Joseph
M. Boggs dalam bukunya The Art Of
Watching Films, mengemukakan bahwa “Film sinematik adalah yang mampu
menciptakan ilusi kedalaman, ia mengubah layar datar menjadi sebuah jendela
untuk penonton mampu melihat suatu dunia tiga dimensi.” Film Marlina Si
Pembunuh dalam Empat Babak mampu menciptakan “kesan” seolah layar putih
bukanlah permukaan datar, ia bertransformasi menjadi sebuah “jendela” yang
mampu menciptakan “ilusi kedalaman,” dan membentuk suatu dunia tiga dimensi.
Terutama
untuk Tata Suara film ini yang menjadi sebab kita seperti menonton sebuah
pertunjukkan tiga dimensi, film ini seolah menarik saya masuk ke dalam layar—ke
dalam film itu sendiri, melihat Marlina langsung yang terkesan kesepian,
terlihat dari raut mukanya. Seperti melihat sebuah pertunjukkan teater yang
sangat memukau, scene-scene tempat makan di dalam rumah Marlina seperti sebuah
panggung teater satu babak yang memaksa kita untuk tetap fokus pada gambar itu.
Belum
lagi film ini menciptakan “ilusi kedalaman” bahwa sepanjang film Marlina
mengajak bicara penontonnya, salahsatu scene saat empat pria mati terkapar
setelah memakan sup ayam adalah contoh nyata, setelah itu Marlina menatap tajam
mata lensa, dengan permainan mimik muka yang sangat baik, ini seperti penegasan
bahwa hal itu dibuat semata-mata bukan hanya untuk kepentingan gambar saja.
Film
ini sudah memukau sejak awal, sejak gambar dibuka dengan font “Babak I” dengan
musik etnik yang terdengar seperti kentongan yang dipukul terstruktur, rapi dengan tempo yang diatur sepersekian detik, ia
mengiringi musik lain dan menjadi "pengatur tempo" yang keduanya menyatu dengan amat baik. Bukan lagi
sekadar memanjakan mata namun jelas telinga juga ikut termanjakan. Film ini
memukau hingga detail terkecil artistiknya; dapur, warung, kantor polisi.
Semuanya mampu seimbang mengambil bagian untuk memanjakan mata pentonton, tanpa
perlu memaksakan semua yang ada untuk masuk dalam satu gambar. Ia menyatu
sempurna.
Kalau
kita ingin membedahnya satu per satu, kita akan menemukan sebuah tatanan yang
sangat kentara dari satu gambar ke gambar yang lain, detail-detail itu
terstruktur secara konstruksif guna mendukung pengambilan gambar yang sepanjang
film “diam”. Kita pasti bisa merasakan jika kekosongan artistik muncul di suatu
film, untuk film Marlina kita tidak akan menemuka hal itu sama sekali. Marlina
mengambil gambar dengan pendekatan banyak sudut pandang, maksudnya; pendekatan
ini dibuat oleh lebih dari satu orang, ia bersifat terbuka untuk menemukan
sebuah struktur yang paling tepat untuk dimasukkan dalam suatu gambar yang
utuh.
Kecantikan
Sumba menjadi berlipat ganda saat film ini dengan sadar mengambil gambar yang
anti-mainstream, ia sadar kecantikan Sumba tidak bisa dibiarkan hanya dengan
pengambilan gambar yang biasa dan murahan. Kita bahkan bisa bilang bahwa film
ini indah hanya dengan melihat transisi gambarnya saja. Film Marlina Si Pembunuh dalam
Empat Babak sebetulnya film yang sangat sederhana, dan karena kesederhanaan itu
film ini menjadi sangat tidak sederhana. Sebuah konsep Post-Strukturalisme
ditawarkan hampir sepanjang film itu berlangsung.
Bahkan
bisa kita rasakan saat membaca atau mendengar judulnya. Lalu melihat desain
produksinya yang sangat menarik. 4 Babak yang menciptakan struktur kedalaman,
pergantian hari yang dikaitkan dengan simbolisme, sebuah kematian di awal dan
akhir film, lalu dipungkaskan dengan sebuah “kelahiran baru,” makna simbol yang
tertata sangat rapi tanpa menghapus atau melupakan cerita yang sudah dibangun
sejak awal. Kantor polisi dan adegan Marlina mandi di pinggir laut dengan
ditemani “Topan,” menjadi titik Balik euforia penyerhan diri, bahwa bergantung
pada polisi adalah hal yang sia-sia.
Yang
juga sangat saya suka adalah keberanian menyatukan musik etnik dengan musik ala
France, atau sebuah lagu yang keluar langsung dari bibir tokohnya. Kita mampu
menikmati suara-suara itu bahkan tanpa perlu tahu artinya, di sinilah makna “estetika”
muncul. Belum lagi film ini menciptakan kedalaman berpikir bagi setiap
penontonnya, ia memaksa kita untuk terus membicarakannya sejak keluar dari
ruang teater. Dan untuk itu kita perlu mendukung Marlina untuk memenggal kepala
setiap superhero di teater sebelah.
Dan
sup ayam dimaknai sebagai sesuatu yang lain, di film ini ia tidak hanya menjadi
sebuah suguhan makanan. Sup ayam menjadi simbol perlawanan, menjadi titik di
mana dendam harus dibalaskan. Dan juga soal bahasa, padahal film Marlina tidak
menggunakan bahasa Indonesia murni, alias bahasa daerah. Tapi saya tetap mampu
memahami setiap dialognya. Ini bukti, bahwa bahasa kita memang kaya. Dan
Marlina menyadarkan kita atas kebanggaan itu.
Marlina
Si Pembunuh dalam Empat Babak adalah sebuah pencapaian sinematik yang bukan
hanya bicara gambar semata, namun juga detail setiap aspek yang membentuk film
itu sendiri. Sebuah “Post-Strukturalisme” dalam Film Indonesia.
#BanggaFilmIndonesia
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar