Mari
kita bermain sebuah game, oke bilang saja ini permainan. Aku akan memberikan
sebuah pertanyaan yang boleh kamu jawab boleh tidak. Tapi aku yakin kamu akan
merenungkan hal ini. Jika
kamu disuruh memilih, mana yang akan kamu pilih: Menikah dengan orang yang kamu
cintai saat ini tapi sepuluh tahun lagi, atau. Menikah kurang dari sepuluh tahun
lagi tapi tidak dengan seseorang yang kamu cinta saat ini.
Aku
menanyakan hal ini ke beberapa orang, pria dan wanita. Kebanyakan dari wanita
yang kutanyai memilih pilihan kedua. Sedangkan para pria memilih pilihan yang pertama.
Ini sedikit banyak meyakinkan dugaanku terhadap sesuatu. Apakah benar para pria
adalah makhluk yang lebih setia, lebih yakin daripada wanita? Jika iya
barangkali kita harus bersyukur karena banyak yang kita dengar sehari-hari
tidak seperti itu.
Kebanyakan
wanita yang menjawab pilihan kedua beralasan sesuatu yang realistis, aku
sendiri memaklumi itu. Tapi ketika aku menjawab; “Berarti menikah atas nama
cinta itu bullshit, ya?” mereka masing-masing tertegun, seperti ingin mengganti
pilihannya. Lalu apakah benar cinta hanya sebatas alasan palsu yang sering kita
pakai untuk mendapatkan seseorang? Jika memang salah, mengapa kebanyakan wanita
memilih yang kedua? Apakah benar tanpa cinta kita bisa menjalin hubungan dengan
orang lain?
Mungkin
memang benar, sejak abad pertengahan manusia tidak lagi “jatuh cinta” karena
cinta. Kita hanya mengatasnamakan cinta untuk alasan yang sebetulnya bukan itu.
Mungkin juga kamu pernah menemui seorang wanita entah di dunia nyata atau maya
memberitahu kita tentang tipe pria yang akan ia nikahi, kita tidak asing dengan
kata-kata ini; “Aku harus menikah dengan pria yang mapan,” seolah sulit sekali
mereka bilang “pria yang kaya raya.” Inginnya setelah menikah mereka nyaman
karena suaminya sudah memberikan hak dan kewajiban soal keuangan. Tapi apakah
itu adil bagi pria? Seoalah ia menikahi harta suaminya bukan suaminya sendiri.
Kita
juga tidak bisa buta, memang ada para wanita yang akhirnya menikah dengan
seseorang yang “mapan,” dan meninggalkan seseorang yang benar-benar dicintainya
untuk hal itu—kebanyakan public figure melakukan hal itu. Dan akhirnya hidupnya
nyaman, aman, tidak perlu bekerja. Belum lagi mungkin anak akan diurus oleh
pembantu. Coba ketika kita balik, pria yang berlagak seperti wanita barusan?
Aneh bukan? Bahkan mungkin kedengarannya tidak ada.
No,
aku tidak sedang mengkerdilkan peran wanita. Tapi ini pengalaman apa yang aku
lihat dan dengar, bisajadi yang kamu lihat tidak seperti itu. Lantas mungkinkah
kita hidup di abad kepalsuan? Semua yang ada hanyalah hal-hal palsu yang
dibuat-buat. Lantas apa bedanya “mereka” dengan pelacur? Bisajadi bedanya;
pelacur melacurkan diri untuk uang pada banyak orang, “wanita itu” melacurkan
diri hanya pada satu pria demi uang belanja dan tentu kenyamanannya.
Menikah
itu alamiah, tapi jangan main-main untuk hal itu.
----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar