Ruang tunggu stasiun kembali sepi, deretan antrean
para penumpang di depan pintu masuk berangsur menghilang. Kereta menuju Surabaya
telah berada di jalur satu lima menit yang lalu, petugas terus memberitahu
penumpang yang ingin menuju Surabaya untuk segera naik ke rangkaian kereta. Lima
menit kemudian peluit tanda dari kepala stasiun keras terdengar, kereta
perlahan mulai meninggalkanku—menghilang dengan suara gesekkan roda pada rel.
Lima belas menit lagi malam akan berlalu, keretaku
masih tiga jam lagi. Di ruang tunggu itu tersisa aku dan sepasang kekasih yang
asik membagi earphone pada telinga masing-masing. Juga para pengaman stasiun yang
mulai berganti tugas, mereka menutup pintu besar menuju peron. Lalu ke luar melalui
pintu masuk ruang tunggu. Aku mengambil buku di dalam tas, mengambil pembatas
di tengah-tengah buku lalu mulai membaca.
Ruangan itu tenang, tidak ada suara-suara musik yang
menggema, tempat yang pas untuk membaca barangkali juga untuk menulis. Tapi aku
tidak sedang berhasrat menuliskan sesuatu malam itu. Aku memang kesulitan jika
harus membaca di tempat-tempat yang berisik dan dipenuhi suara-suara, bagiku
proses membaca sama halnya dengan ibadah—dibutuhkan ketenangan untuk khusyuk.
Pun juga menulis.
Sayangnya, di kota ini sangat sulit menemukan
tempat-tempat yang tenang untuk menulis. Bahkan sekalipun rasanya sulit
menemukan satu tempat saja. Hampir semua pemilik kafe memutar lagu-lagu di
tempatnya, mereka memutarnya keras-keras seakan tidak mengizinkan sebuah
obrolan bergulir di meja-mejanya. Karena hal itu aku samasekali tidak pernah
menulis dan membaca di tempat-tempat itu. Di kafe yang penuh sesak oleh
manusia-manusia sarkastik.
Buku yang kubawa sudah terbaca lebih dari setengahnya,
sebuah roman sejarah yang mengantarkan penulisnya masuk dalam nominasi penerima
nobel sastra. Sepasang kekasih yang duduk tidak jauh dariku berulang kali
menatapku penuh senyum, aku sesekali melirik membuat mereka memalingkan
pandang.
Jam stasiun berdentang, sudah tengah malam. Pendulum
pada jam itu bergerak sebanyak dua belas kali ke kanan dan kiri. Aku menaruh
pembatas di sela-sela halaman 276 dan 277 lalu menutup buku. Aku mengambil
ponsel, membuka Instagram lalu memotret dinding-dinding stasiun dengan
arsitektur bergaya belanda itu. Stories itu kutambahkan kata-kata dalam buku
yang kubaca “Seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran apalagi
dalam perbuatan.”
Belum lagi aku mengunci layar ponsel, satu pesan masuk
ke instagramku. Seorang membalas stories yang baru saja aku bagi. Wanita itu
merasa butuh diyakinkan bahwa aku sedang berada di sebuah stasiun dan hendak
pergi ke Jakarta menggunakan kereta. Ia menanyakan jam keberangkatan keretaku,
aku membalasnya. Dan aku sedikit kaget saat wanita itu mengatakan ingin
menyusulku. Aku mengiyakan, tidak mungkin kutolak. Karena menolak seorang
wanita berarti bunuh diri.
Aku membuka buku, melihat sepasang kekasih itu
menekur, si Pria melipat kedua tangannya di dada, si Wanita sedikit bersandar
pada pundak kekasihnya. Aku tersenyum lalu meneruskan membaca. Rasanya aku akan
mati kutu jika malam itu tidak membawa buku dalam tas. Aku
tidak terlalu bersahabat dengan ponsel, sebuah benda yang mematikan pikiran
manusia. Ponsel pintar telah sedikit banyak mengubah manusia menjadi sesuatu
yang lain, sesuatu yang pelan-pelan akan menghancurkan penggunanya tanpa
disadari.
Imajinasiku terbawa ke masa kolonial, persis di dalam
latar roman sejarah yang kubaca. Berulang kali aku terkesima di dalam pikiranku
sendiri, betapa hebatnya penulis menciptakan adegan yang sangat detail dan juga
mencipta seorang tokoh yang manis manja—membuatku merasa gemas. Imajinasiku
menjadi buyar saat melihat pantulan bayangan di ubin. Aku
mendongak, wanita itu berdiri di depanku dengan baju terusan hitam tanpa lengan.
Ia memakai sepatu kets putih, tersenyum lalu menyalamiku.
Buru-buru aku merapikan bacaan—memasang pembatas
lalu menutup buku, menyilakan wanita itu duduk di sampingku.
“Gimana, Re?”
“Biasa, Hid,” ia tersenyum, seperti telah biasanya aku
melihat senyum kentara itu.
“Kenapa?” tanyaku memastikan. Ia masih memandangiku
berharap aku mengerti apa yang ia maksud.
“Jangan di sini,” senyumku—bangkit berdiri, memasukkan
buku dalam tas lalu meninggalkan ruang tunggu bersama wanita itu.
“Kamu naik apa ke sini?”
“Biasa. Si Merah,” wanita itu mengejar langkahku.
“Yaudah yuk ke luar, aku laper,” aku mengelus perut berulang kali, melihat wanita itu tersenyum dengan gigi yang sedikit terlihat.
“Eh kenapa? Kok ketawa?”
“Enggak, kamu lucu ya kalo lagi laper,” tawa kami lepas. Wanita itu mendahuluiku ia menekan tombol pada kunci mobilnya. Dua lampu
kuning menyala, bunyinya singkat terdengar. Ia masuk sebelum aku. Mobil
dinyalakan, ia mengecek ponselnya untuk beberapa saat lalu menaruhnya di
samping kursi kemudi.
“Mau makan di mana?” tanyanya.
“McD? Lagi ada promo, beli satu gratis satu.”
“Duh, overrated, Hid,” wanita itu fokus
menyetir keluar dari parkiran stasiun.
“Hmm, apayaa. Cuma kepikiran itu.”
“Coba pikir-pikir lagi,” ia membuka kaca mobil—membayar
parkir, tersenyum, mengucapkan terima kasih, lalu menutupnya. Mobil melewati
daerah wisata yang belakangan mulai dirombak oleh pemerintah kota. Sebuah kota
dengan gaya arsitektur belanda, masih sedikit ada keramaian di kanan dan kiri
jalan. Dan aku belum terpikirkan tempat lain.
“Kamu suka sate, nggak? Ada Sate Padang enak dekat
sini,” ia singkat melihatku.
“Boleh,” aku mengangguk—sungkan tersenyum.
Kami terdiam cukup lama sebelum wanita itu menyalakan
radio. Berusaha membagi fokus antara menyetir dan mencari frekuensi.
“Sini aku aja,” kataku mengambil alih radio—sedikit menyentuh
tangannya sebelum wanita itu menarik dan kembali memegang kemudi. Aku berhenti
memutar tombol frekuensi saat mendengar salah satu lagu kesukaanku.
“Selera kita sama,” katanya melirik radio.
“Maksudnya?” tanyaku.
“Kodaline,” ia tersenyum tanpa melihatku. Dalam
beberapa lirik, tanpa aba-aba kami berdua bernyanyi. Lagu All I Want seolah
menjadi terjemahan apa yang sedang wanita itu rasakan.
Aku melihat air mukanya yang berubah saat lagu masuk
pada chorus, hingga pada reff air mata membasahi pipinya. Aku sengaja tidak
langsung bertanya, tapi perasaanku seolah ikut merasakan tangisnya.
“Kamu kenapa, Re?” tanyaku setelah ia menghapus basah
di pipinya.
“Aku tuh nggak tahu, kenapa setiap galau yang aku cari
selalu kamu.”
“Lagi galau? Apa lagi gak yakin?”
“Tuh kan, aku belum mulai kamu udah bener,” senyumnya
mengarah padaku.
“Kenapa lagi sih, Re? Aku tuh suka bingung sendiri,
kamu udah punya pacar yang katanya sayang banget sama kamu, tapi kenapa kamu
masih aja sering merasa sedih. Belum lagi tiga hari kamu curhat ke aku. Udah
cerita lagi.”
“Ih kamu, mah,” ia terdiam, tampak dari raut wajahnya
sedang mengiyakan kata-kataku.
Asap dari pembakaran Sate Padang tampak dari kejauhan,
sebuah gerobak yang berhenti di salah satu sudut trotoar, wanita itu berhenti
tepat di samping gerobak, membuka kaca jendela di sampingku. Ia memesan dua
porsi, lalu mematikan mesin mobil—membuka jendela mobil, membiarkan angin
masuk.
“Aku nggak akan cerita, karena pasti kamu tahu semua
yang bakal aku sampein. Aku cuma butuh merasa tenang, dan setahu aku cuma kamu
yang bisa kasih itu setiap aku mengalami masa-masa ini.”
“Ah, kamu, Re. Apalah aku yang gak tahu cinta ini,”
balasku mengelak.
“Kan gitu, suka sombong kamu, ah” ia mencubit
lenganku. Sedikit kesakitan aku mengelus lenganku tepat ia mencubit.
“Kamu merasa gimana sekarang?”
“Gimana ya, Hid. Berasa nggak ada bedanya punya pacar
sama nggak punya.”
“Ya karena hubunganmu udah lama banget, hampir empat
tahun, kan?” kataku memastikan.
“Mungkin juga, tapi gimana yaa…” kata-katanya
menggantung. Dua porsi Sate Padang telah jadi, istri pemiliknya sendiri yang menghantarkan.
Kami berdua mengucap terima kasih, memakannya di dalam mobil.
“Sekarang aku mau tanya,” kataku lalu memakan satu
tusuk sate. “Buatmu cinta itu apa?” satu tusuk telah terpisah dari daging sate
yang kenikmatannya tidak lagi bisa ditawar. Wanita itu sudah menghabiskan tiga
tusuk.
“Wah kalo itu bakal multitafsir, Hid.”
“I know, bagi kamu yang udah hampir empat tahun ini
apa maknanya? Aku mau tahu.”
“Capek.”
“Maksudnya?”
“Cinta itu bikin capek. Rasanya kita seperti menghamba
tanpa perasaan yang pasti. Menghamba pada sesuatu yang kita sendiri gak yakin...
Iya gak, sih?” wanita itu juga tidak yakin dengan kata-katanya.
“Aku gak tahu, yang pasti aku hargai pendapatmu,”
kataku mengangkat kedua bahu, sembari terus menikmati tusuk demi tusuk Sate
Padang.
“Kalo kamu, Hid?” Sate Padang di piring wanita itu
telah habis, ia mengambil botol minum di samping kursinya, meminumnya buru-buru—menahan
pedas yang panas di bibir.
“Dari banyaknya makna cinta, aku tetap percaya satu
hal, Re. Bahwa cinta adalah kekuatan yang membuat kita tergerak.”
“Dalam hal?” ia merasa butuh diyakinkan.
“Apa pun. Kenapa seseorang mau datang ke rumah
pacarnya waktu hujan deras cuma buat nganter barang yang ketinggalan misalnya,
dia tergerak karena apa? Dia bergerak dari rumahnya ke tempat lain karena apa
kalo bukan karena cinta? Terus kamu, dari rumah ke stasiun. Kita di sini,
karena apa?”
“Bentar, kamu bukan mau bilang kalo aku nyamperin kamu
karena cinta, kan?” Ia mencoba mengelak.
“Ya aku nggak tahu, kan kamu yang rasain. Inget, Re.
Kita sendiri nggak pernah tahu perasaan yang ada di dalam diri bisa disebut cinta atau bukan. Dan kapan tepatnya kita bisa menyebut kalo itu perasaan cinta. Kita
semua nggak ada yang tahu.”
Tusuk terakhir habis di piringku, wanita itu terdiam—ia
masih menatapku, airmukanya berubah sejuk dan menenangkan. Ia menyerahkan
piring padaku, aku mengembalikkan lalu membayar. Tidak lupa tersenyum dan
mengucapkan terima kasih. Aku minta izin meminum air milik wanita itu. Ia masih
terus menatapku, aku tidak menghiraukan. Sesekali aku melirik saat meminum air
yang tinggal setengah di dalam botol.
Ia menutup kedua jendela, aku menaruh botol air ke
tempat semula, ia masih menatapku. Aku balas tersenyum, ia membalas senyumku.
Ia menggeleng pelan, seperti sedang terkesima melihat sesuatu yang mewah. Aku
sengaja tidak membuka suara, hanya memainkan mimik muka, tanpa diduga wanita
itu mendekat cepat, mencium bibirku pelan—tanpa tergesa. Bulu roma ditanganku
berdiri merasakan koneksi itu. Aku terdiam, kurang dari lima detik wanita itu
melepas bibirnya dari bibirku.
“Apa ini?” tanyaku menutup bibir. Ia hanya tersenyum,
lalu menyalakan mobil. Melihat ponselnya sebentar.
“Gak kerasa udah jam segini, yuk balik,” aku tidak
membalasnya, hanya mengangguk pelan. Mobil itu meninggalkan gerobak sate dengan
bunyi klakson dua kali, tanda berpamitan. Membuat siapa pun yang berada di sana
merasa ditinggalkan. Pemiliknya melambaikan tangan—tanda terima kasih.
Laju mobil itu lebih kencang dari sebelumnya. Kami
terdiam, tidak ada lagi suara dari radio. Wanita itu benar-benar melapangkan
wajahnya ke depan mobil—fokus menyetir. Aku sesekali melihatnya, bibir yang
basah itu masih belum lagi ia sentuh setelah ciuman itu.
Stasiun tidak jauh lagi, rel kereta mulai terlihat.
Mobil berhenti pada perlintasan kereta. Malam telah lewat, sekitar satu jam
lagi keretaku berangkat. Tiba-tiba wanita itu menatapku dengan senyum yang
mengembang, gincu di bibirnya merona seperti dilapisi emas duapuluh empat
karat.
“Sorry ya, Hid,” suaranya pelan, aku tahu jantungnya
berdebar kencang—terlihat dari napasnya yang memburu. Aku tersenyum, ia membalas—kami
berdua saling tatap. Suara kereta mulai terdengar. Aku mendekati wanita itu,
berulang kali memindahkan pandang dari mata ke bibir dan sebaliknya. Wanita itu
tidak mengelak, bibir kami bersentuhan tepat ketika kereta api lewat di pintu
perlintasan. Ia menggigit bibirku, begitu juga aku. Tampak buru-buru, tidak seperti sebelumnya. Aku
merasakan napasnya menyentuh kulitku. Aku melepas ciuman itu saat pintu
perlintasan terbuka, ia sedikit menyentuh bibirnya sebelum memacu mobil.
Kami saling diam sampai mobil kami terparkir di depan
stasiun. Wanita itu mengiringku menuju ruang tunggu, duduk di sampingku. Dan
masih terdiam, sepasang kekasih yang tadi duduk tidak jauh dari tempatku sudah
hilang tanpa jejak. Wanita itu duduk menghadap padaku, ia memangku satu
kakinya. Tangan kanannya menahan pipi, ia memandangiku penuh cinta. Aku
kikuk, tidak lagi mampu berkata-kata.
Aku mengambil buku di dalam tasku, melanjutkan membaca
dan wanita itu masih terus memandangiku. Ruang tunggu mulai ramai dipenuhi para
penumpang yang menaiki kereta sama denganku. Beberapa orang mengarahkan
pandangnya padaku dan wanita di sampingku. Sesekali aku melirik, melihat wanita
itu ikut membaca. Aku melihat kakinya yang putih mulus dengan tato bunga mawar merah
di atas mata kaki.
Sampai saat keretaku pelan-pelan memasuki jalur satu,
aku merapikan bawaanku. Memasukkan lagi buku pada tempatnya. Aku bangkit
berdiri, wanita itu tersenyum menatapku, lalu memelekku—cukup lama, menyerahkan
seluruh kasihnya padaku. Dengan terbata aku ikut memeluknya—mengelus punggungnya
perlahan, mencium pipinya lalu berpamitan. Ia melambaikan tangan, aku masuk ke rangkaian
kereta meninggalkan debar jantung pada jejak langkah hingga pelupuk matanya.
Hari itu satu lagi cinta tumbuh di antara dua manusia.
Aku terus terpikirkan wanita itu sepenjang hampir tujuh jam perjalanan menuju
Jakarta, penumpang lain tertidur pulas aku terus terjaga dengan kenangan yang
baru saja kubuat sendiri. Aku menunggu wanita itu menghubungiku, terus menunggu
sampai akhirnya dia mengirimkan pesan tepat ketika aku sampai stasiun Jakarta.
Aku tersenyum membaca sapa paginya sambil melihat seorang penjemput melambaikan
tangan. Aku memasukkan ponsel pada saku celana, memeluk wanita yang menjemputku
lalu mencium singkat bibirnya.
----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar