Akhir-akhir ini ada dua gejala yang sedang menjangkiti
masyarakat kita, barangkali kita sering menemukan seseorang di sosial media yang
postingannya mengarah ke satu subjek pembicaraan yaitu bunuh diri. Yang kedua para
wanita muda yang buru-buru ingin menikah. Seolah memang hanya itu yang mereka
inginkan. Dua hal ini jika dianalisis lebih jauh punya satu alasan yang
menguatkan argumen kenapa dua gejala itu ada. Yaitu: Ketidakmampuan manusia
untuk menjalani hidup yang serba tidak pasti.
Mereka lebih tepatnya merasakan ketidaknyamanan di
kehidupannya sehari-hari, mungkin karena lingkungan atau barangkali karena
dirinya sendiri yang menolak untuk “bergabung” dengan subjek sosial. Padahal
merasa tidak nyaman bukan berarti harus mengorbankan dirinya, terlebih lagi
jika membenarkan bunuh diri sebagai bentuk pelepasan tubuh pada alam semesta.
Bahwa mati bukanlah kehampaan, mati bukanlah lepas dari segala yang ada di alam
semesta.
Ketidakmampuan manusia untuk menangkap simbol atau
tanda-tanda dari semesta raya menyebabkan pandangan mereka seputar dunia hanya
sebatas hitam dan putih, pola pikir yang melulu dari A ke B. Bahwa alam raya
adalah ketidakteraturan yang teratur. Sesuatu yang kita anggap tidak teratur
dan tidak memiliki pola sebetulnya memiliki keduanya, hanya kita sebagai
manusia seiring berkembangnya teknologi rasanya sering mudah menyerah untuk
mengampangkan segala hal dan tidak lagi mau ambil pusing.
Ernst Cassirer mengumandangkan kredo bahwa manusia adalah
'binatang simbolik' (animal symbolicum). Dunia manusia adalah dunia yang
diciptakan melalui bentuk-bentuk simbolik pemikiran manusia yang bisa kita
temukan pada bahasa, filsafat, pendidikan, sains, pakaian, seni, dan/atau apa
pun yang bertungkus lumus dengan manusia.
Kecerdasan semiotik erat kaitannya dengan pendidikan, dan
pendidikan (seharusnya) erat kaitannya dengan pengalaman yang dialami
sehari-hari. Manusia tanpa pengalaman hanya akan menjadi benda yang tak
memiliki rasa sekalipun jiwa. Filsafat sekalipun adalah tentang pengalaman;
bagaimana kita mampu menangkap “tanda” dari semesta raya. Sedangkan ilmu
filsafat sebetulnya hanya sebatas pengantar kepada filsafat sesungguhnya. Ia
mengantarkan kita pada pintu yang tertutup, untuk membukanya menjadi tugas kita
(dengan pengalaman).
Sayangnya pendidikan kita kini menciptakan manusia dengan
pola pikir dari A ke B, padahal untuk menganalisis suatu perkara perlu banyak
subjek yang harus diteliti untuk mencapai kesimpulan purna. Pola pikir ini lah
yang menjadi sebab kenapa belakangan ini Hoaks berkembang secara membabi buta,
ketidakmampuan manusia untuk berpikir secara holistik menyebabkan jatuhnya
banyak korban, yang dalam hal ini kita sebuat otak dan pikiran manusia.
Manusia hanya perlu rileks untuk menghadapi realita hidup
yang memang terus bergulir. Tidak semuanya harus ditanggapi dengan keparnoan
tingkat tinggi, barangkali keparnoan-keparnoan ini juga berasal dari
ketidakmampuan orang untuk berpikir menyeluruh. Mereka hanya memandang dunia
sebatas hitam dan putih. Bahwa suatu permasalahan pasti hanya punya satu
jawaban, padahal tidak bisa langsung dikatakan seperti itu.
Dunia yang mulai sekarat ini menuntut kita untuk tetap
menjadi waras. Dan untuk menjadi waras barangkali kuncinya hanya satu; Memahami
manusia (sebagai subjek sosial yang perlu ditolong).
----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar