Sebuah
metafor dalam kajian film adalah betuk semiologi yang bisa membuat penontonnya
mengingat film tersebut setelah filmnya usai. Bagi saya ada perbedaan jelas
antara film dan konsep bahasa. Film bukan sekadar bahasa gambar, lebih dari itu
ia menjadi objek yang berdiri sendiri. Film dalam perkembangannya menjadi
bahasa tunggal semiologi. Yang dapat kita tarik kesimpulan bahwa film yang baik
adalah film yang membuat penontonnya berpikir dua kali dalam menerjemahkan isi
gambar bahkan setelah ke luar dari ruang teater.
Simbolisme-simbolisme
seperti itu erat kaitannya dengan sutradara, karena ia punya ruang lebih luas
untuk menentukan apa saja yang perlu masuk dalam sebuah gambar atau frame.
Simbolisme atau detail-detail semiotik harus menjadi satu alias menempel pada sutradara,
karena hal semacam itu punya kaitan dalam penyampaian maksud gambar di luar
dialog antar tokoh.
Simbolisme
merupakan semacam isyarat yang bisa dibilang sulit untuk dibicarakan. Kita
tidak bisa mengubah isyarat-isyarat dalam film ke dalam bentuk sistem bahasa.
Contoh; dalam Film Posesif sebuah kunci yang menggantung di pintu bisa diartikan
berbagai macam, apalagi jika sutradara sengaja menahan gambar itu lebih dari 5
detik. Kunci yang mengunci sebuah pintu juga erat kaitannya pada perasaan tokoh
saat itu juga.
Kekuatan
film tidak mampu kita bedakan atau bahkan kita bandingkan pada sistem-sistem
bahasa, ia sudah kuat untuk berdiri sendiri. Meski pun film memang punya kaitan
terhadap bahasa. Namun perbedaannya ada pada imaji tiap penontonnya, terjemahan
pada sebuah simbol di dalam frame bisa berbeda dari masing-masing orang. Ada
yang menganggap contoh yang saya berikan sebagai bentuk yang biasa, ada juga
yang lebih dalam mendalami perspektif tersebut.
Film
Posesif memberikan gambaran kontruksi lain dalam sebuah film, ia memberikan
imaji seolah-olah ia hanya memberikan satu frame saja sepanjang film. Kita
terpaut pada dua tokoh utamanya—selalu terpaut. Ikut merasa empati bagaimana
bisa perasaan mereka terbentur dan menjadi satu. Dalam satu frame kedua tokoh
ini sanggup memberikan aura yang bukan hanya baik tapi menyentuh kedalaman
imaji dan membantu membentuk kontruksi gambar yang baik.
Film
Posesif adalah film yang sulit dijelaskan, karena ia mudah dimengerti. Seperti
kata Christian Metz “Sinema, seni yang mudah, selalu terancam menjadi korban
karena kemudahannya… Sebuah film sulit dijelaskan, karena ia mudah dimengerti.”
Film Posesif memberikan dan membuka bahasa lain, ia merasuki imaji kita dengan
simbol-simbol yang tanpa sadar kita proses dalam ruang pikir kita. Kenapa
simbol paus dan penguin disandingkan? Mungkin karena itu memang hewan yang paling
tepat untuk menjadi isyarat tokoh Yudhis dan Lala.
Seperti ingin memberitahu kita bahwa dua isyarat itu adalah bentuk manifestasi
karakter lain.
Pengambilan
gambar jelas butuh waktu, begitu juga penontonnya yang butuh waktu extra untuk
menerjemahkan imaji-imaji yang ada dalam satu frame yang ditampilkan. Tapi
bagaimana jika sebuah film mampu memberikan pendekatan tunggal dalam satu
frame? Film Posesif memberikan itu sejak awal film, ia hadir dalam bentuk dua
tokoh yang “gila”, dengan kata lain Posesif adalah Yudhis dan Lala. Ia menjadi
ketertarikan tunggal untuk setiap penontonnya. Tidak salah untuk menempatkan
Putri Marino dan Adipati Dolken menjadi kemungkinan pertama untuk meraih penghargaan
aktor dan aktris di Festival Film Indonesia.
Film
ini menjadi sangat lengkap dengan kehadiran banyak tokoh pendukung. Cut Mini
& Yayu Unru benar-benar menjadi tokoh yang "mendukung" performa tokoh utama.
Cut Mini membantu Yudhis, dan Yayu Unru membantu Lala dalam mencapai puncak “kegilaan
akting,” Mereka tidak sekadar menjadi “pembantu” yang ke luar sekelabat lalu
hilang dilupakan dan tidak bermakna. Ia dengan sendirinya merasuki pikiran
tokoh utama dan “mendukung” mereka untuk menjadi spotlight dan mencapai puncak
performa. Yayu Unru dan Cut Mini adalah “hero” yang harus saya katakan sangat
mungkin mendapatkan penghargaan itu di Festival Film Indonesia.
Maksud
dibuatnya simbolisme dalam sebuah film adalah untuk membuat film menjadi lebih
berarti dan terus diingat. Meskipun hal ini akan luput dari orang-orang normal
yang pergi ke bioskop hanya untuk dihibur atau menemani seseorang nonton. Lebih
dari itu, saya sendiri merasa film ini memberikan kesan yang mendalam, Edwin—Sang
Sutradara selalu berhasil “meninggalkan jejak” di setiap filmnya. Kepekaan itu
membuat Film Posesif menjadi berbobot meskipun memang film ini berlabel 13+, dalam
kepekaan simbolisme itu membuat bobot artistiknya otomatis bertambah nilai.
Poetica-Postmodernism
dalam Film Posesif membuatnya masuk dalam jajaran drama (romance) terbaik yang
pernah ada di Indonesia. Bravo!
#BanggaFilmIndonesia
#FilmPosesif
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar