecepatan lari yang konstan, hingga benar-benar berhenti. Aku terbangun dalam mimpi pagi di ranjang tidurku yang berantakkan, dengan kebingungan membekukan tubuhku.
----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar