Aku melihat hujan yang murung di teras rumahmu,
di sana kau pernah berdiri menangis
berlutut pada lantai penuh debu.
Tangismu serupa matari yang hangat,
memohon seorang keluar
dalam luka yang merah padam.
Aku sendiri duduk di balik pintu
mendengar kata-kata
yang lirih terhapus angin.
Lebihlagi rindu mengakar keras tak bersuara
seperti seorang ibu yang risau menunggu seorang anak pulang.
Kau tahu aku ingin jadi mata bagi masa lalumu yang buta,
melihat kau menjelma sepasang buahbaju
di kain beledu milik tetangga rumahku.
Aku ingin membunuh realita
seperti saat taman penuh warna itu
hanya jadi tempat pengasingan
Lalu aku akan bertanya
sekali lagi
Sudahkah kau memimpikanku?
Karena aku selalu.
Semarang, 9 Januari 2017
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar