Ini
minggu yang menggairahkan buatku, pertama karena album Payung Teduh – Ruang Tunggu
sudah rilis. Mendengar lagu-lagu di dalamnya aku jadi teringat sajak-sajak
Pablo Neruda yang membicarakan cinta dan humanisme, juga seperti membaca kalimat-kalimat
Haruki Murakami yang tulus apa adanya. Kedua karena seorang wanita tiba-tiba
menghubungiku melalui Whatsapp, ia kembali menjadikanku rumahnya untuk curhat.
Aku langsung bisa menebak wanita ini baru saja mengalami putus cinta.
Awalnya
memang wanita ini sering menceritakan banyak hal, tapi beberapa bulan yang lalu
ia memblokir semua sosial mediaku karena mungkin kekasihnya yang posesif atau
barangkali dirinya sendiri yang terlalu parno kalau-kalau hubungannya bisa
rusak hanya karena satu orang yang tak berniat apa-apa atas dirinya (Baca:
Aku). Jujur aku tidak memasalahkan hal-hal semacam ini, karena begitu sering
aku mengalaminya.
Aku
suka ketika seseorang datang saat ia sedang membutuhkan, artinya aku
dibutuhkan, artinya orang itu sempat memikirkan kemungkinan aku untuk
menyelesaikan masalahnya atau sekadar bercerita tentang hari-harinya—artinya dia
memikirkanku. Aku suka hal-hal sederhana semacam ini, mendengarkan
celotehan-celotehan kecil dari orang lain, meski hati sendiri berulangkali
minta diobati.
Para
wanita yang patah hatinya adalah makhluk paling rentan. Sialnya banyak pria
yang memanfaatkan kerentanan itu. Mereka mengambil kesempatan dalam kesempitan,
bukannya berusaha ikut mengobati rasa sakitnya, mereka justru mengambil alih
perasaan yang seharusnya disembuhkan lebih dulu sebelum masuk dunia dan
hubungan yang baru. Mungkin dari sana istilah “pelarian” ditemukan dan muncul
ke permukaan.
Aku
membenci pria-pria semacam ini, mereka tidak bertanggung jawab, entah pikiran
mereka ada di mana. Mereka tak memiliki batas yang seharusnya dimiliki setiap
orang, bukannya malah menunggu orang menunjukkan batasnya. Pria-pria semacam
ini harus dijauhi atau bila perlu dimusnahkan dari muka bumi. Aku tidak sedang
bercanda untuk hal ini.
Adalagi
teman-teman kelas yang sungguh sangat menyebalkan karena pikirannya yang
sempit, mereka tak memiliki kemampuan analisis purna tapi lagaknya berasa yang
paling cerdas. Mereka menelan mentah-mentah setiap kata dari seseorang yang
dituakan. Padahal jika mereka mampu melihatnya dari sudut pandang lain,
sesungguhnya pikiran kita sedang dipermainkan.
Belakangan
aku sering bertemu para pengajar yang ujung-ujungnya seperti mendoktrin,
mepropagandakan sesuatu, mereka membicarakan hal-hal yang tak ada hubungannya
dengan ilmu yang seharusnya dan seperlunya disampaikan. Mungkin benar kata
bapak, radikalisme sekarang disampaikan lewat bangku-bangku sekolah atau kuliah
melalui pengajar yang juga radikal dan mungkin otaknya sering masuk ke selokan.
Sialnya
kebodohan-kebodohan macam ini bisa sangat mudah kita temui pada wanita-wanita.
Entah apa yang sedang terjadi di pikiran dan hati mereka. Seolah mereka tidak
kokoh, tidak memiliki idealisme yang seharusnya sudah menempel pada tiap orang
sejak ia dilahirkan. Kita mungkin sering melihat seorang wanita yang bernafsu
untuk dinikahi atau ingin memiliki pacar lewat kode-kode yang disampaikan lewat
sosial medianya. Mereka mungkin tak berpikir bahwa seorang pria akan menikah
ketika mereka siap dan ketika wanitanya memang pantas untuk dinikahi. Maka dari
itu pantaskan dirimu, bukannya justru merendahkan diri seperti hewan melata.
Minggu
ini juga jadi minggu yang membuat saya banyak tertawa, seorang wanita tiba-tiba
entah dari mana, analisis semacam apa menganggap diri saya seorang Gay hanya
karena saya mendukung kemerdekaan kaum LGBT. Dunia memang bisa hancur lebur
jika pemikiran-pemikiran macam ini dibiarkan berkeliaran di sekitar kita,
orang-orang yang tak paham apa-apa tapi berlagak paling tahu segalanya hanya
untuk dibilang pintar, padahal tololnya bukan main.
Saya
mendukung kemerdekaan mereka bukan berarti saya mendukung praktek perzinahan,
danlagi narasi-narasi yang terus digaungkan soal “kumpul kebo” disampaikan oleh
orang-orang yang menurut sepenglihatan saya justru orang-orang yang alim.
Pertanyaannya jika orang-orang gay disebut kumpul kebo, lalu teman-temanmu
sepasang kekasih yang suka melampiaskan nafsunya di kamar kos kau sebut kumpul
apa? Kumpul tai? Atau kumpul asu? Biasakan memahami segalanya bukan dengan
klaim tertutup atau cuma ikut-ikutan orang lain, ingat kita punya otak—itu dikasih
gratis oleh Tuhan. Maka pakailah!
Sekian.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar